Teruntuk Suami Yang Tidak Mencintaiku
Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral. Bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah. Dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang musti diindahkan.
Dia memimpikan wanita yang sempurna, dan aku memimpikan dia yang sempurna. Sementara di antara kami telah lupa, bahwa Allah menciptakan kami untuk menyempurnakan satu sama lain.
Aku mendambakan dirinya, jauh sebelum pernikahan ini berlangsung, bahkan aku telah jatuh cinta dalam pandangan pertama yang aku ingat detail kapan waktunya.
Ku kira dia akan menerima pernikahan ini meski kami dijodohkan. Namun sesampai di rumah ini, ia membagi batas denganku, juga membagi kamar kami. Aku di kamar utama, ia di kamar tamu.
Sikapnya berubah total, begitu dingin. Dan aku ingat persis kapan perubahan sikapnya itu kepadaku.
****
Hidayat terhuyung. Perlahan ia menjatuhkan dirinya ke kursi kasir di kios kelontongan yang ia jaga, dengan posisi tangannya masih memegang ponsel di telinganya.
"Innalilahi wa innailaihi Raji'un…." Ia menutup kedua matanya dengan sebelah telapak tangannya. Tiba-tiba bahunya bergetar hebat, terdengar isak kecil di balik mulutnya yang terkunci rapat.
"Tutup kembali kios kita, Ki…." Perintahnya dengan suara terdengar getir pada salah seorang karyawan disana. Padahal, baru saja mereka menghembuskan nafas lega setelah selesai membuka barang pajangan.
"Apa yang terjadi, Bang?" Rizki, karyawan toko terlihat ikut panik.
"Bang Ajiz-" Suara Hidayat tertahan. Ia kembali tersedu.
"Kenapa dengan bang Ajiz, Bang?"
Hidayat masih terdiam.
Dua karyawan lainnya ikut memandangi gerak-gerik Hidayat dengan wajah menegang.
"Bang Ajiz sudah tiada, Ki..." Jawab Hidayat kali ini berusaha menahan diri.
"Innalilahi wa innailaihi Raji'un..." Mereka serentak berucap. Tampak dengan nyata raut wajah berduka di wajah mereka.
"Ini?"
"Aku baru saja dapat kabar dari kampung, Ki... Kak Zahra dan bang Ajiz benar-benar jodoh dunia akhirat..." Hidayat seakan memperjelas untuk menepis ketidakpercayaan mereka.
Rizki terduduk. Tampak ia terpuruk setelah mendengar penuturan Hidayat.
"Bang Ajiz orang yang sangat baik, sehingga kita pantas merasa kehilangan... Bahkan beliau memperlakukan kalian layaknya adik sendiri, sehingga kalian pasti sangat terpukul akan berita yang mengejutkan ini..."
"Kami boleh ikut ke kampung, Bang?" Tanya Rizki dengan air matanya yang telah berderai.
Hidayat mengangguk. "Tentu... Saya tidak berhak melarang kalian. Saya akan kabari bang Arya terlebih dahulu."
Hal yang sama juga terjadi pada Arya Irawan, artis muda yang terkenal. Mereka berteman baik sejak novel kakak Hidayat difilmkan dan diperankan oleh Arya sebagai protagonis pria. Bahkan ia, Ajiz dan Zahrana terlibat cinta tiga segi yang tidak pantas dirasakan Arya kepada almarhumah Zahrana, kakak kandung Hidayat.
Ia sangat terkejut mendengar kabar tentang meninggalnya Ajiz, menyusul istri tercintanya dan banyak dicintai oleh orang-orang. Dalam hatinya ia terkagum betapa cinta dua insan itu begitu sejati. Bermula atas kepergian Zahrana tiga bulan yang lalu, dan kini menyusul Ajiz menemui istrinya yang shalihah itu.
"Pulang bersama Abang, ya, Yat?" Ajak Arya dalam teleponnya.
"Terimakasih, Bang Arya... Bolehkah Hidayat membawa Rizki, Jipo dan Tio? Mereka sudah seperti adik bagi bang Ajiz..." Pinta Hidayat dengan suara terdengar parau.
"Tentu, Yat... Mobil Abang terlalu lapang untuk kita berdua." Jawab Arya.
"Terimakasih, Bang..."
"Jangan berterimakasih terus, Yat... Kita ini Bukankah keluarga?" Arya sama halnya, merasa sangat kehilangan mendengar meninggalnya kakak ipar Hidayat.
"Apa Ari sudah diberitahu?" Tanya Arya lagi.
"Entahlah, Bang... Hidayat akan menghubungi bang Ari..." Jawabnya.
