Hidayat merenung, memunggungi ibunya yang menatapnya dengan permohonan. Raut kekecewaan terbesit jelas di wajahnya yang kusut penuh kehampaan.
"Ibu memutuskan semua ini secara sepihak tanpa mendengar pertimbangan dari Hidayat dulu..." Ucap Hidayat dengan suara getir.
"Apa lagi yang perlu kamu pertimbangkan, Nak? Ini sudah menjadi keputusan Ibu... Tolong, tolong untuk kali ini bersikaplah seperti almarhumah kakakmu..." Ucap bu Zainab memelas.
"Tapi ini berbeda, Bu..."
Hidayat membalikkan badannya menghadap ke ibunya, lalu ia berjalan mendekat. Sementara anggota keluarganya yang lain hanya diam mendengar perdebatan di antara mereka.
"Apanya yang berbeda? Katakan! Katakan apa alasanmu menolak permintaan Ibu..." Tegas bu Zainab bersikeras pada keputusannya.
"Hidayat... Emmm..." Hidayat tiba-tiba menjadi gugup. Ia tak lagi berani menatap ibunya.
"Kenapa? Coba beri alasan kepada ibu, mengapa kamu sampai bersikap seperti ini? Apa kurangnya Maira? Kenapa kamu menolak untuk menikahinya?" Desak Bu Zainab tanpa ampun.
"Tidak ada yang salah dari Maira, Bu... Hanya saja Hidayat tidak memiliki rasa terhadapnya..."
Semua anggota keluarga yang mulanya hanya diam, kini beralih menatapnya tajam.
"Lalu, apa ada perempuan lain di hatimu?" Tanya Muslim, kakak lelakinya mulai mengintimidasi dirinya.
"Memangnya tidak boleh jika hati ini memiliki rasa terhadap seseorang, Bang? Bang Mus enak akan menikah dengan perempuan yang Bang Mus suka..." Keluh Hidayat terdengar tidak menyukai pertanyaan itu.
Muslim bangkit dengan wajah garang. Ia terlihat murka, namun Umayyah dengan sigap menahannya agar tidak mengeluarkan kata-kata lagi.
"Tidak ada yang salah dengan perasaan kamu, Nak... Hanya saja, bukankah dengan menikahi Maira, keluarga kita akan tetap mengokohkan hubungan yang sudah dibangun oleh almarhumah kakakmu dengan keluarga Maira? Kita juga sudah mengenal detail keluarga mereka... Orang tua Maira saja yang hanya memiliki dua anak, rela memberikan kedua anaknya itu untuk dijadikan menantu oleh Ayah dan Ibu... Padahal, bisa saja mereka mencari yang lebih baik daripada keluarga kita ini..."
Hidayat menunduk. Ia sebenarnya masih tidak mengerti dengan keputusan keluarganya yang bersatu memaksa dirinya untuk menerima perjodohan ini, namun ia sebagai anak paling bungsu hanya bisa pasrah dan menyerah.
Bu Zainab mendekati Hidayat lagi. Ia terlihat mulai melunak. "Apa kakakmu sama sekali tidak pernah berwasiat terhadap kamu, Nak? Maira anak yang baik, dan telah lama menaruh hati kepadamu... Tapi ini memang bukan perkara hatinya saja, melainkan demi kakakmu dan segala peninggalan mereka berdua. Ingatlah! Sesuatu yang buruk bagimu, belum tentu buruk bagi Allah... Bisa jadi apa yang tidak kamu sukai, malah itu yang terbaik bagimu..."
Hidayat bergeming. Seketika ia menjadi pelawan dalam hati. Memberontak tanpa berani berteriak menyatakan argumennya yang menolak keras perjodohan ini.
Perdebatan pagi ini usai. Hidayat menelan kekecewaan terhadap keputusan keluarganya yang bertolak dengan kemauannya sendiri.
Dadanya terasa sesak. Ia tidak sanggup lagi membantah, namun ini bukan inginnya. Ia bersandar di dinding bawah jendela kamarnya yang menghadap ke perkebunan belakang rumah. Di dalam genggamannya terdapat secarik foto. Ia angkat, lalu menatap gambar wajah di dalam foto itu.
"Aku menyukai Kirana, Kak..." Ucapnya berkeluh-kesah kepada foto yang ternyata bergambar diri almarhumah kakaknya, Zahrana Habibah Marwan.
"Bagaimana mungkin menikahi Maira adalah wasiat kakak, sementara kakak menyukai Kirana juga, Kan? Katanya, dia mau berhijab setelah ini. Dia mau meninggalkan dunia entertainment demi Hidayat..." Ucap Hidayat mencurahkan segala isi hatinya, dan mungkin itu jauh lebih baik baginya saat ini.
***
Maira terlihat melamun di sudut rumahnya. Setelah acara tahlilan malam ke dua di rumah mertua abangnya semalam, ia dan kedua orangtuanya kembali ke desanya. Tahlilan ke tiga akan di adakan di rumahnya untuk nanti malam.
