ISTIKHARAH CINTA KUSUMA
PROLOG
Kusuma, salah satu klan keluarga ningrat dari Solo. Pada generasi kedua trah Danarhadi, kualitas adab para keturunannya berubah drastis, sangat religius juga kian santun.
Perubahan gaya didik dan tatar tata krama yang di usung, berimbas pada pencitraan keluarga Kusuma menjadi semakin baik.
Dianugerahi rupa cantik menawan nan anggun, juga ketampanan sundul langit tidak menjadikan cicit keturunan Kusuma dari garis nasab Danarhadi menjadi pribadi ujub dan zuhud, meski asset kekayaan melimpah.
Inilah, kisah cinta para keturunan Kusuma generasi ketiga. Akankah keteguhan aqidah yang diturunkan oleh pendahulunya masih sanggup melawan godaan dunia.
...***...
Jakarta.
Tidak ada yang dapat menduga bahwa siang itu akan terjadi keributan besar di sekitar Senayan.
Demo mahasiswa yang digadang akan berjalan damai pun berubah ricuh sebab ditunggangi oleh oknum penyusup sehingga isu untuk memicu kekerasan menyeruak, menghantarkan hawa kebencian publik terhadap penguasa. Massa yang berbondong, brutal berlomba seakan diri paling kuat hingga dominan menguasai beberapa titik penting di Ibu kota.
Mahya Humaira, gadis ayu berusia 23 tahun tengah bertugas mengawal keselamatan seorang guru, Ustadzah Aminah Al-Kahf. Dalam satu kajian akbar khusus para akhwat di gedung PRJ yang berlokasi di sekitar kawasan Senayan.
Saat suhu emosi demonstran mulai menyurut. Maira begitulah dia dipanggil, memulai misi evakuasi bagi para rombongan pengisi acara.
Tanpa di nyana oleh sang gadis, saat iringan mobil para pendakwah melintas kawasan ekstrim, laju roda empat mereka di jegal sekumpulan massa. Merasa punya andil juga tanggung jawab besar yang Ayahnya limpahkan, Maira pun turun bersama tiga orang pendamping.
Terjadi ketegangan di sana, namun sang putri Mahendra Guna tak gentar. Dia menawarkan sebuah opsi agar rombongan dapat melintas leluasa.
Baru saja terjadi kesepakatan perdamaian, amukan massa lain dari sayap kiri menerobos jalur alternatif yang Maira gunakan saat ini.
Baku tembak, peluru karet juga lemparan gas air mata oleh petugas keamanan tak terhindarkan. Dengan sigap, sang kapten mengkomandokan agar driver mundur sejauh yang mereka bisa capai.
Suasana mencekam. Terdengar pekikan suara takbir dari dalam mobil. "Allahu akbar!" Ketiga pendamping Maira, berusaha membantu kedua kubu agar kembali tenang. Melambaikan kode bahwa banyak warga sipil di sana.
Tiba-tiba. "Maira, awas!" teriak salah satu akhwat.
"Kapten!" suara rekan satunya.
Glatraaakkk. Wuuusshhhzzzz.
Lemparan gas air mata tepat di samping Maira yang tengah berlindung. Tangan ramping itu pun menutup masker pelindung keamanan yang melekat di wajah seraya menghindar.
Tubuh sang kapten melemas, ia sempat menghirup udara beracun di sekitarnya tadi. Cairan gas air mata menembus masker yang dikenakan.
Keringat dingin mengucur dari balik hijab tertutup masker, bercampur air mata menembus netra, perih. Wajah ayu Maira pias, tak menampik bahwa ketakutan hebat hadir sesaat tadi.
"Capt, gak apa?" tanya akhwat ketiga.
"Gak apa ... yuk, mundur pelan lalu memutar satu blok menyusuri jalan sempit sesuai maps evakuasi plan C. GO ... GO...." Maira menaikkan jemari telunjuk kanannya tinggi, memutar tiga kali di udara, isyarat agar laskar yang dipimpinnya berbalik arah.
Merasa harus menenangkan sang guru, kapten pun mendekat pada mobil iringan pertama. Dia meminta driver menurunkan kaca pintu tengah. "Ustadzah, afwan. Ana berusaha mencari jalan aman, mohon doa agar evakuasi tak berlangsung lama. In sya Allah bisa keluar dari jalur ini, meski harus memutar satu block," tutur Maira setenang mungkin agar sang guru tidak khawatir.
"Ya Kheir, Maira. Hanya Allah, sebaik-baik pemilik rencana juga pemutus takdir. Hati-hati, doaku selalu menyertai. Jazakillah kheir Maira," ucap sang guru mengelus pipi Mahya Humaira lembut.
Misi pun dilanjutkan. Microphone miliknya yang tersambung dengan sang asisten Mahendra mengudara. "Nona, Anda punya waktu selama lima belas menit pada lajur plan C. Lekas," suara Adnan menuntun sang kapten amatir.
"Gotcha ... thanks," balas Maira bergegas. Dia berlari diikuti rekannya, mulai meraih pis-tol dari balik rompi belakang.
Berkat aksi sigap, mereka lolos dari amukan massa. Ujung jalan raya sudah terlihat, para akhwat bercadar yang dilengkapi peralatan canggih oleh Mahendra pun mulai turun mengawal iringan ketiga mobil keluar dari sana.
