Pernikahan Muslim telah berlalu seminggu ini, dan Hidayat harap-harap cemas dengan beberapa Minggu ke depan. Lebih berharap waktu yang singkat itu akan membuat segala keputusan berubah.
Ia sudah kembali beraktivitas di kios peninggalan kakak dan kakak iparnya. Selama ia tinggalkan beberapa Minggu saja, kios terasa lengang. Barang-barang baru juga belum tampak berjejer di rak. Ia hanya belanja lewat telepon untuk menambah stok yang habis setelah karyawan kios yang memberitahukannya.
"Banyak pelanggan yang mengeluh karena barang kita nggak lengkap, Bang..." Lapor Rizki dengan wajah sendu.
"Besok abang akan belanja, Ki... Kios Abang serahkan lagi dua hari ke depan kepadamu, ya?"
"Siap, Bang..."
Hidayat terlihat begitu letih tak bersemangat. Setiap detik ia hanya berpikir bagaimana ia bisa hidup berumah tangga dengan Maira, gadis yang hanya ia anggap sebatas adik sendiri, tidak lebih dari itu.
Ia selalu kecewa, mengapa ibu dan seluruh keluarganya tidak pernah bisa memahami perasaannya. Bahkan selama ini ia merasa telah banyak berbuat untuk keluarga, bahkan juga untuk keluarga almarhum Abang iparnya.
Semenjak Zahrana meninggal, kios memang sepenuhnya ia yang mengurus. Abang iparnya seolah tidak pernah tahu menahu sebelumnya. Ia benar-benar pewaris dan penerima wasiat yang sah dari apapun yang ditinggal kakak dan kakak iparnya itu.
Hidayat memerhatikan koper kecil di hadapannya. Uang pecahan besar tertera rapi di dalam koper itu.
"Bismillah, Allah akan menjaga setiap langkahku, Insya Allah..." Ucapnya seraya menutup kembali koper itu. Ia bersiap untuk menemui bos besar yang telah ia hubungi sebelum ia berangkat ke sana.
Seperti biasanya, Hidayat belanja hanya menunjuk contoh barang, dan kemudian menyebutkan berapa banyak yang ia mau. Ia sungguh telah menguasai ilmu perdagangan yang diajarkan almarhum Abang iparnya.
"Sayang sekali Ajiz telah tiada... Tapi beruntung Anda dapat melanjutkan kerjasama antara kita, Yat... Toko kami tidak kehilangan salah satu pelanggan besarnya..." Ucap Pemilik toko tempat ia belanja.
Hidayat hanya tersenyum sambil mengangguk. "Saya dalam cuti kuliah saat ini, Bos... Tiga bulan lagi saya akan kembali kuliah seperti biasanya. Kemungkinan kios akan saya serahkan dulu sama kepercayaan bang Ajiz, atau bisa jadi kepada adik beliau..."
"Almarhum punya adik?"
Hidayat mengangguk, "perempuan..."
"Sudah menikah?"
"Kami akan menikah..." jawabnya spontan.
"Wah... Kalian?"
"Kami dijodohkan, Bos..."
Melihat wajah Hidayat mulai tidak enak, pemilik toko seakan paham. "Kadang bisa jadi apa yang tidak kita inginkan, adalah sesuatu yang terbaik bagi kita..."
Hidayat hanya tersenyum, mengingat ucapan ibunya beberapa waktu lalu juga sama dengan yang baru saja ia dengar.
"Jadi, kapan kamu balik, Yat? Kapan juga pernikahan kalian?"
"Saya balik sore ini, Bos... Pernikahan kami kurang tiga Minggu lagi. Saya menginginkan pernikahan yang sederhana saja..." Tutur Hidayat terlihat sungkan.
"Di kampung?"
"Iya, di rumah orang tua bang Ajiz... Orang tua kami yang menginginkan semuanya, jadi, biarlah mereka yang mengatur..." Hidayat menghela napas berat.
Pemilik toko manggut-manggut mendengar cerita Hidayat. "Minumlah dulu teh ini, Yat..."
"Ini total belanja bang Hidayat, Bos..." Seorang pelayan toko datang sambil menyodorkan nota pembelian kepada pemilik toko.
"Cukup banyak juga kali ini, Yat..."
"Yang penting sesuai bajajnya, Bos... Jika berlebih, kurangi saja dulu..."
"Ah kamu, Yat... Sesekali tidak apa-apa pakai bon kuning dulu, Yat... Kamu sama saja seperti Ajiz, padahal saya sangat percaya sekali..."
"Ini ilmu dari bang Ajiz, Bos... Jika kamu ingin sukses dalam berdagang, jangan sampai kamu ditagih ataupun menagih..." Ucap Hidayat sambil tersenyum mengingat ucapan almarhum Abang iparnya beberapa waktu lalu.
