Ba'da maghrib.
Pasangan romantis tengah gundah melangkah menuju ruangan Dokter Salman di lantai lima. Telah bersama mereka, dua orang dokter muda pria dan wanita, namun beliau pamit undur diri lebih dulu.
Sesaat setelah masuk ke ruangan.
"Perkenalkan saya Dokter Nuha tsaqif, specialis syaraf juga nanti terlampir penjelasan dokter anestesi juga lainnya. Dokter Salman sebentar lagi tiba...." ujar beliau seraya duduk di ujung sofa.
"Mahendra ... thanks Dok," balas Mahen. Kali ini, lelaki paruh baya memilih diam tak ingin berinteraksi.
Tak lama kemudian, pintu bercat putih itu kembali terbuka.
Dokter paruh baya masuk ke dalam ruang kebesaran miliknya. Beliau menyalami hangat tamu wali pasien yang telah menunggu sebelum duduk di balik meja.
"Tuan Mahendra, saya langsung saja karena masih ditunggu di ruangan lain ... untuk Mahya, kami sudah melakukan segala upaya tindakan ... terlampir seperti yang anda setujui, hasil observasi tiga hari ini pasca tindakan, semuanya stabil. Dapat kami katakan bahwa Nona telah melewati masa kritis, alhamdulillah. Namun respon keseluruhan belum kami peroleh, maka dari itu saya memanggil dokter syaraf juga fisioterapi," ungkap Dokter Salman.
"Jadi kesimpulannya bagaimana?" Naya cemas, ia merasa di ujung nyawa.
"Terlalu dini menyimpulkan bahwa pasien dalam kondisi koma, kami akan terus berupaya semaksimal mungkin ... jika terus stabil, maka Nona bisa dipindahkan ke kamar perawatan," Dokter Salman menyerahkan berkas medical report milik Maira.
Sang ayah menelaah, tidak banyak yang bisa dilakukan dalam kondisi demikian. Akhirnya Mahen meminta putrinya dipindahkan ke rumah sakit Hermana Hospitals dengan alasan kekerabatan.
Meski berat, Dokter Salman menyetujui. Beliau memberikan banyak runutan prosedur agar proses kepindahan pasien berlangsung aman.
Pasangan Guna, menyetujui segala yang pihak rumah sakit ajukan pada mereka, tak lama keduanya pun pamit undur diri dari ruangan.
Baru beberapa langkah menjauh, sebuah suara menghentikan laju kaki.
"Tuan, Tuan Mahendra," seru seseorang.
Mahen menoleh ke arah belakang, dimana sumber suara berasal. "Ya, Dokter Nuha?"
"Izinkan saya membantu prosedurnya agar lebih ringkas. Juga, saya mohon diberikan akses untuk tetap memantau kondisi Mahya," pintanya sedikit pelan.
"Terima kasih ... hmm, maaf Dok. Bukankah jika pasien pindah, maka dokternya juga berbeda?" imbuh sang ayah Maira.
"Benar, free karena ini case permintaan pribadi. Silakan Anda rundingkan dengan team dokter yang baru dan kompeten mengenai kondisi Mahya ... aku hanya ingin observasi lanjutan kondisi pasienku," imbuh Nuha lagi.
"Hmm, bukan personal kan, Dok? Anda tahu maksud saya," Mahen menebak, Nuha simpati pada Maira dalam bentuk berbeda.
Tidak ada sahutan lagi, hanya sebuah kalimat.
"Jika Anda izinkan. Karena aku Dokter muda yang minim pengalaman dengan kondisi seperti Mahya."
Mahen menimbang, melihat ke arah istrinya. Naya hanya mengangguk samar, jika kondisi Maira dapat menjadi pengajaran juga pengalaman bagi sang dokter muda, maka ia mengizinkan.
"Silakan, tapi kemungkinan Maira akan kami pindahkan ke rumah. Untuk peralatan medis, kerabat kami akan menyiapkan segala sesuatunya di sana," tegas Mahen kemudian .
Nuha tersenyum, ia menyanggupi jika memang harus ke rumah mereka hanya untuk mengontrol pasiennya.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak. Kontak Anda please," Nuha menyerahkan ponselnya pada Mahen.
Setelah saling saving nomer kontak, Nuha menyatakan bahwa dia yang akan mengurus segala berkas kepindahan Maira. Tak lama, mereka berpisah tujuan.
"Naksir Maira." Mahen langsung menyimpulkan, seraya terus melangkah memeluk wanita kesayangan.
"Biarin lah, asal gak main sentuh nanti. Kan dia harus konsul juga sama dokter barunya, gak bisa kasih tindakan apapun kan?" imbuh Naya menenangkan dirinya dan sang suami.
...***...
Singapura.
Setelah menemani sang Ayah meeting pagi dengan klien di sebuah restaurant. El membuka e-mail, ia menerima kabar dari seseorang bahwa wanita pujaannya mengalami kejadian nahas. Hatinya diliputi perasaan cemas.
