Kirana kebingungan. Arah yang mereka tempuh ternyata menuju ke apartemennya sendiri. "Kita nggak jadi makan dulu, Yat?"
"Jadi... Tapi di kafe dekat apartemen kamu saja. Biar setelah makan, kamu bisa langsung masuk dan beristirahat..." Jawab Hidayat seraya membelokkan motornya ke kafe yang ia tuju.
"Tapi aku ingin jalan-jalan dulu sama kamu, Yat... Aku belum ingin pulang..." Protes Kirana terdengar sendu.
"Kamu harus istirahat, dan aku juga harus segera pulang..." Jawab Hidayat sambil membuka helmnya ketika ia telah menghentikan motornya disana.
Kirana dengan berat hati menurut. Ia berniat hendak menggandeng tangan Hidayat, namun Hidayat malah masuk ke dalam kafe terlebih dahulu.
Sesampai di dalam, Hidayat mencari meja kosong di posisi yang paling pojok. "Kamu mau pesan apa?"
"Apa aja deh... Yang penting samain sama kamu..." Jawab Kirana sambil menatap lekat wajah Hidayat. Ia berusaha mencari jawaban atas kebingungannya terhadap perubahan sikap Hidayat yang begitu tiba-tiba kepada dirinya.
Hidayat membuat pesanan, lalu kembali fokus pada Kirana. "Gimana kondisi ayah kamu?"
"Ayah?" Wajah Kirana berubah sendu. "Emmm..."
"Lagi? Kamu masih belum bisa cerita, ya? Tidak masalah..." Ujar Hidayat.
"Sakit ayahku semakin parah, Yat... Waktu aku datang, ayah malah tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Ayah... Ayah..." Kirana menangis sedih.
Hidayat melihatnya dengan wajah prihatin. Ia hendak menenangkan Kirana, namun tangannya ia tahan kembali. Rasa iba membuatnya urung untuk menyampaikan niatnya yang sudah ia rencanakan dari sebelumnya.
"Ayah kamu sakit apa, Kiran? Sebenarnya apa yang terjadi kepada beliau?" Tanya Hidayat mencoba menjadi pendengar yang baik untuk Kirana. Selama ini Hidayat hanya tahu ayah Kirana sakit, tanpa ia tahu sakit apa sebenarnya.
"Dua tahun yang lalu ayah aku jatuh dari tangga rumah... Aku baru saja merintis karir aku di dunia entertainment, dan aku harus kuat untuk itu. Ayah mengalami kelumpuhan, sehingga tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya, kecuali kepala dan tangannya saja..." Kirana menyeka air matanya.
"Ini pertama kali bagiku bercerita, dan aku merasa nyaman jika itu adalah kamu pendengarnya, Yat... Kamu tidak pernah menganggap aku rendah, dan kamu selalu menjaga perasaanku... Kamu tidak pernah meminta lebih dariku sebagai gantinya, meski kamu telah memberikan lebih dari yang kamu sanggup, dan aku tahu itu... Kamu sabar menghadapi aku, dan tidak pernah mencurigai aku sama sekali... Aku tidak bohong, Yat... Aku perlu, dan aku terdesak..."
Hidayat mengangguk, ia meyakinkan dirinya bahwa ia paham dengan perasaan Kirana. Namun, ia lebih yakin jika saat ini perasaannya hanya tersisa iba melihat luka yang ditanggung oleh perempuan yang masih menjadi kekasihnya itu.
"Aku yakin, kamu pasti bisa melewati ini semua, Kiran..."
"Iya, jika kamu bersamaku..." Tegas Kirana sambil menatap Hidayat dengan penuh permohonan.
Hidayat tercenung beberapa saat. Baru saja ia hendak berkata, Kirana mulai bercerita lagi.
"Sekarang ayahku hanya bisa menggerakkan bola matanya saja, Yat... Ayahku lumpuh total... Aku tidak punya siapa-siapa untuk berkeluh kesah, meskipun orang-orang menganggap aku berada di kehidupan yang layak... Padahal kenyataannya aku bekerja siang malam, bahkan sampai subuh, tapi tidak mampu menutupi semuanya... Ibu tiri aku juga selalu menekan aku..."
***
Sudah pukul setengah sepuluh malam, Hidayat baru sampai di pekarangan rumah. Ia melihat seluruh lampu rumah telah padam, kecuali lampu kamarnya. Ia sangat meyakini bahwa Maira menunggu kepulangannya.
Hidayat menghela napas berat. Pikirannya begitu kacau, mengingat betapa pengecut dirinya yang tidak berani mengambil keputusan.
Ucapan Maira beberapa hari lalu terngiang di telinganya. Ia kecemasan, takut kalau-kalau ia tidak sanggup jika menghadapi kekecewaan di hati istrinya itu nanti.
