"Enggak ... gak boleh ... Maira, Maira...." Fayyadh berusaha mengingkari realita, dia memaksa masuk ke ruang ICU namun Mahen cegah. Lelaki itu lalu memeluk putra sulung kakak iparnya erat.
Fayyadh bagai putra kandung Mahen, sejak kecil lengket dengan Naya, begitu pula Maira. Jika ada kesempatan libur sekolah, anak gadisnya lebih memilih menghabiskan setengah jatah liburan bersama Amir, kakak kedua Naya.
Tak heran, kisah shahabiyah wanita begitu melekat dalam ingatan putri sulung Naya itu. Amir yang seorang hafiz selalu menceritakan siroh Nabawiyah saat Rosulullah berdakwah pada semua cicit keturunan Kusuma.
Karenanya lah, anak-anak antusias jika keluarga besar mempunyai hajat acara berkumpul sekedar sowan. Dongeng Amir menjadi favorit bagi semua bocah.
Tak terkecuali Maira. Harapan itu kian membumbung tinggi manakala lingkungan dia dibesarkan menunjang cita-citanya menjadi pejuang.
Hari sudah menjelang sore.
Ponsel Mahen didalam tas Naya tak henti berdering, namun jika bukan urusan bisnis ia sungkan menjawab semua panggilan itu.
Bukan berniat mengabaikan, pasangan itu masih susah payah menata hatinya. Setiap kali saudara menguatkan dengan kata-kata menenangkan, air mata pun luluh. Pemilik Guna Farm.id hanya tak ingin terlihat rapuh disaat anak dan istrinya membutuhkan sosok tangguh.
"Fayyadh, jangan begini. Kuat kan kami, do'akan Maira ya," pinta Naya. Melihat Fayyadh terus berdiri di depan pintu ICU.
Fayyadh menoleh. "Bun, aku boleh ikut masuk gak sih? mau lihat Maira," tanyanya pada Bunda Naya.
"Gak bisa Mas, paling gantian sama Ayah Mahen nanti cuma kan kalian ... masa mau berduaan sih? gak boleh, meski dalam ruangan itu ada pasien lainnya karena Bunda gak yakin," Naya meragu.
"Gak yakin gimana Bun?" timpal Fayyadh lagi.
"Mas Fayyadh gak sentuh Maira," kali ini senyum Naya terbit, menggoda sang keponakan.
Fayyadh diam, menundukkan kepala lalu duduk disebelah sang tante.
"Bunda curigaan gitu sih. Tapi emang sih Bun, entah bagaimana di dalam sana nanti rasa hatiku," jawab putra sulung Aiswa, sama meragu.
"Kamu persis kakakku ... kapan pulang Mas? ujian loh, eman kalau sampai molor lagi. Mas Fayyadh pernah bilang kan kalau mau nyusulin Maira wisuda tahun ini, memadatkan mata kuliah hingga malam kata Abi Amir ... jangan sampai pengorbanan yang sudah di jalani menjadi sia-sia. Bunda yakin, Maira gak suka jika kita melakukan satu hal bertele-tele," nasihat Naya untuk pemuda tampan nan sholeh.
Althafaris Fayyadh terdiam merenungi ucapan tante yang masih sangat ayu. Ketika akan mengiyakan nasihat lembut tadi, ponselnya berdering.
"Umma, Bun. Angkat gak ya?" tanya Fayyadh pada Naya sambil memperlihatkan nama di layar gawai.
"Jawab donk, masa sama Umma ogah?"
Lelaki itu mengangguk, jemarinya menggesek tombol hijau ke arah samping.
"Assalamu'alaikum, iya Umma ... enggak, Fayyadh nginep di Jiddah, tapi gak tahu balik dari RS kapan," suara lembut pria muda, ketika bicara dengan sang Bunda meski lewat udara.