Ragu, namun El berusaha menyampaikan pada sang ayah perihal kondisi terbaru yang ia terima.
"Yah, hhmmm ada berita tentang Ai. Ayo lekas pulang," rengek El. Ia menyerahkan capture terbaru kondisi Maira.
"Tahu darimana?" tanya Ayah El menerima uluran ponsel putra sulungnya.
"Sumber terpercaya, Uncle Rey. Yah, apapun yang terjadi ... tolong izinkan aku, Ok?"
Sang Ayah, melihat foto seorang gadis dengan banyak alat medis yang melekat di tubuh.
"Why?"
"Karena aku punya alasan ... I'm done Dads," teguh hati El.
"Sudah bicara dengan Bunda? jika Bunda ok, ayah akan hormati, hargai dan dukung keputusan kamu, Kak ... karena ini masalah hati dan juga kita gak berwenang atasnya," ujar sang Ayah mewanti.
El diam, ia lalu meminta ponselnya kembali untuk menghubungi bunda. Tiga puluh menit dihabiskan lelaki tampan keturunan bangsawan itu, mendengar segala wejangan panutan dirinya.
"Alhamdulillah. Bun, ma-ka-siih," El terisak, terbata berucap.
Sang ayah melihat keteguhan hati putra sulungnya. El tak pernah peduli pada mahluk yang bernama perempuan, satu-satunya wanita yang ia puja adalah Bunda nya.
Namun, sejak seseorang memberikan informasi tentang dua gadis sholihah pada keluarga, El terlihat mulai memilih.
"Go On, lanjutkan niatmu. Ayah doakan, teguhkan hati ya Nak. Jaga dan cintai dia, karena ini pilihanmu ... jangan berkhianat sebab kau tahu kondisinya sejak awal," pesan sang Ayah lembut.
"In sya Allah ... Yah, aku cerita belum sih tentang isyarat yang aku dapatkan setelah istikharah? antara Ai, Fathia dan Sumayyah?"
Degh.
"Sumayyah, mahasiswi berhijab lulusan terbaik di kampus yang sama dengannya. Gadis itu sempat dekat dengan sang putra, tak kalah lembut juga santun, dengan nasab yang baik pula. Entah mengapa, El tiba-tiba berubah haluan pada Maira."
"Belum, kenapa?... Sumayyah, urusanmu dengannya sudah selesai?" tegas sang ayah.
"Done. Sejak mula, aku gak menaruh suka, hanya kawan diskusi biasa. Aku gak mau mempermainkan perasaan, jadi berkali ku tegaskan bahwa kita teman ... dia menolak, makanya aku menghindar," ungkap El kemudian.
"Begitu ya? tapi dia juga sholihah El," cecar dan ayah ingin menggoda putranya.
"Betul. Tapi aku, entah ... meski dia melebihi Maira dalam segala hal, kecuali satu ... Sumayyah gak punya," El tersenyum saat mengenang moment dengan Maira.
"Apa?"
"Sikap malu-malunya. Maira gadis modern tapi dia sangat jauh dari gaya hedon," ungkap El.
"Ya kan Sumayyah anak salah satu orang terkaya di Indo, wajar jika dia pakai branded," kilah sang ayah.
"Ayah tahu kan keluarga Maira? setara Sumayyah perihal harta, aku suka kesederhanaan keluarga Kusuma ... juga saat Uncle Rey berikan dua foto antara Ai dan Fathia, tanpa menyebutkan nama, sifat, kepribadian dan lainnya ... dia yang datang padaku."
"Semuanya bahkan terasa mudah mengenal Ai, hingga aku mendengar suara samar nan merdu saat ia mengikuti lantunanku saat membaca an-nur di Mushola. Aku gak sengaja menemukan jawabannya di sana." El menutup alasan mengapa dia memilih Maira, dibanding sepupunya. (bab 11)
"Fathia kan sama Kusuma, why gak dia? Maira lebih dewasa diatas kamu pula," sang Ayah masih menggoda.
"Lagian, kamu dan Rey itukan sahabat karib di Komunitas Penembak Amatir ... memilih Maira, bukan karena sungkan padanya kan, Kak?" sergahnya lagi.
Lelaki muda nan tampan hanya tersenyum, mengedikkan bahu.
"Bukanlah, masa urusan hati di nego sih? ... Fathia, entah ... uncle Rey gak bilang padahal kalau keduanya adalah keponakan angkat ... nanti aku ungkap alasan lain kenapa pilih Ai, selain karena mimpiku ... so, kapan pulang, Yah?" desaknya lagi.
"Akhir pekan ini ... langsung siapkan Mahar apa gimana nih?"
"Aku sudah siapkan."
.
.
...____________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Arra
:') para orang tua bijak
2023-06-10
1
Ersa
ohhh begitu
2023-05-21
0
lisna
aih jadi penasaran siapa sih el🤔
2023-03-06
1