"Andai dia hafiz dan sholeh, macam Fayyadh."
"Hmm, jatuh cinta kah Maira? antara Fayyadh atau pemuda ini?" gumam Naya, membenarkan posisi tidur sang putri sulung sebelum ia meninggalkan kamarnya.
Ruangan dengan ornamen serba oren itu kini temaram setelah Naya mengganti cahaya lampu kamar lebih redup agar kualitas tidur anaknya terjaga.
Dalam lelap.
"Bangunan ini megah sekali, aku baru tahu ada Masjid indah begini disini. Suara yang mengaji sangat merdu semakin menambah kesan syahdu saja."
"Al-khabisatu lil-khabisina wal-khabisụna lil-khabisat, wat-tayyibatu lit-tayyibina wat-tayyibuna lit-tayyibat, ula’ika mubarra’una mimma yaqulun, lahum magfiratuw wa rizqung karim," Maira mengikuti lantunan An-nur ayat ke 26.
"Ya Allah, pasangkanlah aku dengan seseorang yang mampu mendukung keinginan ... berjuang di jalan Allah, melindungi para dzuriyah dari kerasnya medan dakwah. Diri ini masih berusaha menghafal kalammu," air mata Maira jatuh membasahi pipi.
Dia berdiam diri didalam masjid menikmati alunan suara tadarus seorang pria yang bergema.
"Andai, imamku mempunyai suara seindah ini. "
"Hai, Mahya Humaira ... nama yang kuminta dalam setiap sujud. Tunggu aku, ya."
Kriiiiiinngggg. Suara alarm tahajud.
"Astaghfirullah...." Maira terjaga.
"Allah, mimpi ya ... tadi kok kayak nyata berbisik di telinga ya?" ia mengusap wajah, lalu mengikat rambut panjangnya. Netra amber itu melihat pada jam weker yang sedari tadi bising.
"Innalillahi, jelang subuh...."
Kaki terjulur belum sempurna menyentuh lantai. Namun, badan sudah bergerak sehingga....
Bruugh. "Awwh."
"Maira, kenapa Sayang?" suara Naya mengetuk pintu, mendengar suara gaduh saat melewati kamar putrinya setelah dia membangunkan putra bungsu.
"Jatuh Bun tapi gak apa. Kesiangan," jawabnya seraya bergegas ke bathroom.
Satu jam menjelang subuh dia gunakan untuk muroja'ah setelah dua rokaat sunnah di tunaikan. Hafalannya sedikit kacau.
"Bukannya nambah kayak Ajmi, eh malah berantakan begini. Malu nih kalau diminta setor hafalan sama Ayah," keluh gadis ayu, masih bertahan dengan lima juz dan belum berhasil menambah target.
Adzan subuh dari pengeras suara di setiap lantai apart bergema. Maira keluar dari kamar, turun ke lantai dasar untuk sholat berjamaah dengan keluarga.
Lusa mereka akan terbang ke Semarang, menghadiri pernikahan sepupunya, Fatima putri pertama uwa Abyan, kakak Bunda Naya.
Saat sarapan.
"Kak ... Fayyadh mau nginep di sini. Nanti jaga sikap ya ... pakai hijab panjang kalau malam. Jangan kayak biasanya," ujar Naya.
"Aku kan mau latihan berkuda dulu Bun ... bukannya dia ke Bekasi ya? ngecek rumahnya itu?" sahut Maira seraya menerima uluran menu favorit dari Bunda.
"Belum pergi karena uwa Ahmad baru sempat nganter. Abi Amir gak bagi izin kalau Fayyadh pergi sendiri ke sana ... dia mau ngajak kamu," sambung Mahen menimpali.
"Enggak ah, ngapain? aku gak punya kepentingan ... lagian siaran hari ini jadwal aku loh Bun, belum kerjaan dari Ayah tuh di ruang kerja. Cek proposal juga pembukuan," elak Maira.
Farhana bilang Fayyadh membangun rumah dari hasil jerih payah untuk dia tinggali dengan istrinya kelak. Maira merasa dia bukan gadis yang akan dipilih sang sepupu sempurna, karena berkali Fayyadh mengisyaratkan bahwa menginginkan wanita pendamping bagai umma Aiswa.
