Beberapa hari kemudian.
Berita kepindahan Maira ke rumah membuat keluarga besar Kusuma antusias. Mereka berniat menjenguk bergantian ke kediaman Mahendra di Orchid.
Tak terkecuali Kaffa yang mewakili keluarga sang ayah. Dia sudah berada di Jakarta setelah landing dari Malaysia mengurus bisnis keluarganya.
Disaat yang sama, Keluarga Tazkiya berniat sowan ke Orchid sekaligus untuk melanjutkan niatan Fayyadh terhadap Maira yang telah disampaikan secara pribadi beberapa waktu lalu.
Tibalah masa menegangkan harus mereka lewati. Selama ini Fayyadh tak pernah berulah bahkan menunjukkan sisi dirinya yang lain. Pemuda tampan itu sangat penurut terlebih pada ummanya. Namun entah jika dihadapkan pada permasalahan hati.
Orchid.
Rutinitas muroja'ah ba'da Maghrib hingga Isya keluarga Guna yang biasa mereka lakukan di ruang keluarga, kini berpindah ke kamar Maira.
Dewiq mengatakan reaksi obat temuan dirinya bisa bermacam-macam tergantung kondisi psikis pasien. Jika Aiswa sangat cepat merespon maka tidak dengan Maira.
Keluarga Guna pasrah, meski akan terus melakukan upaya ikhtiar bumi selain mengokohkan iman bahwa semua atas Kehendak-Nya.
Agenda laskar terus berjalan dibawah komando Adnan saat ini. Mahendra tak punya pilihan selain mempertahankan keberadaannya. Itu cita-cita Maira, permintaan khusus putri kesayangan yang ingin turut andil menegakkan panji dakwah, berjuang dengan para guru mulia di akhir jaman.
Ba'da Isya.
Apartemen mewah itu nampak sibuk, meskipun yang akan datang adalah kerabat dekat namun kewajiban memuliakan tamu harus tetap mereka lakukan.
"Sudah siap? pelan saja ya ... seandainya bisa, Abang bicarakan ini secara privasi antara kaum pria. Hormati dan hargai perasaan Fayyadh," saran Naya seraya merapikan kemeja lengan panjang yang Mahen kenakan.
"Apakah aku harus mengutarakan alasan sesungguhnya tentang El?" cemas Mahendra.
"Jika terpaksa, dan Fayyadh kurang menerima alasan kita ... tunjukkan hanya pada isyarat Maira di lembar akhir saja. Semoga sih gak terjadi, Fayyadh mudah mengerti ... aku juga cemas," Naya menggosok kedua telapak tangannya, tanda ia gelisah.
Pasangan suami istri itu saling memeluk sejenak, mengabaikan dering ponsel dengan nada panggilan khusus keluarga.
Tok. Tok.
"Ayah, Bun ... Keluarga Tazkiya sudah di bawah, Mas Kaffa juga ... bentrok ini gimana? Ayaz ke bawah nyusul uncle Rey boleh?" suara putra bungsu mereka.
Naya mengurai pelukan, menautkan dan menarik jemari suaminya itu menuju pintu lalu membuka pelan.
"Iya Sayang, boleh. Kita sudah siap. Onty Mega masih diatas kan dengan suster?" tanya Naya sebelum Mifyaz pergi.
"Iya Bun ... Ayaz sambut di depan lift lantai 10 aja ya," pamitnya berlalu.
Huft.
Keduanya saling pandang lalu meneguhkan langkah menuju pintu utama kediaman mereka.
Lima menit kemudian.
Rombongan Tazkiya mulai satu persatu keluar dari kotak besi. Dimulai oleh para Sepuh dan di susul kedua putra putri Yai Hariri, Aiswa dan Ahmad beserta keluarganya.
Naya dan Mahen menyambut kedatangan mereka setelah mencapai bibir kediaman.
"Assalamu'alaikum warohmatullah."
"Wa'alaikumsalam warohmatullah, silakan. Kaku begini ya padahal sering ketemu dan komunikasi," seloroh Ahmad merasakan atmosfer ketegangan mulai menguar.
Pernyataan putra sulung keluarga Tazkiya itu disambut tawa renyah semua yang hadir disana.
Suasana akrab kembali hangat di antara mereka hingga pertanyaan Fayyadh memicu rasa canggung hadir mengudara.
"Yah, aku boleh ketemu Maira gak?" tanya Fayyadh menyela obrolan pembuka mereka.
Naya mengangguk pada keponakan tampan. Disusul penjelasan dari bundanya.
"Boleh, setelah ini ya. Biar Abi menyampaikan maksud pertemuan kita kali ini dulu Mas," sahut Aiswa mencegah keinginan sang putra yang tak sabaran.
"Monggo, Kak." Mahen menyilakan kakak iparnya bicara lebih dulu.
Amir meletakkan cangkir teh yang baru selesai ia cecap.
"Bismillah ... Alhamdulillaarabbil ‘alamiin wabihii nastaiinu, umuurid dunyaa waddiin ... wasshalaatu wassalaamu’alaa asy rafil anbiyaa i wal mursaliin, nabiyyinaa muhammadin shalallahu ‘alaihi wasallam wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumiddiin ... Mas Panji, Nduk ... Jazakumullah Kheir atas sambutan hangatnya meski kita ini masih satu keluarga besar, jadi agak anu yaa ... canggung gitu," ucap Amir seraya tersenyum. Dirinya merasa lucu sekaligus kikuk karena yang ia hadapi adalah adik dan iparnya sendiri.
