"Maira, aku pulang...." ucap Fayyadh dalam hati saat mengingat wajah ayu itu.
Perjalanan panjang dia tempuh dalam waktu sepuluh jam berhasil dilewati, tubuhnya lelah saat Fayyadh tiba di Tazkiya, kediaman sang nenek dari jalur ummanya.
Dia memilih beristirahat lebih dahulu sebelum mencari tahu rumah sakit dimana Maira dirawat.
"Tengah malam, tidur dulu lah biar esok tenang dan segar," ucap Fayyadh kala memasukkan kunci pintu depan dan membukanya perlahan.
Semua penghuni kediaman jiddah telah lelap di peraduan masing-masing. Namun samar terdengar suara dari arah dapur saat Fayyadh akan membuka pintu kamar yang dulu di tempati Aiswa.
Anak sulung Amir dan Aiswa, mendekati sumber suara.
"Jiddah? ko belum tidur?" tanya Fayyadh menyembul dari penghubung pintu dapur.
"Loh, Fayyadh? pulang? sama siapa, Nak?" sang nenek terkejut mendapati cucunya ada di Jakarta.
Fayyadh menghampiri, mencium telapak tangan juga dahi Maryam, tak lupa mendekap erat tubuh senja neneknya.
"Kelakuan persis Abinya tapi suka berontak macam umma, ya Fayyadh," sindir Maryam mendapat perlakuan manis dari sang cucu kesayangan.
"Namanya juga hasil kerjasama dalam hal pembibitan juga pemeliharaan ya pasti duplikasi lah, jiddah ... kata umma, judesnya Fayyadh nurun dari jiddah," kekeh pemuda tampan keturunan Tazkiya.
"Bisa aja jawabnya kan ... Fayyadh pulang mau lihat Maira?" tanya Maryam seraya melerai pelukan.
"He em, bareng Jiddah yuk. Lagian ayah Mahen kok kasih Maira izin sih. Kan sayang ya cantik begitu, mainannya senjata," protesnya sambil menarik kursi meja makan.
Maryam hanya menghela nafas. "Mahen itu kan dari dulu memang punya bakat melatih para pemuda untuk menjadi pengawal, anak jalanan dia dididik, disekolahkan agar mandiri sesuai dunia yang dia tahu dan mampu. Maslahat juga sih, apalagi bodyguard wanita tapi punya bakat dan ahli kan masih jarang, lagipula Maira di kelilingi oleh orang-orang demikian. Menurut jiddah bukan salah Mahen," ungkap sang nenek.
"Tapi kan Jiddah, tetap saja bukan kodratnya...."
"Kodrat wanita itu cuma dua, haid dan melahirkan sepaket dengan menyusui, lainnya itu skill, bakat, kemampuan sebagai nilai plus. Kamu lupa, siapa pejuang dari kaum hawa yang rela syahid waktu Rosulullah Perang Uhud, Khaibar, Hunain juga Yamamah?" desak Maryam, ia kurang suka jika Fayyadh hanya menilik kasar atas apa yang dilihat.
Fayyadh diam. Telak terpukul oleh ucapan jiddah nya.
"Nusaibah binti Ka'ab, wanita tangguh perisai Rosulullah yang merelakan suami juga putranya jihad bersama memerangi musuh. Jiddah, menangkap keinginan Maira. Dia lahir di lingkungan demikian bukan tanpa maksud, Fayyadh."
"... dan Mahen mengabulkan juga bukan karena alasan sepele. Maira pasti menginginkan dirinya tangguh seperti sahabiyah wanita. Punya orang tua istimewa, kamu tahu ayah Mahen bukan? jasanya banyak bagi leluhur juga pemerintah, bahkan Bunda Naya, idola kalian itupun sama ... Maira, titisan mereka, Fayyadh, keturunan Kusuma," terang Maryam panjang lebar. Dirinya langsung menemui Naya dengan Abuya mendengarkan alasan dibalik semua tragedi ini, saat menerima panggilan dari Mifyaz yang memohon doa.
Huft.
"Fayyadh paham sih jiddah, tapi kan apa gak eman gitu. Maira kan?" kilah putra sulung Amir.
"Cantik, super cantik?"
Pemuda tampan itu mengangguk.
"Bidadari surga gak ada yang asal, Fayyadh. Maira berkeinginan menebus surga dengan jalan jihad seperti ini ... cinta pertama Maira, itu untuk dan milik Mahen. Kamu gak lihat, Maira ngidolain banget sang ayah? kamu suka dia tapi gak demen keinginannya jadi gimana?" sindir Maryam seraya menyesap tehnya.
Fayyadh tersenyum, ia menerima Maira sepenuhnya namun bilamana harus dengan jalan seperti ini, hatinya meragu.
"Jiddah, jangan bilang aku suka Maira ke semua ya," pintanya lagi.
"Gak bilang juga, semua tahu ko. Kamu ngefans sama dia," balas sang nenek.
"Ya gimana, lihat dia waktu latihan memanah ... beuuuhhh, gak ada obat, apalagi kalau sambil berkuda, sempurna...." kagumnya menerawang saat ia di ajak Mahendra ikut latihan di camp anak jalanan yang beliau kelola.
"Kan ... gak ada manusia yang sempurna Fayyadh. Typemu pengen kayak umma, wanita rumahan tapi saat ini Maira gak bisa, jiwanya petualang meski dia akan ikut perintah sang suami kelak ... gih sana, minta jodoh sama Allah, lalu istirahat ... jiddah mau lakukan hal yang sama, Maira juga cucuku," pungkas Maryam, berdiri dari kursi dan melangkah meninggalkan Fayyadh yang masih menyesap teh hangat.