Ia tampak dilema. Tatapan Hidayat pada malam itu masih mengganggu pikirannya, menelisik jantung hatinya. Ia merasa risau, takut jika Hidayat tidak menyukai jawaban darinya.
"Kenapa Maira melamun? Apa Maira masih sedih dengan kepergian bang Ajiz?" Ibu Maira datang dan duduk di sebelahnya. Beliau mengusap lembut punggung Maira dengan penuh kasih.
"Maira tidak boleh egois, Bu... Bang Ajiz pasti merindukan kak Zahra, dan pastinya mereka sudah berkumpul saat ini. Mereka berdua orang baik, Bu..." Jawab Maira berusaha menyemangati dirinya sendiri.
"Benar sekali... Lalu, apa sekarang yang menjadi kegelisahan Maira? Apa tentang perjodohan Maira dengan Hidayat kah? Apa Maira hanya berpura-pura setuju kemarin untuk menyenangkan hati bu Zainab?" Tanya ibunya lagi masih dengan lembut.
Maira terdiam. Ia menundukkan wajahnya, diam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita kepada ibunya itu.
"Maira? Sini, Nak... Lihat Ibu..." Pinta ibunya sambil menarik pelan dagu Maira, lalu membuat Maira menghadap langsung ke wajahnya.
"Maira bebas menolak, dan nanti ibu akan bicara kepada ayah..." Ucap ibu Maira begitu bijaksana.
"Sebenarnya, emmm..."
Ibu Maira hanya memerhatikan mimik wajah Maira dengan kasih, tanpa beliau mendesak agar Maira mau bicara terus terang terhadapnya.
"Maira bagai kejatuhan durian runtuh saat ibu bang Hidayat meminta Maira untuk menjadi menantu beliau, Bu... Dari awal, Maira memang telah menyukai bang Hidayat..." Tutur Maira mengakui perasaannya terhadap ibunya sendiri.
"Benarkah? Kenapa Maira tidak pernah cerita kepada Ibu?"
"Maira malu, Bu..." Jawab Maira kemudian kembali menundukkan wajahnya.
"Maira malu sama Ibu sendiri? Bukankah teman curhat untuk anak gadis itu adalah ibunya sendiri, ya? Apa Ibu pernah mengabaikan perasaan Maira sebelumnya?" Tanya ibu Maira terlihat sedih.
"Maaf, Ibu... Bukan begitu..." Maira terlihat gugup. Dia juga bingung dan merasa bersalah. "Sebelumnya Maira cuma cerita kepada almarhumah kak Zahra..."
"Terus, almarhumah Zahra bilang apa, Nak?"
"Maira senang sekali, Bu... Awalnya Maira sedikit kecewa, tapi setelah kak Zahra bilang jangan hilangkan Allah dari hati Maira, Maira jadi yakin bahwa maksud kak Zahra sangat mendukung sekali perasaan Maira kepada bang Hidayat..." Jelas Maira sambil tersenyum mengenang pembicaraannya dengan almarhumah kakak iparnya beberapa bulan lalu.
"Almarhumah kakak ipar kamu memang spesial, Nak... Pantas almarhum Abang kamu begitu mencintainya. Ibu tidak menyangka, putra kebanggaan Ibu akan meninggalkan Ibu begitu cepat, bahkan belum sempat memberikan Ibu seorang cucu. Lelaki hebat untuk Maira setelah ayah..." Ibu menyeka air matanya, lalu menatap Maira dengan kebimbangan.
"Bagaimana dengan Hidayat? Apa dia akan mencintai Maira? Apa Hidayat akan membahagiakan Maira? Cuma Maira yang tersisa sebagai harta paling berharga bagi Ibu dan ayah, Nak... Ibu tidak ingin Maira menderita, bahkan merasakan pedih sedikit saja..."
Maira menggenggam tangan ibunya. Ia menyeka air mata ibunya yang masih tersisa. "Maira rasa, bersama bang Hidayat Maira akan bahagia, Bu..."
Ucapannya begitu meyakinkan, namun tidak untuk pikirannya sendiri. Tatapan Hidayat kemarin masih membuat ia ragu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Yuli maelany
yaa,aku hampir lupa sosok Kirana lawan mainnya Arya , Hidayat memang memiliki watak keras kepala, karena dalam pikirannya kini hanya sebatas keinginan nya sendiri, masih belum memikirkan kebahagiaan orang lain,bungsu masih merasa dia ingin bahagia dengan pilihannya sendiri,dan keras kepala,juga pemberontak saat inginnya tak sesuai harapan.....
2023-02-03
2
yelmi
semangat nulis & sehat selalu tor👍❤️
2022-11-21
2
Asri
hmmm ternyata rasa suka ke aktris yg memerankan kakaknya, berlanjut...
oh iya kak, ajiz meninggal knp ini? kalo gak salah dulu zahrana dimakamkan dibelakang rumah yg mereka tempati, bukan belakang rumah ortunya 🤔
2022-11-15
3