Hampir satu jam mereka habiskan waktu pagi sebelum semua pergi dengan aktivitas masing-masing.
Mifyaz kali ini meminta di antar oleh sang Kakak ke sekolah.
"Kak ikut. Nanti keluar ya dari mobil," pintanya saat Maira hendak salim pada kedua orang tua mereka.
"Kenapa Yaz?" tanya Mahen.
"Biar gak di gangguin fans genit ya Yaz," tebak Naya kemudian.
"Noh, Bunda paham," jawab Mifyaz sambil cengengesan. Mahendra hanya menggelengkan kepala. Putranya sedang masuk masa puber.
"Gak jadi pergi dengan ayank Fayyadh, Sayang?" goda Mahen saat mengusap kepala Maira.
"Dih, ayank, geli amat ya ... aku pergi Bun, Yah tolong sampaikan ke dia, lagi sibuk. Dan gak mau ngarep, nanti ... sakitnya tuh disini di dalam hatiku ... sakitnya tuh di sini ... sakitt, saakiitt...." putri sulung Mahendra, melenggang pergi seraya meniru bait lagu biduan dangdut.
"Ok."
Mahen menoleh ke arah istrinya. "Kelakuan makin mirip kamu, Honey." Sementara Naya, hanya tertawa melihat sikap konyol Maira.
Princess Kusuma mengabaikan ajakan sepupunya itu, meski mempunyai kontak Fayyadh tetapi Naya melarang mereka chat pribadi berdua. Semua yang ingin diobrolkan harus melalui grup keluarga atau meminta disampaikan oleh kedua orang tua.
Mungkin hanya keluarganya yang seperti ini, tapi Maira dan Mifyaz tak banyak ambil peduli. Bagi mereka, keluarganya sempurna.
"Kak keluarga kita gini ya, unik." Mifyaz menekan panel lift turun.
"Bunda itu tegas tapi gak maksa, Ayah lebih santai hanya saja suka main Spy ... keduanya tetap mendengar alibi lebih dulu meski anaknya salah. Marah besar hanya karena gak sholat atau ngaji, selain itu gak pernah. Jika aku dilarang ini itu ya karena memang gak baik," ujar Maira.
Mereka memasuki lift.
"Iya paham. Tapi aku nyaman aja sih dengan semua aturan Ayah. Selama ini mereka berdua selalu kasih opsi terbaik malah kalau keinginan kita sedikit melenceng ... idola. Kak, kenalin sama El donk, kayaknya seru ya. Kata Ayah, dia jenius," ucap Mifyaz penasaran dengan sosoknya.
Ting. Lift menuju basement tiba, mereka keluar dari sana.
"Lah Ayah cerita juga ke kamu? aku aja gak kenal, cuma iya sih keliatan cool abiisss. Andai dia hafiz juga ya Aj, gak ada obat dah."
"Berpaling dari Fayyadh?" pancing sang adik. Namun Maira hanya mengedikkan bahu seraya melangkah menuju Honda jazz merah metalik kesayangannya.
Setelah terbebas dari drama di sekolah Mifyaz Ajmi. Maira melajukan kendaraan menuju lapangan pacu kuda.
Dua puluh menit waktu terbuang di perjalanan, ia tiba disana. Suasana lengang sebab masih terlalu pagi.
Karena belum sholat Duha, Maira memutuskan menuju Mushola di bagian samping kantor kawasan itu.
Terdengar lamat-lamat suara seorang pria.
Degh.
"An-nur, 26. Dan suara itu gak asing, dimana ya dengernya?" batin Maira.
"Suara siapa? lembut sekali, dia juga hafal, tajwid nya baik," batin El.
Dia duduk di bangku kecil depan mushola saat melepas sepatu. Urung berwudhu, malah asik menikmati suara tadarus hingga surat An-nur selesai dibaca.
"Ternyata, kamu lagi. Mau Duha? silakan, aku sudah selesai." Pria itu memakai kembali sepatunya.