Di sisi lain hatinya, ia juga tidak tega menambah beban dan luka di batin Kirana. Mendengar cerita kehidupan kekasihnya itu, ia terenyuh. Namun, bukan berarti perasaannya terhadap Kirana sama seperti perasaannya terhadap Maira, yaitu cinta.
Hidayat perlahan membuka pintu kamar, lalu ia melihat ke sekelilingnya. Matanya belum juga menampakkan istrinya itu dimana-mana. Rasa cemas menggerayangi hatinya, kekhawatiran yang terlalu berlebihan sejak ia kembali bertemu dengan Kirana tadi.
"Maira..." Ia mencoba memanggil dengan lembut.
"Maira..." Ulangnya lagi. Namun Maira belum juga menyahut. Ia mulai gelisah, lalu terburu-buru menuju kamar mandi.
"Maira..." Panggil Hidayat dengan napas mulai sesak. Ia terkejut ketika pintu kamar mandi terbuka tiba-tiba sebelum ia sempat memegang gagang pintunya.
"Astaghfirullah hal'azhiim, Abang?" Ucap Maira tak kalah terkejut.
"Maira menangis?" Tanya Hidayat seraya mengapit pipi Maira. Ia melihat mata Maira yang memerah dengan perasaan yang gelisah.
Maira dibuat gugup olehnya, dan kemudian menahan tangan Hidayat sambil membalas tatapan Hidayat yang lekat. "Abang sudah pulang, ya? Maaf, Maira tidak dengar... Maira baru saja dari kamar mandi..."
Maira menyeka air matanya yang masih saja terus mengalir. Tersirat kepedihan dari raut wajahnya, membuat Hidayat semakin kebingungan dan juga cemas.
"Ada apa, Maira? Apa yang terjadi? Kenapa Maira menangis?" Tanya Hidayat begitu panik, lalu menggiring Maira ke tempat tidur.
Hidayat terus menatap Maira yang sesenggukan. Meski ia tidak tahu apa yang terjadi, namun hatinya begitu ketakutan. Rasa takut yang berlebih mengingat jika Maira tahu tentang hubungannya dengan Kirana.
"Maira sama sekali tidak tahu sebelumnya, Bang..." Ucap Maira sebisa mungkin menahan tangisnya.
"Ada apa, Maira?" Tanya Hidayat lagi dengan takut-takut.
"Maira sedari tadi baca bukunya kak Zahra..." Maira kembali terisak.
Hidayat tercengang. Ia sedikit lega mendengar pengakuan Maira, namun ia juga iba melihat istrinya menangis sesenggukan begitu.
"Ternyata, mereka memang pasangan sejati... Banyak hal yang mereka lalui bersama. Suka duka keduanya... Dan kerelaan kak Zahra pada bang Ajiz dengan harta serta seluruh hidupnya... Kak Zahra memang perempuan berhati mulia... Walau ia sebagai peran utama dalam buku ini, tapi tetap saja kak Zahra menuliskan dengan hati-hati peranannya... Tidak ada satu pun yang bermakna kesombongan untuk dirinya... Maira jadi terharu ketika kak Zahra menyembunyikan tentang musibah yang menimpa bang Ajiz kepada kita semua, juga berbarengan dengan menyembunyikan kegelisahan hatinya kepada bang Ajiz tentang musibah yang dialami kak Rianur... Apa ada perempuan begitu? Apa ada seorang istri begitu, Bang?"
Maira menatap Hidayat dengan perasaan yang sangat dalam. Air matanya semakin tak dapat ia hentikan ketika ia menceritakan kembali tentang kakak dari suaminya itu.
Hidayat mengusap pipi Maira yang basah, lalu ia mengangguk. "Maira orangnya... Maira seperti kak Zahra terlihat oleh Abang... Maira istri yang baik, meskipun Abang bukan suami yang baik..."
"Maira rindu kak Zahra... Maira ingin ketemu kak Zahra lagi... Maira ingin dipeluk sama kak Zahra, Bang..."
Mendengar itu, Hidayat segera mendekap Maira. Membenamkan kepala Istrinya ke dalam dadanya. Matanya memerah. Ia juga sama, tiba-tiba begitu merindukan almarhumah kakaknya.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Yuli maelany
kamu bukan cuma pengecut ya tapi juga plin plan kamu sadar makin banyak orang yang kamu sakiti setelah ini....
2023-02-04
1
Bunda Titin
lagi2 kamu bikin kecewa Yat.......,..bknnya langsung putusin. malah nanya2 segala jdnya kamu ragu2 LG trs aj begitu,. yg ada kamu bener kehilangan Maira........bkn cuma pengecut Yat tp kamu jg pecundang.........🤔🙄😬😤
2022-12-06
1
Ratna Dadank
ya ellaaaaahhh...kemana aja lu yat..
baru sadar lu kalo lu tu pecundang kelas kakap!!!!
selesaikan cepat urusan lu sama kiran...
2022-12-06
1