Ini pilihanku, merasakan sakit karena tidak dicintai. Aku harus kuat, dan aku tidak boleh menyerah dengan sikap bang Hidayat sekarang ini. Aku yakin suatu hari nanti ia akan datang kepadaku, menoleh dengan penuh kasih.
Sepulang dari kios, Maira tidak ingin berbasa-basi atau hanya sekedar menyapa. Ia tahu, itu hanyalah sia-sia saja. Ia langsung menuju ke kamarnya, mandi dan berbenah.
Sehabis magrib Maira mendengar suara motor Hidayat keluar dari pekarangan rumah, hatinya kembali terasa perih mengingat hubungan mereka yang semakin tidak harmonis, apalagi ia sendiri yang membagi batas dengan suaminya itu dengan komitmen yang ia buat.
Maira menelan pahit impian kisah cintanya. Pengantin baru yang harusnya sedang berbahagia setelah pernikahan, namun tidak berlaku pada dirinya.
Ia makan malam sendiri, dan pastinya apa pun ke depannya sendiri.
Pagi-pagi ia juga sarapan sendiri, dengan satu macam menu dan juga cukup satu porsi. Ia sama sekali tidak memiliki tugas untuk menyiapkan segala keperluan suaminya. Cukup menyenangkan, bukan? Tapi, percayalah... Ini sangat menyiksa.
"Minggu depan Ibu akan datang?" Ujar Maira terlihat tak percaya ketika berbicara dengan ibu mertuanya lewat telepon.
"Maira senang, kan?"
"Senang sekali, Ibu... Ibu kemari bersama ayah juga?"
"Tidak, Ibu ke sana bersama ibumu... Tidak mengapa, bukan? Kami ingin berkunjung untuk beberapa hari, kangen sekali Ibu, Nak... Sekalian Ibu mau ziarah ke makam kakak kalian... Lagian, kita kan ketemu cuma lewat video call saja... Hehe, padahal belum seminggu kalian menikah..."
"Iya, Bu... Maira juga kangen Ibu dan ibu Maira... Ya, biar pun kita belum seminggu tidak bertemu, tetap saja Maira kangen..." Ucap Maira begitu manja.
"Oh ya, Bu, Maira boleh minta sesuatu sama Ibu?"
"Maira minta apa, Nak? Maira mau dibawakan masakan khas kampung?"
"Nggak, Bu... Ibu tidak perlu repot-repot... Ibu bawa baju ganti saja yang banyak, Maira senang Ibu lama-lama disini... Maira jadi ada temannya..."
"Terus, Maira senang ayah-ayah Maira menduda di kampung?" Tanya bu Zainab berkelakar.
Maira tertawa. "Bukan begitu, Bu... Ibu ada-ada saja..."
"Jadi, Maira mau apa tadi?"
"Motor bang Ajiz kan kata Ibu nggak kepakai, Maira boleh bawa kesini, Nggak? Soalnya motor bang Hidayat besar, Bu, Maira sering kesemutan kalau diboncengi pakai motor bang Hidayat..." Jelasnya mengarang cerita.
"Oh, boleh-boleh... Minggu depan Ibu bawa sekalian... Ibu sewa saja mobil travel si Fajar..."
"Ide bagus itu, Bu... Nanti Maira omongin sama bang Hidayat, biar Maira kirimkan ongkosnya..."
Usai menelepon, Maira tampak murung. Setiap kali ia berbicara kepada keluarga di kampung, ia selalu menyelipkan cerita yang hanya Karangannya saja, tanpa adanya kenyataan yang ia alami.
***
Hidayat selesai kuliah pukul setengah enam sore, dan di gerbang kampusnya telah menunggu Kirana. Ia tersenyum melihat kekasihnya itu mengenakan pakaian syar'i, juga masker penutup wajah. Ia sangat hapal betul kebiasaan Kirana setiap kali mereka bertemu, pasti dengan busana yang berbeda.
"Gimana kuliah hari ini? Lancar?" Kirana mengulurkan tangannya kearah Hidayat.
"Lancar... Kamu gimana syuting hari ini?" Jawab Hidayat seraya menyambut tangan kekasihnya itu.
"Emmm... Membosankan..." Jawabnya sambil mengeratkan genggaman tangannya.
"Kalau membosankan, berhentilah sejenak... Kamu lebih cantik berpakaian seperti ini..." Ucap Hidayat begitu lembut.
"Aku belum siap meninggalkan dunia entertainment... Nanti kalau aku sudah siap, tidak perlu disuruh pun akan aku tinggalkan... Aku tunggu kamu tamat kuliah dulu, terus sudah punya penghasilan yang banyak... Boleh, kan?" Kirana menggamit lengan Hidayat dengan manja.
"Memangnya apa yang kamu inginkan dari uang yang banyak itu? Apa uang bisa membahagiakan?" Tanya Hidayat sambil berjalan menggandeng tangan Kirana menuju parkiran motor.
