"Mai-ra ... ia...." ucap Elma terbata. Dia merasa harus menjelaskan kronologi pada sang pimpinan.
Mahendra mendengarkan seksama penuturan Elma namun karena tak sabar, ia menerobos pintu instalasi gawat darurat, meyakini bahwa putrinya masih didalam ruangan itu.
"Maira? suster, dimana pasien bernama Maira? korban evakuasi kerusuhan Senayan?" tanya Mahen pada suster jaga.
Petugas medis berusaha menenangkan pria asing yang menyelinap masuk. Mengatakan padanya bahwa mereka tengah mengupayakan tindakan medis terbaik bagi para korban.
Mahen tak punya pilihan, dia patuh mengikuti arahan suster agar menunggu sejenak di luar ruangan.
Adnan menghampiri pria yang melangkah gontai keluar dari ruangan dengan pintu bergaris merah itu. "Bos, Khadijah," ucap Adnan tak menyelesaikan kalimat.
"Kenapa dengan co-capt?" tanya pimpinan Eye-shadow menatap tajam Adnan.
"Khadijah, tidak dapat bertahan. Gadis itu kehilangan banyak darah di kepalanya akibat benturan dengan aspal jalan saat melindungi mahasiswi yang Maira tolong," ujar Adnan, mengcopy paste pernyataan Elma juga Anis.
Mahendra tercenung. Benar apa kata Naya, laskar akhwat yang ia bentuk atas permintaan Maira belum sepenuhnya siap. Beberapa misi telah dilewati dengan gemilang namun kejadian ini menjadi pelajaran mahal bagi dirinya.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Dimana jenazahnya?" Mahen meraup wajah kasar, urung duduk di lorong ruang tunggu.
"Sedang di urus pihak rumah sakit dengan pengawalan berkas oleh Anis. Khadijah ini tidak memiliki keluarga, Bos. Selanjutnya bagaimana?" ujar Adnan menunggu perintah dari pimpinannya.
"Kebumikan di komplek pemakaman milik Shadow, sayap kanan khusus akhwat. Beritakan ini pada komunitas ... Mahasiswi itu bagaimana?" sambung Mahen, jantungnya berdegup kencang memikirkan nasib putri sulungnya.
"Kritis Bos. Sudah di ICU," tandas Adnan, asisten pribadi mantan petinggi Exona.
Kriing.
Saat akan kembali mencari tahu lebih lanjut, tubuhnya seketika membeku. Satu nama muncul dilayar gawai dalam genggaman.
"Naya ... ya Sayang," sapa Mahen sedikit khawatir akan reaksinya.
"Abang, di-mana Mai-ra ku?" suara bergetar Naya di ujung sana.
"Rumah sakit, honey do'akan putri kita ya," Mahen berat mengatakan bahwa dia juga terpukul.
"Aku bo-leh nyu-sulin ke sa-na?" tanya ibunda Maira terbata, ia berusaha tenang meski hati dilanda panik.
"Nanti saja, biar aku memastikan kondisinya. Baby, maafkan aku," suara lelaki maskulin meski usia tak lagi muda itu kini pecah, parau tak kalah gemetar dibanding istrinya.
"Kita bisa melewati ini. Bukan salah Abang, aku percaya padamu ... Sayang, jangan salahkan diri sendiri, ya," Naya berusaha menularkan ketegaran meski ia pun rapuh. Dirinya tak ingin sang suami merasa bersalah atas kejadian di luar kendali yang menimpa putri mereka.
Kalimat menenangkan dari Naya banyak berpengaruh pada mental Mahendra, ia lebih tenang menjalani ini setelah panggilan yang berlangsung beberapa menit tadi, berakhir.
Hingga beberapa jam kedepan, kondisi serupa tak banyak mengalami perubahan. Maira masih di ruang operasi.
Adnan, dan dua rekan putrinya telah kembali mengurus segala keperluan di markas sebagai penghormatan bagi Khadijah yang wafat saat bertugas. Kini, seorang diri bagai tengah menunggu putusan hakim yang akan menetapkan hukuman padanya, Mahendra gelisah.