"Eh, Kak El. Ku kira sia---"
Sapaan Maira terjeda.
"Tuan muda, maaf ponsel Anda tertinggal di mobil, silakan." Terlihat seorang pria muda seperti Aspri menyerahkan smartphone pada El.
"Thanks ... oh ya, duluan. Aku gak latihan hari ini. Semangat ya ... hmm...." Lelaki tampan berdiri, dengan satu tangan masuk ke saku celana. Cool.
"Maira."
"Aku tahu namamu ... Ok, semangat ya Ahya," sapaan khusus baginya, meluncur.
"Ahya? why? Mahya not Ahya," tegas Maira.
"Panggilan khusus untukmu ... Ahya, dalam bahasa Arab artinya hidup, kehidupan. Berjiwa pemimpin, mandiri dan petualang ... atau kau ingin ku panggil Ai?"
"Ai?" Maira terheran.
"Ai dalam bahasa Jepang artinya ... cinta, kasih sayang, lembut ... nama kamu lengkap, Mahya Humaira. Ahya atau Ai, sama indahnya ... choose the one only," El meminta Maira memilih.
Gadis muda itu merona, sweet talknya gak main-main.
"Terserah kakak saja lah mau panggil aku siapa, bebas."
"Ok ... Sayang saja kalau begitu ... Shobahal Kheir Ai, aku duluan ya. Take care," El, pertama kalinya tersenyum pada seorang gadis. Dan senyuman itu sangat menawan.
"Sho-bahannur wa surur ... wa afiah wa barokah," lirih Maira, ia tersipu mendapat senyuman dari pria tampan sepagi ini.
"Maa sya Allah syukron jiddan Ai ... wa sa'adah wa barokah, aamiin." Pria muda yang masih ditunggu oleh aspri nya beranjak.
"Fii amanillah Kak."
"Ma'assalamah, Ai. Assalamu'alaikum." El berlalu kembali setelah langkah kaki panjang itu terjeda.
"Wa'alaikumussalaam, dia tahu namaku."
Degh.
Degh.
Degh.
"Allah, jantungku." Maira bersandar di dinding, meraba debaran jantung yang berdegup kencang.
Setelah beberapa detik mereda, ia pun berwudhu lalu menunaikan shalat duha. Netranya mengelilingi ruangan. Ia berniat muroja'ah sebentar sembari menunggu coach tiba namun tak ia jumpai mushaf di sana.
"Eh, tadi El ngaji pake apa donk? ponsel dia kan barusan di bawain aspri nya. Apa jangan-jangan?" Maira menutup mulutnya dengan satu telapak tangan kanan.
"Hafiz kah?"
Gadis itu diam-diam melukis senyum manis diwajahnya.
...***...
Sementara dalam sebuah mobil. Perjalanan menuju venue.
Tuuut. Nada tunggu panggilan.
"Assalamu'alaikum Ayah. Tolong siapkan proses ta'aruf bagiku pada seorang gadis...."
"Hmmm ... yang tempo hari aku cerita ke Bunda, iya."
"Ya Kheir. Fahimatu, sa'adhabu fahasbu. Syukron, Assalamu'alaikum." (aku akan ke sana).
Panggilan berakhir.
"Bismillah, ikhtiar. Semoga di terima, in sya Allah sholihah dan satu visi, Ahya Ai."
"Maa sya Allah, kamu satu-satu nya gadis yang masuk ke mimpiku, setelah membaca An-nur."
.
.
...________________________...
...Nulis baru senyam senyum gak jelas....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Siti Yuliatin
masyaAlloh... serasa baca surga dunia... akhirat dapet😇
2024-09-30
1
Mega Ahmad
Dan diriku pun membaca sambil senyum² g jelas 😍
2023-07-23
1
Arra
hmmm gimana ngga luluh tuh. Padahal mahya adalah sosok yg selalu dihujani cinta dikeluarga. Gimana ya kalau orang yg dirumah kurang kasih sayang gtu pasti lebih2 melt rasanya
2023-06-10
1