Sudah lima hari sejak kedatangan kedua ibu mereka. Setelah memastikan rumah tangga mereka baik-baik saja, ibunya Maira terus merengek kepada Bu Zainab untuk segera pulang ke kampung.
Bu Zainab sebenarnya juga tidak ingin berlama-lama, namun gelagat anak dan menantunya itu sangat mencurigakan baginya.
"Kenapa cepat sekali Ibu pulang? Maira kan masih kangen..." Ucap Maira dengan manja.
"Memangnya Maira tidak kasihan sama ayah sendirian, hmm? Apa-apa sendiri... Ibu bahkan beberapa hari ini menangguhkan banyak ibadah karenanya..."
Maira tertegun mendengar ucapan ibunya.
"Kamu tahu, Nak? Setiap waktu yang kamu habiskan bersama suamimu adalah ibadah. Terselip banyak pahala yang akan kamu terima kelak di akhirat. Maka karena itulah dikatakan bahwa menikah itu adalah ibadah terpanjang. Setelah menikah, seseorang sama saja menyempurnakan separuh agamanya. Berbicara saja Maira kepada nak Hidayat sepatah, ada ibadah di dalamnya, dan tentu saja juga ada dosa. Tergantung Maira berucap apa terhadap suaminya Maira..." Tambah ibunya lagi.
Hidayat yang juga duduk disana, ikut merasa tertampar oleh penuturan mertuanya itu. Ia melirik Maira yang masih saja menunduk menghayati ucapan demi ucapan yang disampaikan oleh ibunya.
"Maafkan Maira, Bu... Keegoisan Maira membuat Maira lupa bahwa Ibu juga punya tanggung jawab dan kewajiban di rumah..." Ucap Maira dipenuhi rasa bersalah.
"Kamu tidak perlu minta maaf, Nak... Cukup bantu orang tuamu untuk mewujudkan apa yang diimpikannya kepada anak perempuannya. Dan kamu tahu, kan, apa?"
Maira mengangguk. "Seorang perempuan mendapat kabar bahwa ayahnya tengah sakit, namun suaminya belum pulang pada saat itu. Lalu, ia mengutus seseorang untuk menanyakan perihal tersebut kepada Rasulullah. Rasullullah berkata, 'Taatilah suamimu...' Tidak beberapa lama kemudian, perempuan itu mendapat kabar lagi bahwa ayahnya telah meninggal, dan ia kembali mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah. Dan Rasulullah mengatakan hal yang sama, 'Taatilah suamimu...'. Ia dilema, sampai orang yang mengabari keadaan ayahnya itu berkata bahwa ayahnya akan dikuburkan, dan tidakkah ia ingin melihat wajah ayahnya untuk yang terakhir kali? Perempuan itu bersedih, namun tak lama datang seseorang yang diutus Rasulullah untuk memberitahu bahwa ayahnya telah masuk surga karena ketaatannya kepada suaminya."
Hidayat terpana mendengar cerita Maira. Cerita yang tidak asing, dan sering kali ia dengar. Namun kali ini ia mendengar dengan perasaan yang berbeda. Istrinya yang bercerita, dan ia merasa ada pesan bermakna yang tersirat di dalamnya.
"Bagaimana dengan kamu, Yat?" Bu Zainab menatap putranya tajam.
"Eh?" Hidayat tercengang. "Mak-masud, Ibu?"
"Bagaimana cara kamu memperlakukan istri kamu, sama seperti cara kamu menjaga martabat orang tuamu, terutama Ibu..." Ucap bu Zainab.
"Iya, Bu, Hidayat paham... Insya Allah Hidayat akan memperlakukan Maira sebaik-baiknya... Hidayat janji..." Ikrar Hidayat terlihat meyakinkan.
Maira spontan menoleh kepadanya. Tatapannya datar penuh selidik, sementara ibunya Maira tersenyum senang.
"Terima kasih, Nak Hidayat... Sekarang Ibu semakin yakin bahwa Maira pasti akan bahagia bersama kamu... Lain kali, kalian harus luangkan waktu untuk liburan, ya... Benar kan besan?"
"Benar itu... Memang sudah seharusnya..." Sahut Bu Zainab cepat.
"Insya Allah, Bu... Setelah Tesis Hidayat selesai, kami akan jalan-jalan... Alhamdulillah perkembangan kios juga sudah mulai besar sekarang... Bu Lila, tetangga kios kita bulan depan kontraknya berakhir, dan dia tidak berniat untuk melanjutkan. Jadi, Hidayat berencana mau ambil. Kios yang sekarang sangat sempit, Bu..." Tutur Hidayat.
Dahi Maira mengernyit mendengarnya.
"Bagus itu, Nak... Otomatis karyawan juga ditambah, kan?" Ucap Ibunya Maira terlihat bangga.
