Maira berjalan dengan cepat mendahului kedua temannya. Ia berusaha tidak menggubris perkataan dan pertanyaan mereka. Namun, secepat kilat tangan teman perempuannya itu menyambar lengannya.
"Mai, kenapa menghindar? Apa yang salah dengan status pernikahan kamu, sampai kamu harus menyembunyikannya dari kami...?"
Maira menghentikan langkahnya. "Maafkan aku, Sila... Tapi aku tidak ingin membahas tentang ini... Please, beri aku waktu, Sila, Beni..."
Maira menatap kedua temannya itu dengan wajah yang memelas.
"Oke, baiklah... Aku harap kamu memercayai kami sebagai teman, Mai... Aku hanya tidak ingin ada yang lain salah paham dengan dirimu, menganggap kamu masih sendiri..."
Beni, teman lelaki Maira melenguh. Ia seperti merasa tersindir oleh ucapan Sila. Sepertinya, ia memiliki rasa yang istimewa untuk Maira.
Maira mengangguk, lalu mengambil tangan Sila yang menahan lengannya. Ia menggenggam tangan Sila sambil menatapnya dengan penuh kepedihan.
"Siapapun berhak menganggap seseorang seperti apa, Sil... Tapi siapapun itu juga harus ingat, seseorang tidak akan pernah bisa menjadi maunya..." Ucap Maira penuh penekanan.
"Aku harap ucapanmu berikrar, kita tetap teman, meski kamu telah mengetahui bahwa aku sudah bersuami..." Tambah Maira lagi.
Ia segera melepas tangan Sila, lalu meninggalkan kedua temannya itu dalam kebimbangan.
Maira masuk ke toilet kampus. Air mata yang ia tahan sedari tadi, ia lepas sebanyak-banyaknya. Hatinya begitu sakit mengingat perlakuan Hidayat dari semalam. Jika memang dirinya yang memulai sandiwara di depan ibu mereka, lalu kenapa berlebihan, juga sampai ke kampusnya?
Dia kehabisan akal menghadapi kelakuan Hidayat yang begitu semaunya sendiri.
***
Hidayat tersenyum di meja kasir kios. Bayangan pernikahan sempurna benar-benar ia dapat dari Maira, istrinya sendiri. Ia kembali mengingat dimana seorang mahasiswa mendekati Maira tadi, dan entah mengapa hatinya menjadi tidak nyaman karena itu.
"Apa dia orang yang selalu memakan bekal yang dibawakan Maira?" Ocehan dari mulutnya membuat Rizki menoleh dengan penuh keheranan.
Hidayat mengubah posisi duduknya. Kedua lengannya mulai bertumpu di meja itu, wajahnya terlihat geram. "Tidak mungkin... Bukankah tadi juga ada temannya yang perempuan? Pasti dia, soalnya Maira bilang dia punya teman perempuan di kampusnya."
"Pengantin baru biasanya memang begitu, Bang... Bawaannya curiga saja jika pasangannya tidak berada di sisinya..." Ucap Rizki membuyarkan lamunan Hidayat.
"Maksudmu apa?" Ketus Hidayat berpura-pura, dan yang sebenarnya ia merasa malu karena tertangkap basah memikirkan tentang Maira.
"Sedari tadi Abang ngoceh sendiri... Saya dengar kok, Bang... Pasti Abang saat ini merasa cemas, kan? Takut neng Maira bakal diambil orang?" Ledek Rizki.
"Apaan sih kamu, Ki? Tahu apa kamu tentang rumah tangga, hah? Seperti sudah berpengalaman saja..." Omel Hidayat berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Tahu lah, Bang... Abangnya Rizki baru-baru nikah dulu juga begitu. Hampir setiap hari ribut karena cemburu istrinya diajak ngobrol sama teman kerjanya. Alhasil, istrinya disuruh berhenti kerja. Dan sekarang jadi adem-adem saja rumah tangga mereka..." Tutur Rizki dengan polosnya.
"Sok tahu kamu..."
Rizki tertawa. Ia juga tidak tahu kalau induk semangnya itu bakal terlihat cemas betulan karena ucapannya.
"Oh ya, Bang... Nanti sore Abang jadi berangkat keluar kota? Kalau ia, tambahkan juga obat-obatan sama alat tulis ya, Bang... Soalnya stok udah menipis..." Ucap Rizki mulai terdengar serius.
"Belanja ya, Ki? Emmm..." Gelagat Hidayat mulai ragu-ragu.
"Jangan bilang batal ya, Bang..."
"Memang kenapa kalau batal?" Tanya Hidayat terlihat sewot.
"Eh nggak, Bang... Kalau tidak jadi juga tidak apa-apa, kan Abang bisa telpon juga ke sana. Lagian, mana mungkin Abang tinggalin neng Maira sendiri, kan? Namanya juga pengantin baru..." Lagi-lagi Rizki tertawa.