Pernyataan itu di sambut kekehan semua penghuni, sebagai obat pencair suasana.
"Maksud kedatangan keluarga besar Tazkiya kesini tujuan utamanya adalah sambung silaturahim, juga menjenguk putri kami, Maira."
"Kami prihatin, ikut merasakan duka atas apa yang menimpa Maira, berusaha mendoakan dan membujuk Allah agar berkenan mengangkat segala sakit hingga Maira afiat paripurna kembali, aamiin."
"Allahumma aamiin." Suara anggota keluarga.
"Selanjutnya ... aku sebagai ayah Fayyadh, ingin menyampaikan hajat dan melanjutkan ucapan tulus khitbah putraku meminang Maira, yang telah disampaikan secara pribadi pada Mas Panji beberapa waktu lalu ... harapan kami semoga niat baik ananda dapat tersambung baik."
Amir menutup untaian kalimat panjang, meluruhkan beban di pundaknya sebagai ayah.
"Alhamdulillah ... Jazakumullah ahsanal jaza atas sambung doa terbaik untuk putri kami ... terkait pernyataan khitbah Mas Fayyadh beberapa waktu lalu padaku, kami sangat berterimakasih juga bahagia atas pinangan Mas Fayyadh ... namun karena kondisinya berbeda, aku mewakili ananda menyampaikan apa yang menjadi isyarat isi hatinya," tutur Mahen, rasa hatinya waswas.
"Hmm, Mas Fayyadh mau bicara privasi dengan Ayah dan Abi atau disini?" tanya Mahen memberikan pilihan pada keponakannya.
Fayyadh mengangkat wajah yang sedari tadi ia tundukkan, menoleh ke arah ayahnya.
Amir hanya mengisyaratkan dengan uluran telapak tangan, menyilakan Fayyadh mengambil keputusan mandiri.
"Privasi Yah, boleh?" jawabnya lugas.
"Ok. Mari ke ruang kerja," Ketiga pria perlahan bangkit menarik diri dari jamuan di ruang keluarga, mengikuti Mahen menuju ke sudut rumah.
Ceklak.
"Silakan masuk. Rey sebagai saksi dari pihak ku ya Kak," izin Mahen lagi.
"Fadhol Mas," jawab sang ipar.
Setelah semua duduk di sofa, Mahen membuka suara. Ia menatap sang keponakan.
"Bismillah ... Mas, apa yang mendasari untuk menjadikan Maira sebagai istri? kasihan kah atau bagaimana?"
"Sayang. Cinta bisa pudar, tapi rasa sayang tidak, dengan menjadikannya halal maka aku bisa leluasa menjaganya, Yah," sahut Fayyadh, terlihat ketegasan di sorot matanya.
"Dari apa dan siapa? Maira sudah gak bisa lagi melihat sekitar ... entah sampai kapan terus seperti ini, Mas Fayyadh sanggup? berjibaku dengannya sementara duniamu masih panjang, dedikasi sepanjang hayat sementara Maira tidak dapat melakukan kewajiban sebagian istri lahir dan batin?" cecar Mahen.
"In sya Allah ... aku sudah lama menanti saat ini, menimbang juga bermunajat untuk menentukan pilihan yang tepat, jawabannya tetap sama, Mahya. Ada banyak cara untuk bahagia, tapi aku hanya butuh dia. Karena Mahya bisa membuatku senyum tanpa alasan jika didekatnya," tegas Fayyadh.
Amir menundukkan kepalanya, tersenyum samar atas kalimat sang putra kebanggaan. Sedangkan Mahen mulai khawatir tak dapat mematahkan keinginan pangeran Kusuma satu ini.
"Jika, suatu saat ada tuntutan keinginan untuk memiliki buah hati, bagaimana menyikapi ini sedangkan Mas Fayyadh tahu sejak awal kondisi Maira?" tutur Mahen sedikit sungkan.
"Hanya Allah yang memegang kendali atas urusan hati Yah, aku tidak dapat menjamin dan berjanji," ungkap Fayyadh seraya menundukkan kepala, ia tahu bahwa keimanannya akan diuji sebab kondisi demikian.
"Benar ... sayang Maira tak dapat mendengar langsung dan mengemukakan pendapatnya, sulit untuk berkata tidak namun Mas Fayyadh dikelilingi wanita sholihah, banyak yang lebih baik dari Maira, Mas," Mahen membalas kalimat keponakannya lembut.
Mendengar pernyataan yang terindikasi pada penolakan khitbahnya, Fayyadh menengadahkan kepala. Sorot matanya seakan tak menerima isyarat dari sang paman kebanggaan.
"Maksud Ayah, aku gak pantas untuknya? Ayah gak percaya padaku?"
"Fayyadh!" tegur Amir keras.
"Kak, Mas ... tenang dulu," Mahen mencoba tetap fokus tak terpancing situasi.
.
.
..._________________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Allya Azzara
sabar fayad pasti ada wanita sholehah
2022-12-09
1
AlAzRa
aku dah dig dug der
gini amat ya, kalau yang meminang oke n keluarga sendiri
banyak hati yang harus dijaga, jangan sampai di belakang menjadi pemicu retaknya hubungan kekerabatan.
semangat Den Panji, Ning Naya
2022-12-09
1
@Ani Nur Meilan
Sedih bangett ya klau Lamaran nya Fayyadh ditolak 😞😞😞😞
2022-12-09
1