Hening.
Hingga..
Suara suster membuyarkan lamunan ayah dua anak itu.
"Wali Nona Maira," panggilan untuk Mahendra.
Ayah sang pasien pun bangkit berdiri, menghampiri sosok berseragam putih di depan pintu pejuang kehidupan.
"Ya suster, aku Ayahnya. Bagaimana kondisi putriku, Maira?" tanya Mahen tak sabar.
"Nona Mahya Humaira mengalami cedera dua tulang rusuk, memar pada pinggang juga retak di tungkai kanan. Terdapat sedikit gumpalan darah di otak namun kami telah melakukan tindakan yang diperlukan. Kini pasien akan menjalani masa observasi dalam ruangan ICU selama 24 jam. Mari sama-sama berdoa agar kita dapat melewati ini semua," terang suster, seraya memberikan beberapa berkas untuk Mahen tanda tangani.
Suami Naya tak kuasa menahan pedih atas kondisi putrinya. Ia limbung dan goyah jika saja Adnan tak lekas menopang tubuh tegap itu.
"Innalillahi, apa yang sudah aku perbuat? menghantarkan nyawa putriku sendiri, Ad," sesal Mahen, setitik bulir bening menyembul dari ujung netra.
Adnan tak kalah bingung, ada rasa penyesalan menelisik hatinya.
Hari menjelang sore, ia pun izin kembali pulang pada Adnan untuk menjelaskan pada keluarga juga menyapa anggota team di markas Shadow.
Dua jam berlalu.
Setelah menyambangi markas team besutannya, mengucapkan belasungkawa juga terimakasih. Tak lupa memohon doa untuk Maira, CEO Guna Farm.id kembali pulang ke Orchid hills.
Biiipp. Pintu apartemen mewah terbuka.
"Assalamu'alaikum." Mahen melangkah masuk, memberi salam.
Naya dan putra kedua mereka, Mifyaz Ajmi, menyambut kedatangan sang kepala keluarga.
"Wa'alaikumussaalaam," sahut Ibu dan anak, bersamaan menjawab salam.
Tak banyak kata, melihat Naya menatapnya sendu, lelaki itu langsung memeluk erat. Menumpahkan sesak dan penyesalan di bahu kekasih hati.
"Maaf Baby, maafkan aku." Tangisan kedua Mahen, setelah sekian lama tak Naya dengar, kini harus dia saksikan lagi.
Naya masih ingat ketika pria pujaan menemani saat persalinan Maira. Dia gelisah, bahkan terlihat tak tega kala istrinya itu menahan rasa mulas hebat akibat kontraksi selama tiga hari hingga jelang kelahiran Maira, penuh drama.
Saat bayi merah nan jelita itu lahir. Mahendra menangis, ia tak memedulikan putrinya saat itu. Fokus hanya pada Naya. Berkali ia mengucapkan terimakasih disertai isakan haru karena istri kecil ini telah gigih berjuang menghantar anak pertama mereka lahir ke dunia.
Kini, situasinya terbalik, lelaki gagah sandaran keluarga menangisi sang putri sulung kebanggaannya. Cicit idola keluarga besar Kusuma.
"Ayah ... Kakak?" suara Ayaz, memecah keharuan.
"Do'akan yang terbaik untuk Kakak, ya Dek. Maira pasti bisa namun kita harus siap dengan segala resiko," Naya berucap lembut, pada sang putra bungsu.
Mahendra hanya mengusap kepala putranya sayang, netra sipit itu basah dan masih mengembun. Dia berlalu setelah menepuk bahu sang putra.
"Sayang, kamu saja yang mengabarkan pada keluarga besar. Aku...." pinta Mahen pada Naya sebelum ia masuk ke kamar.
"Bersama, ayo. Maira butuh kita semua," ujar Naya berusaha menguatkan, ia menarik lembut lengan suaminya.