"Bukan begitu, Ki... Kedua ibuku sekarang di rumah... Baru semalam datang..." Ucap Hidayat beralasan. Walau sebenarnya ia baru saja menikmati indahnya damai bersama Maira.
"Ada ibu di rumah, Bang? Yang bener nih, Bang?" Tanya Rizki begitu antusiasnya. "Nanti sore sepulang dari kios, saya main kesana ya, Bang?"
"Boleh, ajak yang lain juga... Sekarang kerja sana..." Suruh Hidayat berpura-pura jengkel.
"Oke, Bang..."
Hidayat mengambil ponselnya untuk melakukan panggilan telepon kepada bosnya di luar kota. Namun fokusnya tertuju pada notifikasi pesan masuk dari Kirana, membuatnya urung untuk melakukan panggilan telepon.
Ia membuka pesan itu.
"Yat, kamu jadi transfer ke aku hari ini, kan?"
"Astaga, iya... Aku sudah janji sama Kirana buat transfer dia uang..." Gumamnya.
Hidayat membuka aplikasi m-banking di ponselnya, lalu mengirimkan uang ke nomor rekening Kirana. Beberapa saat kemudian, Hidayat melihat pemberitahuan transaksi berhasil. Ia melihat-lihat kembali riwayat pengiriman uang ke rekening yang sama.
"Ternyata semenjak dekat dengan Kiran, aku sudah mentransfer dia uang sebanyak Delapan puluh tiga juta dengan uang kios, dan dua puluh sembilan juta dengan uang pribadi ku?" Ucap Hidayat pelan dengan dahi mengernyit.
Dari sekian lama ia dekat dan menjalin hubungan asmara dengan aktris cantik itu, ia baru menyadari pengorbanan dirinya. Dan entah mengapa harus hari ini, hari dimana ia mulai membuka pikirannya untuk Maira.
Ponselnya berdering kembali, membangunkannya dari lamunannya.
"Terima kasih, Yat... Uangnya sudah aku terima. Aku hari ini langsung menuju rumah sakit tempat ayahku dirawat. Sekitar seminggu aku disana... Kamu jadi pergi belanja, kan?"
Perasaan Hidayat mulai tidak enak. Ia membuka aplikasi pesan, lalu melakukan pengecekan saldo rekening kios. Beberapa detik kemudian, balasan dari pesan muncul. Saldo tersisa sembilan puluh dua juta.
"Ki!" Serunya dengan gemetar.
"Ada apa, Bang?" Rizki datang dengan cepat menyahuti panggilannya.
"Tolong catat ulang barang yang benar-benar habis, terus cek lagi barang yang tinggal sedikit. Yang masih ada lima kodian pending dulu ya..." Perintahnya.
"Loh, kok pending, Bang? Biasanya kalau udah tinggal enam kodi, Abang bakal suruh catat juga..." Protes Rizki keheranan.
"Takutnya bajaj kita nggak sampai, Ki... Lagian Abang butuh uang buat belanja dapur Minggu ini... Ibu Abang sama ibunya Maira kan ada di rumah juga sekarang..." Jelas Hidayat.
"Oh, begitu ya, Bang... Kalau gitu saya akan catat ulang deh, Bang..."
"Oke... Thanks ya, Ki..." Ucap Hidayat seraya fokus kembali pada ponselnya.
Wajah Hidayat tertekuk. Ia kembali teringat akan ucapan almarhum Abang iparnya. "Tolong kamu tekuni hasil jerih payah kakak kamu ini, ya... Sering-sering juga berkunjung ke rumah Abang di kampung. Lihat ayah, ibu dan Maira..."
Hidayat menghela nafas berat. Hatinya dipenuhi rasa bersalah seketika. Memang selama di tangannya kios begitu padat, bahkan karyawan bertambah karena saking ramainya pelanggan, juga kios kekurangan tenaga kerja untuk membongkar dan pengepakan barang. Tapi tetap saja ia tidak boleh sekenanya disana.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
mrs.andriIndra
jgn kelamaan sadar bahwa kamu lg diporotin yat😤
2023-07-21
1
Yuli maelany
itu baru jadi pacar lho Yat, kebutuhannya masih d batasi,nak coba kamu pikir gimana caranya kamu menghidupi kaira setelah kalian menikah nanti, inget Yat kamu bukan orang kaya atau pengusaha yang memiliki banyak perusahaan......
apa seperti itu wanita baik baik, menjerumuskan lelaki untuk melakukan hal yang membuat usahanya bangkrut....
2023-02-04
2
Bunda Salma
ngga amanah nih hidayat , kios bukan miliknya tp gunain uang untuk keperluan pribadi hem... gak sadar juga nih cewek morotin dia ?
2022-11-28
1