Sang pemilik toko tertawa, "benar, benar... Salut sekali saya dengan pendirian kalian..."
***
Sangat kebetulan sekali dengan keadaan kios yang mulai ramai, Hidayat dapat menyibukkan dirinya tanpa memikirkan beban perasaan yang semakin menekannya.
"Seminggu lagi Abang akan pulang ke kampung, kan? Kenapa harus sibuk-sibuk sekarang, Bang? Padahal kami bisa mengerjakannya berlima..." Ucap Rizki yang merasa tidak enak hati tatkala melihat keringat banyak membasahi wajah Hidayat.
"Sudah seminggu lagi ya, Ki?" Tanya Hidayat acuh.
"Abang yang mau nikah, Abang pula yang tidak tahu waktu..." Canda Rizki.
"Kamu mau menggantikan saya?" Hidayat menghentikan pekerjaannya, lalu menatap kearah Rizki dengan keseriusan.
Rizki bergeming. Semua karyawan ikut menoleh kepada Hidayat.
"Kamu mau?" Ulang Hidayat semakin serius.
"Maksud Abang menggantikan bagaimana?" Rizki menatapnya kebingungan.
"Menikah..."
"Ke-kenapa Abang begini? Bukankah non Maira impian setiap lelaki, Bang?" Sahut Rizki terlihat kikuk.
Hidayat tiba-tiba tertawa, membuat semua menatapnya semakin keheranan. "Betul katamu, Ki... Maira perempuan impian saya... Dan tidak akan ada seorang pun yang bisa saya nikahi selain dia... Dan untukmu, masih banyak perempuan seperti dirinya..."
Melihat Hidayat semakin melebarkan tawanya, Rizki dan yang lainnya ikut tertawa, meski mereka masih bingung melihat ekspresi wajah Hidayat yang tampak tak sejalan dengan tawanya.
Wanita impian dari ibu saya, dan saya tidak dapat menolaknya jika saya tidak ingin melihat air mata surga saya mengalir hanya karena penolakan itu...
Hidayat hanya mampu menjelaskan lebih di dalam hatinya. Ketidakberdayaannya membuat ia hanya bisa bungkam dan pasrah. Rasa rindu terhadap Kirana ia tahan. Sebab, sejak ia menelepon terakhir kali, hubungan mereka seolah telah berakhir sampai disana.
"Bang, malam ini ikut nonton bareng, nggak?" Martin, karyawan lainnya mulai mencairkan suasana yang sempat beku.
"Apa filmnya bagus?" Tanya Hidayat terdengar acuh.
"Lihat trailernya bagus, Bang... Yang terpenting pemainnya Kirana Adila..." Rizki ikut nimbrung.
Hidayat menghentikan pekerjaannya, ia bergeming ketika mendengar nama Kirana menjadi topik pembicaraan mereka saat ini.
"Kalian punya tiket lebih?"
"Punya, Bang... Jadi, Abang mau ikut?" Sahut Rizki cepat.
"Jam berapa?"
"Jam delapan malam, Bang... Bisa nebeng dong, Bang?" Kelakar Rizki.
"Tunggu saya di kos kalian..."
"Yes..." Mereka bersorak kegirangan mendengar perintah Hidayat.
Hati yang patah membuat pikiran ikut layu. Hidup bahkan tak bersemangat. Semua yang di depan mata, tak ada satu pun yang indah, dan inilah yang dirasakan oleh Hidayat sekarang. Bahkan hatinya semakin terasa sesak sejak mereka berniat untuk menonton film yang diperankan oleh Kirana.
Malam ini mereka berenam berangkat ke bioskop dengan mengendarai tiga motor. Perasaan Hidayat semakin kacau ketika mereka sampai di gedung yang cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang.
Tiba-tiba saja pandangannya tertumbuk pada seorang perempuan berhijab yang mengenakan masker di tangga. Jantungnya kian berdegup kencang, karena perempuan itu juga menoleh kepadanya dengan tatapan yang tajam.
Bibirnya bergerak melambat, sangat jelas bagi perempuan itu ia menyebut nama Kirana. Perempuan itu mengangkat ponselnya, dan kemudian Hidayat tersentak oleh denting suara ponselnya.
"Silakan kamu pergi, namun aku tidak akan kemana-mana..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Yuli maelany
semoga kami berhijrah bukan untuk menggoyahkan komitmen yang terpaksa Hidayat buat, semoga kamu hijrah dan mendapatkan pasangan yang lebih baik dari Hidayat.....
2023-02-03
2
Yuli maelany
dan kamu menciptakan neraka mu sendiri dengan menyiksa lahir dan batin istri mu kelak....
2023-02-03
1
IKa Mariana
Kirana...kamu udh mulai berhijrah jd jangan ampe berniat buat nyolong laki orang... moga2 aja niatnya berhijab bener2 krn Allah bukan karena pengin dapetin Hidayat
2022-11-16
2