Sepanjang hari, suasana hati Maira dipenuhi sesuatu yang membangkitkan semangat. Hingga menjelang sore saat dirinya tiba di kediaman, senyum masih menghiasi wajah bagai si anak blasteran.
Biiiipp. Maira membuka pintu apartement.
"Assalamu'alaikum, Ajmiiiiiii," seru sang kakak memanggil Mifyaz.
"Wa'alaikumussalaam. Darimana?" suara seorang pria, dari sofa ruang tamu.
Maira menoleh ke kanan, pada asal suara.
"Eh, Kak Fayyadh. Sudah lama? sepi amat ... hmm, aku masuk dulu ya," ujar Maira celingukan, sibuk mencari teman agar dia tak berdua.
"Ayah Mahen baru tiba, sedang mandi kayaknya tadi. Mifyaz, di kamar dan Bunda, entah. Gak balik sama kamu?" tanya Fayyadh dengan muka datar.
"Ck, tampan sih tapi gak jutek juga kali ... Bunda masih ada klien tadi saat aku siaran. Pas keluar kantor, udah gak ada ... Ok, enjoy your time," Maira berlalu.
"Kamu gak jawab aku, Mahya?"
Sreg. Maira berhenti.
Putri sulung Mahendra kembali menoleh ke arah Fayyadh. Ia memutuskan duduk di sofa single, berhadapan dengannya untuk menjelaskan sesuatu.
"Kak, maaf ya tadi menolak pergi karena aku banyak kerjaan. File dari ayah saja belum dilihat ... pekan depan aku ikut Charity, jadi harus latihan. Selepas walimah Kak Fatima, tugas laskar sudah menunggu. Jadi butuh banyak koordinasi ke markas agar misi yang di amanahkan pada kami dapat di tunaikan dengan baik. Juga, aku gak punya kepentingan. Sorry," tutur Maira menjelaskan alasan di balik penolakannya.
"Mahya, siapa bilang tidak punya kepentingan? kan aku minta pendapat kamu buat isi rumah itu," jawab Fayyadh.
Entah Maira yang tidak peka akan isyarat dari sepupu tampan itu ataukah Fayyadh masih meragu hingga menunda mengungkap kejelasan perasaan untuk Maira.
"Hmmm harusnya Kakak bawa calon istri ke sana, bukan aku. Atau referensi dari katalog furnitur kan bisa. Seleraku gak mungkin sama dengan seseorang yang akan kau pilih," sahut Maira, mencoba bersikap biasa. Dia tak ingin hatinya berharap lalu luka.
Fayyadh diam, merasa kecewa dengan jawaban Maira sore itu. Apakah gadis itu tidak peka terhadapnya atau dia sudah memiliki seorang kekasih.
"Sorry, aku hanya gak ingin berharap. Juga, belum tentu keluarga besar setuju, Kak. Jangan menaruh harapan padaku." Maira merasa harus mengatakan ini agar hatinya tenang.
"Tahukah kamu Maira? yang menahanku hanyalah karena pesan umma agar menyelesaikan studi dahulu, untuk itulah aku mengejarmu setengah mati supaya dapat wisuda bersama di tahun ini. Aku gak bisa membantah keinginan beliau tapi berharap kamu mengerti tanpa harus berkata tentang isi hati, nyatanya sulit. Terserah Allah saja lah."
Fayyadh bangkit berdiri, meninggalkan Maira sendiri. Tak ada langkah pencegahan yang keluar dari bibir manis princess Kusuma.
Huftt.
Gadis ayu itu memilih masuk ke ruang kerja, melihat tumpukan berkas di sana hingga sang ayah muncul di ruangan yang sama.
"Sayang, kenapa tadi? Ayah dengar kamu bicara dengan Fayyadh."
"Heem. Menjelaskan tentang alasan penolakan tadi juga rasa hatiku dan agar dia tak berharap. Yah, aku salah ya?" Maira mendongakkan kepala, melihat pada sosok Mahen yang duduk di hadapannya.