Akhirnya Mahen mengikuti permintaan sang pujaan hati. Mereka duduk di ruang keluarga sambil berpelukan erat saat ia mulai mengetik sebuah pesan.
Grup Chat Kusuma.
"Assalamu'alaikum warohmatullah. Semoga semua keturunan Kusuma dalam keadaan afiat, aamiin. Bismillah ... mewakili keluarga, aku ingin mengabarkan berita duka ... mohon doa dari semua ya agar Maira kami dapat melewati masa kritis. Dia sedang menjalankan tugas mengawal seorang guru mulia namun terjadi kerusuhan di sekitar kawasan yang dia lewati ... do'akan putriku kembali pada kami, sama-sama kita bujuk Allah. Terimakasih banyak."
Jemari Mahen bergetar kala menekan satu persatu tuts diatas layar gawainya. Setelah memastikan pesan terkirim, ia meletakkan ponsel pintar itu di atas meja. Memilih saling memeluk.
Chat grup Kusuma.
"Wa'alaikumussaalaam. Innalillahi ... Mas, Abah call ya." Abah menanggapi.
"Wa'alaikumussaalaam. Ya Allah, Mas Panji." Abyan, Amir juga Gamal riuh menanggapi pesan sang ipar di dalam grup, namun tak satupun Mahen respon.
Kriing.
Kriing.
Kriing.
Mereka masih mengabaikan panggilan yang silih berganti masuk ke ponsel Mahen.
Hingga.
Kriing. Ponsel Mifyaz berdering kencang.
Mifyaz Ajmi menyingkir dari dekapan kedua orang tuanya, merasa harus memberikan klarifikasi agar keluarga sedikit lebih tenang. Ayaz lalu menerima panggilan dari Fayyadh.
"Assalamu'alaikum. Yaz, Maira dimana? kasih tahu Mas Fayyadh, lekas," ujar putra sulung Amir, sepupu mereka.
"Wa'alaikumsalam. Kata Ayah, do'akan kakak saja. Kalian jangan khawatir ... Mas Fayyadh kirim doa ya, hafiz itu memiliki keutamaan di mata Allah. Doa-kan Ka-kak a-ku," ucap Ayaz terbata dihimpit pedih, tak ia pungkiri, kepribadian Maira yang energik, lembut juga riang, sangat berpengaruh pada perilakunya.
"Ayaz! Yaz....!" Fayyadh gusar.
"Jangan pulang, Mas. Kan bentar lagi ujian. Do'ain aja ya, Assalamu'alaikum." Ayaz memutus panggilan sepihak.
Fayyadh kesal, ia melempar ponselnya ke atas ranjang. Namun sejurus kemudian mengambil kembali benda pipih itu. Kali ini dirinya akan meminta izin pada Aiswa, untuk pulang sejenak melihat Maira.
"Umma, boleh ya," pintanya saat menghubungi ibunda di tanah air.
"Ya kheir, syukron. Hanya Umma yang ngerti aku ... iya janji," ujarnya senang dengan senyum mengembang di wajah.
Setelah panggilan terputus, lelaki muda nan tampan, mengepak baju dan laptop serta beberapa buku juga mushaf ke dalam ransel. Dia bergegas keluar flat, untuk menuju Bandara.
"Maira, aku pulang...." ucap Fayyadh dalam hati saat mengingat wajah ayu itu.
.
.
..._______________________...
...Hmmm, mau nyelipin adab ringan aja disini. Yang masuk buat anak muda. Ringan, gak berat kek biasanya 🤭...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Arra
kalo berat gotongan momy 🤭
2023-06-08
0
Arra
baru epsode awal syudah mewek 🥺
2023-06-08
0
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Mom selalu jatuh cinta sm Karya2 mu, bnyak pelajaran baru di setiap bab nya yg bisa di ambil Hikmah nya, menulis novel smbil berdakwah, dengan gini bnyak yg biasa nya mlas belajar dan denger ceramah jadi sedikit bnyak tau ttg ajaran2 agama, sehat dan sukses selalu Mom,,, 😘😘🥰🥰🥰
2023-01-31
1