"Memang uang bukanlah segalanya, tapi segalanya butuh uang... Kamu kan tahu sendiri kebutuhanku banyak... Tapi, aku janji bahwa aku tidak akan pernah terlalu menyusahkan kamu dalam masalah kebutuhanku... Aku akan berubah, terutama untuk berhemat.. "
Hidayat tersenyum, ia mengusap kepala Kirana dengan lembut. "Aku tidak pernah keberatan dengan kebutuhan kamu, Kiran... Sebagai lelaki, aku bisa memahami betul kebutuhan perempuan..."
Kirana tersenyum. Tampak binar kebahagiaan di matanya yang sayu. "Ayo, kita pergi sekarang..."
Hidayat mengangguk, lalu menaiki motornya yang terparkir di hadapannya dan kemudian Kirana menyusul naik di belakangnya.
"Kali ini kita kemana?" Hidayat bertanya dengan suara sedikit keras. Walau ia mengendarai motornya tidak terlalu kencang, tetap saja deru angin memekakkan telinga.
"Terserah padamu saja... Aku ingin kemana pun asal bersama kamu... Sejak kamu menikah, aku merasa takut kehilangan kamu..." Kirana menguatkan pegangannya ke pinggang Hidayat. Ia begitu manja dengan menyandarkan dagunya ke bahu lelaki yang telah beristri.
"Usai berhenti di masjid, kita jalan ke mall, ya?"
"Oke..." Sahut Kirana.
Hampir tiap malam mereka menghabiskan waktu bersama, ditambah lagi rasa bosan Hidayat karena keberadaan Maira di rumah. Ia merasa lebih nyaman jika berjalan dengan perempuan yang ia suka, dibanding bersama Maira, walau ia dan istrinya itu hanya sekedar berpapasan.
Pulangnya Hidayat mengantarkan Kirana terlebih dahulu ke apartemen, barulah ia ke rumah, dan berharap Maira sudah mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dari dalam.
Ia merasa sangat risih, karena walau bagaimanapun ia tetap telah berstatus menikah dengan adik ipar almarhum kakaknya itu.
Ketika Hidayat membuka pintu, ia terkejut mendapati Maira masih duduk di sofa sambil menonton televisi. Walau ia berpikir perasaannya tidak ada sama sekali untuk Maira, namun hatinya tidak bisa bohong jika bertatapan secara langsung seperti itu membuat jantungnya berdegup kencang.
"Lusa, Ibu kita akan kemari..." Ucap Maira sambil mengerlingkan matanya menghadap kearah lain.
"Lusa? Ada acara apa?"
"Katanya, ibu rindu... Juga sekalian mau Ziarah..."
Setelah mendengar jawaban Maira, Hidayat langsung berlenggang menuju kamar tamu yang sekarang menjadi kamar pribadinya.
Maira menelan kasar ludahnya. Hatinya bagai teriris pisau tajam, sakit, tapi tidak berdarah. Matanya memerah menahan tangis, pedih tak tertahankan. Lama ia masih berdiam disana, Sampai pada akhirnya pintu kamar Hidayat kembali berderik.
Maira yang mendengar langkah Hidayat mendekat kearahnya, segera menundukkan kepala untuk menyembunyikan rona wajahnya yang sendu.
"Bagaimana kios sore ini? Apa mencapai target?"
Kali pertama Hidayat mengajak dirinya berbicara, namun malah mempertanyakan perihal kios. Hati Maira semakin terasa panas, namun ia tetap sabar kan dirinya. Ia tidak ingin terpancing, lalu menyerah kalah.
"Alhamdulillah, sepertinya berlebih..." Jawab Maira terdengar begitu tegar, lalu menyodorkan cover bag berisi catatan mengenai jual beli kios.
"Baguslah... Hari pertama ibu disini, aku akan langsung pergi belanja... Kamu bisa tinggal dengan ibu dan berbicara sesukamu, syukur-syukur memberitahu tentang bagaimana kehidupan kita yang sebenarnya semenjak kita menikah dan tinggal disini .." Ujar Hidayat dengan pongah.
"Abang lihat saja nanti..." Maira bangun dari tempat duduknya dan meninggalkan Hidayat disana.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
mrs.andriIndra
paham ilmu agama, status suami org, pergi cuma ber2 sama yg bukan mahram,berjilbab pula itu perempuan😭didunia nyata juga marak sih😁
2023-07-21
1
abdan syakura
siapa yg kasihan disini ya?
ada yg halal,malah mlkukan yg haram
Allahu yahdiika,Yat....
2023-05-23
1
Yuli maelany
inget Yat, dalam agama kamu yang bisa menceraikan istri mu,bukan sebaliknya, andai kamu mau kenapa bukan kamu yang menggugat cerai,Jan seolah ingin maira yang salah d sini dan kamu aman.....
2023-02-03
2