"Enggak. Menurut Ayah kamu tepat. Fayyadh tidak mengutarakan perasaannya bukan? juga belum minta kamu ke Ayah. Jaga jarak, wajar ... tapi Maira, kamu ada rasa gak sama dia?"
Maira diam. Menimbang getar hati, lalu mengedikkan bahu. "Cinta bisa di pupuk, Yah. Aku kagum padanya, dia sempurna," jawab Maira lugas.
"Sayang ... pesan Ayah. Pernikahan adalah sembilan puluh persen, isinya tentang komunikasi. Jika sedari awal obrolan kalian gak nyambung, semua sifat bertolak belakang maka jangan teruskan ... berjuang sendiri dalam biduk yang seharusnya dijalankan bersama itu berat. Kamu gak akan sanggup kecuali niatmu lillaah. Fayyadh disiapkan Abi Amir untuk dakwah, lihat dunianya," terang Mahen menakar logika putrinya.
"Gitu ya, lalu?"
"Dunia Fayyadh berkutat pada pengembangan pendidikan. Cocok dengan kamu yang punya skill public speaking ok, namun bukan hanya itu saja ... tidak jaminan sih memang tapi setidaknya ada satu hal yang menjadikan dia alasan pantas untuk hidup bersama," sambung Mahen memberi gambaran.
Maira tersenyum manis. Jarinya memainkan pulpen diatas meja.
"Ayah tahu, kamu interest dengan El kan?"
Lagi, Putri Naya itu hanya tersenyum. Wajahnya merona. "Yah, dia hafiz kayaknya. Tadi ketemu di Mushola. Suara dia, ya ampun enak banget. Pas aku cari mushaf eh disana gak ada. Ponsel El ketinggalan dan diantar sama aspri kala aku hendak wudhu ... berarti kan dia hafal ya," tebak Maira.
"Bisa jadi sih, tapi mungkin cuma hafal. Memang kenapa kalau dia hafiz? belum tentu juga mau sama kamu yang sholatnya masih suka terlambat, ngaji bolong bahkan hafalan gak nambah ... dia juga cari yang sekufu," goda Mahen.
"Ya bagus kalau dia hafiz. Sempurna kayak Fayyadh."
"Fayyadh lagi. Kamu berat ke Fayyadh tapi ragu kan Sayang?" tebak Mahen di angguki oleh putri cantik di depannya.
Maira salah tingkah. Tak menampik pesona Fayyadh sulit di ingkari. Namun bayangan suara El mengaji, terus terngiang di telinga.
"Yah ... menurut Ayah, asbabun nuzul An-nur ayat 26 itu apa? tentang Sayyidah Siti Aisyah yang dituduh kafir Quraish karena tidak pantas bagi Baginda bukan? dan ayat itu penyangkalan yang Allah turunkan ... tapi pendapat Ayah tentang kandungan isi nya bagaimana?" Maira ingin mendengar penjelasan versi ayahnya tentang rasa gundah sebab kedua pria.
"Anaknya Bunda kenapa kritis semua sih ya? pengaruh Abi Amir ini...." Mahen menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis.
"Ok Ayah jelaskan semampunya ya ... kamu tanya Bunda juga agar lebih tegas, ibumu itu lebih fahim dari Ayah ... bismillah...."
"Betul tentang kisah itu ... setiap kita akan dipasangkan dengan manusia lain yang mencerminkan diri. Namun jodoh adalah rahasia Ilahi, tidak diketahui oleh mahluk ciptaanNya ... bisa saja Allah menjodohkan lelaki baik with wanita kurang baik atau sebaliknya ... untuk saling melengkapi dan memperbaiki satu sama lain."
Mahen menjeda, menarik nafas panjang, dia harus berhati-hati menjelaskan hal ini.
"Hanya saja secara logis dapat dianalogikan bahwa seseorang akan lebih tertarik dengan yang satu frekuensi atau memiliki kebiasaan sama ... dengan kata lain, ketika seseorang mempunyai kebiasaan baik tentu yang didekatinya atau ditargetkan menjadi pasangan adalah hampir bahkan sama atau sebaliknya," tutur Mahen panjang.