"Alhamdulillah, jalan," ucap Maira menginstruksikan pada kedua driver untuk segera melaju.
Dia dan ketiga rekan inti masih menunggu satu mobil yang tertinggal.
Dor. Dor. Dor.
Duumm.
Lokasi ini masih tak aman, wajar karena mereka hanya memutar arah menyusuri gang sempit sekitar Senayan.
"Come on, come on." Maira cemas, suara kerusuhan kian kentara terdengar mendekat.
"Dia grogi Mai, driver baru kayaknya, takut amat sremped padahal situasi genting," keluh sang rekan kedua pada Maira, saat melihat mobil berusaha melewati gang yang hanya muat satu kendaraan.
"We did it!" tegas Maira meyakinkan dirinya.
"Trabaaaaassss!" akhwat ketiga berteriak.
"Mai ... Mai lihat, mepet Mai," tepuknya pada lengan kanan Maira, satu persatu pendemo mulai datang.
"Gooooooo," suara Maira, lega ketika mobil ketiga lolos dan sudah melaju meninggalkan lokasi. Keempat laskar wanita muda itu berlari membaur dengan massa, tak mungkin menghentikan kendaraan tadi saat seperti ini. Biarlah mereka mengawal seraya berlari.
"Mairaaaaaaa, awas!" suara akhwat ketiga. Tubuh wanita itu menabrak Maira yang tengah mengevakuasi mahasiswi sebab ia terjatuh dan diinjak massa.
Brughh. Boom.
"Mairaaaaaa!" rekan kedua, Anis berseru.
"Khadijaaaaaahhh! Kapt!" giliran Elma berteriak tak kalah lantang kala kedua rekannya rubuh disamping tubuh sang mahasiswi.
Kedua pendamping sang kapten, menarik ketiga tubuh yang terkapar di jalan raya. Dengan menahan isak tangis, mereka mengevakuasi kedua rekannya. Bersembunyi ke sisi tembok rumah penduduk.
Peluru karet masih bersliweran. Sungguh situasi antara hidup dan mati. Tak lama, keamanan pun datang, juga tenaga medis membantu mereka.
"Identitas?" seru seorang polisi yang menghampiri mereka seraya menodongkan senjata laras panjang.
"Kami bodyguard dari Eye-Shadow, tengah menjalankan misi pengawalan untuk seorang guru dan terjebak huru hara," sahut rekan kedua Maira, menunjukkan gelang identitas.
"Ok, evakuasi mereka," titah sang komandan pada para anak buahnya.
"Lapor Komandan, kapten dan satu rekan terluka. Kami sedang di evakuasi oleh petugas keamanan. Rombongan Ustadzah telah lolos dari red zone." Akhwat kedua yang bernama Anis, melaporkan pada Adnan lewat microphone di jaket Maira.
Sementara di tempat lain.
Mahendra hanya diam, mendengar suara Anis yang melaporkan bahwa putrinya terluka. Dia sudah menduga ini akan terjadi suatu saat nanti. Dan kini, hatinya harus siap.
"Bos," Adnan menatap sang pimpinan.
"Jangan bilang pada Naya. Aku akan melihat putriku," ujar Mahendra bangkit, keluar ruangan komando menuju titik demo juga evakuasi korban.
"Bos, aku ikut." Adnan membawa pistol mini rakitan miliknya, menyelipkan di ujung celana seraya menyusul langkah sang pimpinan.
"Maira, jangan terluka parah, Sayang. Kamu adalah cinta kedua Ayah setelah Bunda," lirih Mahendra Guna sembari membuka handle pintu mobil.
Satu jam yang sulit di tembus.
Kedua pria tegap akhirnya tiba dirumah sakit dimana Maira mendapat perawatan medis. Terlihat di kejauhan, dua rekan Eye-Shadow saling memeluk erat, mereka menangis histeris.
"Ada apa ini? di mana putriku?" tanya Mahendra saat menghampiri pasukan akhwat miliknya.
"Bos, kap-ten...," isak Anis tak dapat meneruskan kalimatnya.
"Maira kenapa? Jangan katakan bahwa putriku," gumam Mahendra, sekelebat pikiran buruk menyergap benaknya seketika. Bayangan kehilangan Maira, menjadi petaka yang harus ia tanggung.
"DIMANA MAIRA!" giliran Adnan berteriak. Dia, yang mendidik Maira hingga mahir mengunci dan membidik target menggunakan pis-tol. Ia pasti merasa terpukul jika gadis ayu itu terluka.
"Mai-ra. Dia...," ucap Elma terbata.
.
.
...________________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Ersa
aku pernah di situasi kacau balau demo, peristiwa Moses gatot kaca -gejayan jogja th 1998. mo nangis,takut campur aduk jd satu,sembunyi diperpustakaan kampusku saat aparat mengepung. sempet menolong wartawan yg terkena gas airmata. Ya Allah kacau banget saat itu
2023-05-21
1
Ersa
tampan sundul langit ki koyo opo seh?🤔
2023-05-21
1
lisna
wiiihh kereeen..baru baca udah tegangg
2023-03-04
2