Dalam hatinya Hidayat begitu kecewa, tatkala memandangi kios yang ia rintis saat ini. Kios yang dihasilkan oleh keuntungan novel almarhumah kakaknya, yang dirintis kakak iparnya dari nol kembali setelah kios sebelumnya kebakaran.
"Katanya, bang Ajiz pulang kampung hanya karena merindukan kak Zara. Tapi kenapa kampungnya, kampung akhirat?" Sesal Hidayat. Air matanya bergulir begitu saja, mengingat kakak iparnya itu begitu dekat dengan dirinya.
Mereka berlima pagi itu langsung berangkat pulang ke kampung. Walaupun raut wajahnya tidak berbohong mengatakan ia sedang berduka, namun Hidayat beberapa kali tampak sibuk memainkan ponselnya.
"Bagaimana dengan Ari, Yat?" Tanya Arya kembali mengingat saudara susuan Zahrana.
Hidayat bergeming. Ia seperti tidak menyadari pertanyaan Arya kepadanya, karena ia masih saja sibuk menekan-nekan tombol layar ponselnya.
"Yat?" Ulang Arya dan kali ini menoleh kepadanya.
"Eh, i-iya, Bang..."
"Ari bagaimana?"
"Owh bang Ari... Tadi Hidayat sempat kabari, tapi kata bang Ari mereka sudah jalan ke bandara bersama mama dan papanya. Mereka telah diberitahu ibu tadi pagi..." Tutur Hidayat.
Tujuh jam perjalanan mengantarkan mereka sampai di rumah orang tua Hidayat. Tampak pelayat telah mulai lengang, karena memang kedatangan mereka tidak dapat ditunggu untuk memakamkan Ajis.
Hidayat dan yang lainnya langsung ke pemakaman Ajis yang berada di belakang rumah kediaman keluarga Marwan. Disana masih terlihat seorang gadis tersedu-sedu menangisi kepergian Ajiz.
"Maira..." Arya mendekat hendak menenangkan, namun gadis itu tak kunjung menoleh. Ia masih larut dalam duka yang mendalam.
Hidayat berdiri berhadapan dengan gadis itu, kemudian perlahan berjongkok dan bertumpu di batu nisan yang baru tertanam di atasnya.
"Jahat kamu, Bang..." Tuding Hidayat terdengar getir.
Gadis itu mulai melirik ke wajah di hadapannya. Ia semakin terisak. "Bang Ajiz juga meninggalkan Maira... Bang Ajiz lebih sayang kak Zahra..."
Arya meletakkan telapak tangannya ke bahu Maira. "Semua sudah diatur oleh yang maha Kuasa, Maira... Ajiz pergi karena memang sudah jalannya yang telah tertulis sebelum ia dilahirkan... Kita harus ikhlas melepas kepergiannya, biar mereka berbahagia berdua di surga Allah..."
"Bang Ajiz sudah seperti bang Mus bagi Abang, Maira... Abang juga terpukul atas kepergian bang Ajiz... Maira yang kuat, ya..." Hidayat ikut membujuk tanpa sedikitpun menoleh.
Khumaira Fatimah, ia adik dari kakak ipar Hidayat, dan telah lama menaruh hati kepadanya. Ia menjadi risih, meski ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk perasaan gadis itu terhadap dirinya.
Mendengar ia yang berucap, air mata Maira semakin deras. "Tak ada lagi Abang Maira yang menyayangi Maira..."
"Masih ada Abang, Maira..." Potong Arya cepat. "Ada bang Hidayat, bang Mus, bang Ed..."
"Juga masih ada bang Ari, Maira..." Sosok pemuda lainnya datang menimpali.
Maira menoleh kepada Ari, ia lalu menyunggingkan sedikit senyumannya. "Terimakasih, Bang..."
Maira kemudian menoleh pada Hidayat yang masih bergeming di hadapannya, menunduk menatap makam Ajis yang masih basah. Ribuan harapan terbendung di hatinya kepada Hidayat, tidak hanya sebagai sosok Abang, melainkan lebih dari itu. Namun dari awal, Hidayat tidak pernah menatapnya sesuai dengan harapannya. Ia putus asa, karena setelah kepergian Ajiz, mungkin tidak akan ada lagi pengikat di antara mereka.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
abdan syakura
Assalamu'alaikum
Mampir ya Kak Radetsa....
☺️👍💪
2023-05-23
1
Karlina S. Wiratmadja
baru baca
2023-02-17
1
Yuli maelany
aku pindah karya kakak d akun ku yang ini yaa kak,,
dan aku mampir dan langsung nyimak.....
2023-02-03
1