Dalam sunyi ruang dapur, ditemani sisa ampas seduhan teh dalam cangkirnya. Pemuda tampan yang sebentar lagi menyelesaikan studi di King Saud itu merenung.
"Maira ... aku tahu ini adalah cita-citamu, ingin menjadi pejuang seperti para srikandi di jaman Rosulullah ... do'akan aku mampu agar sekufu denganmu yaa, Maira ku," lirih kakak kandung Aatirah juga Hanan, seraya bangkit dan meninggalkan dapur menuju kamarnya.
...***...
Keesokan Pagi, RSPP.
Naya menyusul sang suami yang sejak semalam menginap di rumah sakit, didepan ruang ICU.
"Honey, gimana?" tanya Naya menyongsong Mahen yang berdiri menyambut kedatangan pengobat hatinya.
"Mifyaz mana?" ujar Mahen di sela dekapan.
"Sekolah, ku minta Pras menemani di rumah. Aku mengabarkan pada Kak Amir bahwa jika ingin mengetahui detail sikon Maira, hubungi Ayaz saja. Karena aku hanya akan membagi info padanya, supaya fokus dengan Abang dan Maira," ucap Naya, melerai pelukan.
Mahen hanya mengangguk, mencium sekilas bibir yang telah dia rasa selama puluhan tahun.
"Thanks Sayang, kamu sudah jadi tiang penguat aku," balas Mahen mengecup pucuk kepala.
"Makan dulu, bareng Pak Adnan, mana beliau?" Naya mengedarkan pandangan, tidak ada sosok bagai bayangan suaminya itu disekitar.
Tiba-tiba.
"Nyonya...." suara Adnan datang dari belakang tubuhnya.
Naya terkejut. "Astaghfirullah ... Pak Adnan kebiasaan iihh, suka muncul tiba-tiba tuh," keluhnya seraya mengusap dada.
"Lagian Nyonya, gak hafal-hafal, padahal puluhan tahun aku ikut Bos Mahen," kekehnya, mengangetkan Nyonya kecil sudah menjadi hiburan tersendiri bagi Adnan.
Mahen selalu saja tersenyum melihat kelakuan Naya jika terkejut karena kehadiran Adnan yang tiba-tiba.
"Ish, emak-emak hilang peka akibat banyak urat yang putus saat lahiran ... sarapan dulu gih, berdua sama Abang," cebiknya seraya memberikan kotak bekal pada kedua pria.
"Hasil observasi, jam sepuluh nanti kita harus menghadap dokter, Sayang. Semoga semua baik ya, cedera Maira gak serius," harapan Mahen meluncur seraya suapan pertama yang Naya sodorkan padanya.
Sementara Adnan menepi tak ingin mengganggu keromantisan yang tetap kedua majikannya jaga, meski disaat seperti ini.
Sesi sarapan berakhir.
Perjuangan mengunyah makanan tanpa rasa meski sejatinya hidangan yang dibawa Naya sangat menggugah selera namun tetap hambar bagi lidah Mahen.
Hasil observasi akan di bacakan oleh dokter, kini keduanya telah berada dalam ruangan serba putih dengan wangi khas desinfektan.
Mahendra mendengarkan seksama semua penjelasan detail dokter. Memeriksa berkas laporan medis yang sedikit ia ketahui. Lelaki paruh baya namun tetap maskulin itu banyak berdiskusi dengan tenaga medis khusus untuk menangani Maira.
"Innalillahi ... kemungkinan terburuk, Dok?"
Wanita berseragam serba putih itu mengangguk samar, putri mereka akan menjalani test lanjutan juga observasi kedua mulai hari ini.
"Masih belum dapat dipindah ke ruang perawatan ya Pak, harapan kami, Nona dapat melewati ini semua...." pungkas Dokter.
Kedua pasangan kemudian keluar dari sana, saling memeluk. Ketegaran Naya akhirnya goyah, dia menangis dipelukan Mahendra tepat saat Fayyadh datang menemui mereka di lorong penghubung ruang ICU.
"Bunda...." suara lembut itu terdengar, berlari mendekat.
Mahen terheran. "Kok Mas Fayyadh disini? kan mau ujian? Abi dan Umma tahu?" tanya nya ragu seraya menerima uluran tangan meminta salam, oleh pemuda itu.
"Tahu Yah, Fayyadh gak tenang, ingin lihat Maira. Dimana?" desaknya tak sabar.
"Do'ain ya Mas, do'ain Maira...." ujar Naya disela isakan.
"Kenapa ini, jangan bilang jika Maira ... Ayah? Bun?" tuntut Fayyadh lagi, ingin lekas mendapat jawaban.
"Dia, kemungkinan...." tangis Naya kembali pecah.
"Enggak ... gak boleh ... Maira, Maira...." Fayyadh berusaha mengingkari realita, dia memaksa masuk ke ruang ICU namun Mahen cegah. Lelaki itu lalu memeluk putra sulung kakak iparnya erat.
.
.
...______________________...
Jiddah : Panggilan untuk nenek, biasanya di gunakan pada keluarga Arab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Ersa
selesai novel ini deh aku baca kisah mahen-naya.... aku gak urut baca novel mom Othor. meski gak urut aku menikmati jalan&alur ceritanya. keren
2023-05-21
1
pensi
MaasyaAllah kasih sayangnya pun mengingatkan seberapa lama hatinya tetap tinggal.
2023-01-12
1
J𝒐𝒍𝘢 ᴍɪ 𝘫𝘶𝘵𝘦𝘹
Fayaddh begitu mengkhawatirkan keadaan Maira segera datang dan menengok Maira
2023-01-12
1