"Hmm gitu ya ... jadi apapun dan siapapun jodoh kita, itu baik menurut Allah. Ok lah, mari pantaskan diri lagi, Maira!" tekadnya kuat.
"Untuk siapa, Sayang?" Mahen meraih berkas yang sudah putrinya kerjakan dari atas meja.
"Pria sholeh."
"Fayyadh?"
"Emang cuma dia doank yang sholeh? kan banyak Yah," bantah Maira.
"Termasuk El? atau Kaffa putra Om Gamal?" pancing Mahen lagi, susah sekali mengetahui isi hati putrinya.
Maira mengangkat kepalanya, menatap manik mata teduh milik sang Ayah.
"Kaffa? dia bussineman, sibuk. Gak akan punya waktu buat manjain aku," tukas Maira.
"Ckck susahnya anak gadis milih jodoh. Uncle Pras saja atuh ya," Mahen tergelak mengingat Pras suka salah tingkah bila didekat Maira.
"Yeee, nanti kayak Ayah sama Bunda. Bedanya jauh banget." Maira ikut tertawa.
"Ngemong loh Sayang."
"Tapi dia gak kayak Ayah. Ogah," sergah Maira masih tertawa renyah.
"Jadi maumu?"
"Yang seperti Ayah, titik. Sayang banget sama Bunda dan Eyang Rosi juga Eyang Abah ... santai tapi tegas."
"Maira, Maira. Ayah cuma diciptakan satu, buat Bunda doank."
Obrolan sore Ayah dan anak yang mencerminkan betapa ikatan batin mereka erat berlangsung hingga tugas Maira selesai.
...***...
Hingga malam menjelang, Maira masih menghindari Fayyadh. Dia lebih suka mengurung diri di kamar, bahkan Jasper diabaikan olehnya sebab kehadiran pria itu disana.
Tok. Tok.
"Masuk aja, kalau Ajmi, Ayah atau Bunda," seru suara lembut dari dalam kamar.
"Sayang." Mahen masuk.
"Eh Ayah. Kenapa?"
"Gak apa, cuma mau liat kamu. Sudah packing kan? besok siang kita terbang ke Semarang ... masih hafalan?"
"Done ... he em, biar pantas kalau ada pria sholeh yang lamar aku. Tanpa peduli dengan kondisi ku nanti, satu visi dan tujuan, hobi sama juga romantis, semoga Allah berkenan kasih aku satu pria macam itu, aamiin."
"Aamiin ... kondisi apa? memang kamu kenapa? gak apa-apa kan?" Mahen terbersit sebuah firasat.
"Ya kan gak tahu Yah. Kali aku sakit atau kenapa gitu ... dia nerima aku apa adanya," ucap Maira.
"Aamiin. Jaga diri baik-baik ya Sayang ... Istirahat, jangan berusaha terlalu keras. Bunda gak kesini karena kecapean, titip kis-ss buat Princess Kusuma satu ini."
Mahen meminta putrinya tidur, menarik selimut juga mengusap kepala Maira lembut. Tak lupa memberi kecupan di dahi cinta keduanya itu sebelum beranjak dari sana.
"Tunjukkan wajah nya ya Robb, siapa pria dalam mimpiku. Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad." Maira membatin, setelah membaca runutan ayat dan surat sebelum tidur, ia pun terlelap.
.
.
..._______________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
mingming
sama el aja ya mom...lbh santay dan ngemong kek nya.klo fayyadh lbh ngatur dan egois
2023-01-13
2
@Ani Nur Meilan
Saat Maira Koma Fayyadh yg bersedia menikahi Maira.. 🤔🤔🤔🤔
2022-12-03
2
AlAzRa
dua wajah dalam mimpi, bingung ngko den ayu...
aku melu galon makkkkk
2022-12-01
1