Sejatinya, sosok Fayyadh memang Naya harapkan untuk menjadi menantu. Namun hubungan baik dengan Amir, tak hanya ikatan darah akan tetapi bisnis juga lainnya khawatir goyah. Lagipula keduanya adalah sepupu dekat sejak kecil. Naya sangksi bilamana cinta yang hadir dalam hati mereka bukanlah perasaan sebenar-benar rasa.
Samar terdengar oleh Naya, suara Aiswa dari ponsel Fayyadh yang meminta putra sulungnya pulang ke Tazkiya sore nanti karena mereka sedang dalam perjalanan ke sana.
Tak lama, panggilan pun berakhir. Sesuai dugaan Naya, pemuda itu kecewa. "Bun, pamit ya. Salam untuk Maira, bantu kecupin di dahinya ya Bun," tunduk Fayyadh tersipu.
Naya hanya tersenyum. Tak mengira bahwa keponakan satu ini begitu sayang dengan putri sulungnya yang berusia dua tahun di atas Fayyadh.
"Iya, berapa kali Mas?" goda Naya lagi.
"Banyak, ampe semua wajah dah kalau bisa." Pemuda sholeh itu bangkit, meraih tangan Naya untuk salim lalu mohon pamit kembali ke Tazkiya.
Naya terkekeh mendengar permintaan Fayyadh.
"Bun, nanti aku balik lagi ya," ujarnya lagi sebelum melangkah pergi.
"Iya. Hati-hati dijalan Mas," pesan Naya melepas keponakannya.
Lima menit berselang. Mahendra keluar dari ICU.
"Gimana Sayang?" tanya Naya ingin mendengar perkembangan putrinya.
Maira stabil namun masih observasi. Dokter jaga bilang, jika terus seperti ini maka kemungkinan pindah ke kamar perawatan dapat lebih cepat.
"Sayang, hubungi Dokter Dewiq sudah belum? minta obat booster, berapapun harganya."
Naya mengangguk, ia meraih ponsel lalu menghubungi Dewiq, istri Ahmad, kakak ipar juga sahabat Aiswa.
Mahen mendengar semua penuturan Naya saat sambungan ponselnya berhasil.
" Abang, Dewiq ke sini sore nanti. Dia bilang, pindah ke Hermana Hospitals saja agar lebih mudah mengawasi perkembangan Maira," ujarnya setelah obrolan mereka terputus.
"Hm, nanti di pikirkan dan konsultasi ke Dokter setelah ketemu Dewiq," jawab Mahen, menarik tubuh istrinya dalam pelukan. Lelaki paruh baya itu nampak sangat terpukul kali ini, dia seakan tak sanggup menopang diri agar tegap bila tak ada bahu Naya, tempatnya bersandar.
...***...
Malam menjelang, Tazkiya.
Keluarga besar Yai Hariri salim berkumpul di ruang keluarga, kecuali Dewiq. Dia izin karena setelah pulang praktek akan langsung mengunjungi Maira di rumah sakit.
Umma Maryam, menyampaikan berita terkini yang dia dapat dari Mahendra langsung sore tadi.
"Maira, kemungkinan terburuk akan koma jika dalam dua hari tidak sadarkan diri. Berbagai obat perang-sang agar memicu reaksi sudah di berikan namun tubuhnya belum merespon baik. Untuk itulah, tadi Dewiq izin pada Umma dan Ahmad menjenguk Maira lebih dulu. Kamu ingat kan Aish, waktu kamu koma berbulan lamanya? karena booster racikan Dewiq? nah Mahen mencoba opsi itu untuk Maira," jelas ibunda Aiswa dan Ahmad pada semua orang yang berkumpul.
Degh.
"Iya ingat Umma, aku di tolong keluarga Hermana, hingga Kak Dewiq jadi iparku. Juga ketemu Qolbi lagi dan punya tiga krucil," Aiswa menoleh ke arah Amir, suaminya juga ketiga putra putri mereka.
"Jiddah, Njid, Abi, Umma ... hmm, Fayyadh ada satu permintaan, boleh?" lelaki muda menatap semua Sepuh yang dia hormati.