"Rencananya begitu, Bu... Ibu doakan, ya..."
"Kami selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."
***
Malam ini rumah kembali sepi. Sudah lewat waktu isya, Maira hendak membaringkan tubuhnya ke atas kasur. Beberapa hari ini ia tidur di sofa, dan karena ibu beserta ibu mertuanya telah pulang kampung, ia berpikir kehidupannya akan kembali seperti semula pada saat pertama kali ia datang ke rumah ini.
Baru saja ia bersandar sambil membuka buku, tiba-tiba suara motor Hidayat terdengar masuk pekarangan rumah. Maira keheranan, tidak biasanya suaminya itu akan pulang dari kampus secepat itu, kecuali ketika ada ibu mereka di rumah.
Maira mau bersikap acuh, ia kembali melanjutkan bacaannya. Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya berderik. "Assalamualaikum..."
Maira terkejut. Ia dengan cepat menarik selimut, lalu menutup seluruh tubuhnya.
"Wa'alaikum salam," jawabnya sambil membelakangi pintu.
"Maira?" Hidayat kebingungan. Ia berjalan perlahan menuju tempat tidur.
"A-abang stop disitu..." Perintah Maira.
"Memangnya kenapa?" Tanya Hidayat berlagak tidak mengerti apa-apa.
"Pokoknya Abang stop disitu dulu..."
"Iya, oke..." Hidayat menghentikan langkahnya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Membelakang...!" Perintah Maira lagi.
"Buat apa?"
"Nurut saja..." Ucap Maira memohon.
Hidayat menurut, ia berputar dan membelakangi Maira. Dengan kesempatan itu, Maira segera meraih mukenanya yang terlipat di atas sandaran kursi, lalu memasangnya dengan cepat-cepat.
"Abang ngapain disini?" Tanya Maira seraya berjalan ke hadapan Hidayat.
"Kok Maira malah bertanya? Abang mau tidur, istirahat. Memangnya mau ngapain lagi?"
"Di kamar ini?"
"Lah, iya..."
"Kok nggak di kamar satu lagi? Kan malam ini cuma ada kita berdua. Ibu kita kan sudah pulang..."
Hidayat menghela nafas, lalu berjalan meninggalkan Maira menuju ke sofa. Ia meletakkan tasnya di atas meja, kemudian membuka almamaternya.
Maira semakin keheranan. Ia berjalan mengikuti suaminya ke sana.
"Maira masih menganggap ini sandiwara?" Tanya Hidayat terlihat kecewa.
"Lalu?"
Hidayat bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke hadapan Maira. Ia mengambil kedua tangan Maira, dan kemudian digenggamnya, membuat jantung Maira berdegup kencang seketika.
"Tidakkah Maira berpikir bahwa doa-doa Maira terkabul, dan saat ini hati Abang telah jatuh pada Maira? Abang merasa tentram bila bersama Maira, dan Abang nyaman..."
Maira menatap tangannya yang tak lepas dari genggaman Hidayat.
"Bisakah kita mulai semuanya dari sekarang?" Tanya Hidayat terlihat begitu sungguh-sungguh.
Maira menengadah, menatap Hidayat dengan sedikit keraguan. Namun ia tidak dapat menyangkalnya, bahwa ia sangat berbahagia saat ini.
"Ke-kenapa?" Maira memberanikan diri untuk bertanya. "Apa yang membuat Abang bisa melirik Maira?"
Hidayat tertegun. Ia sendiri tidak tahu jawabannya, tapi apa yang ia katakan tentang perasaannya terhadap Maira tidaklah sebuah kebohongan. Ia sudah mulai tertarik, dan bahkan ia ingin menjalani ibadah pernikahan yang sungguh-sungguh dengan istrinya itu.
"Abang?" Panggil Maira menyadarkan Hidayat dari lamunannya.
"Abang takut salah, Maira... Tapi, memiliki perasaan kepada Maira bukan sebuah kesalahan... Abang tidak tahu harus menjawab apa, karena Abang tidak tahu jawabannya... Yang Abang rasakan, Maira begitu tulus, sehingga Abang tidak ingin lepas dari Maira sedikitpun..." Ucap Hidayat dengan mata tampak berkaca-kaca.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
tris tanto
knp nasihatinnya cm sm yg perempaun aja,,
2023-12-02
1
mrs.andriIndra
mau sungguh² sama maira tp klw kirana mnta transferan dg alasan kesehatan bpknya gimana yat😁
2023-07-21
1
abdan syakura
Eh Yat....
Emang bentuk loe sungguh sungguh
Tp loe apa dah sungguh sungguh melepaskan Karina?
Selesaikan urusanmu dgn cewek tu
, segera!!!
2023-05-23
1