"Apa Nak?" Aiswa menjawab, di susul ke tiga tatapan pasang mata yang mengarah padanya.
"Aku ingin meminta Maira menjadi istriku, agar aku leluasa menjaganya. Mau dalam kondisi sadar atau tidak, aku ingin dia...." ucap Fayyadh mantap.
Dhuuaaarrr.
Keluarga besar sudah menduga hal ini. Fayyadh memang sangat mengagumi sosok Maira, meski usia terpaut lebih muda dari gadis itu.
"Belum lulus kuliah, Mas. Maira kan tinggal menunggu wisuda ... lagipula katanya mau fokus sama Arza preschool, konsep kamu udah jalan dan hanya perlu serius disana ... juga bimbel online dan offline sebelah Arza school itu, kan butuh treatment Mas, meski kamu udah berhasil balikin modal yang kami berikan dan usahamu itu lancar ... tapi semua dijalanin satu-satu dulu. Urusan jodoh gampang, kamu masih muda, jangan buru-buru," tutur Amir lembut mencoba membujuk.
"Abi, kan aku bisa jalani semua bareng. Lokasinya deketan, rumahku disana juga ya meski belum jadi sih karena uangnya buat balikin modal ke Abi dulu kan," balas Fayyadh cepat.
"Maka dari itu, satu-satu." Aiswa menimpali perkataan suaminya.
"Maira butuh aku, Umma, Bii ... Jiddah, Njid, tolong sih bujuk Abi dan Umma," pinta Fayyadh merengek pada kakek neneknya.
"Njid sih gimana kamu, sanggup gak nya mencukupi Maira lahir batin ... tapi, menikah dengan keluarga itu ada plus minusnya Fayyadh, kamu tahu itu ... jika masih ngotot ya silakan," Yai Hariri salim angkat suara, diangguki Maryam.
"Jadi intinya ... gak boleh ya? Abi gak restuin aku? umma juga?" Fayyadh salah kira.
"Bukan begitu. Jangan buru-buru, masa depan kamu panjang, pikirkan lagi Mas," bujuk Amir masih dengan nada lembut.
Merasa menemui jalan buntu, pikirannya hanya pada Maira. Maka Fayyadh memutuskan sesuatu.
"Ok, Fayyadh bakal mengajukan diri ke Ayah Mahen saja, ingin dengar pendapat beliau juga. Assalamu'alaikum."
Fayyadh bangkit dari duduknya, melangkah cepat meraih kunci mobil milik Jiddah, berniat mengunjungi keluarga Maira.
"Fayyadh! Mas!" seru Aiswa, bahkan Amir mengejar putra sulungnya namun terlambat. Pemuda itu sudah melajukan kendaraan.
"Bii, gimana?" Aiswa menyusul Amir di teras rumah.
"Entah, biarkan Mas Panji yang menasehati atau Abah. Aku akan menghubungi mereka dulu. Tenanglah Rohi, Fayyadh bagai cerminan kita," tak ia pungkiri, seakan kejadian masa lalu antara Aiswa dan dirinya terulang di kehidupan Fayyadh muda.
.
.
...____________________________...
Njid : panggilan untuk kakek. Asal kata jaddun.
Rohi : panggilan sayang Amir untuk Aiswa, istrinya. Asal kata Ruh, belahan jiwa.
Qolbi : panggilan sayang Aiswa untuk Amir. Asal kata Qolbun, hati.
Shahabiyah : sebutan bagi sahabat wanita yang berjuang dakwah di jaman Rosulullah.
...Sebutan itu, semuanya dari bahasa Arab ...
...❤❤❤❤❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Ersa
gpp entuk berondong May.... koyo aku bojoku luwih enom 2tahun seko aku. tapi kasunyatan e lebih dewasa bojoku tinimbang aku😁🤭
2023-05-21
1
mizuki
ini ceritanya di arab atau di indonesia ya....
2023-04-27
1
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Kirain Hermina Hospital, klo it deket sm rumah, 🤭✌
2023-02-01
1