Hidayat celingukan di depan gerbang kampusnya Maira. Sedari tadi ia berada di luar, tidak ada tanda-tanda akan menemukan istrinya itu. Ia juga telah menelepon Maira berkali-kali, namun sama sekali tidak diangkat. Ketika ia melihat seorang mahasiswi keluar, ia segera mencegatnya.
"Assalamualaikum, maaf mengganggu sebentar..." Sapanya.
"Wa'alaikum salam..." Jawab mahasiswi itu dengan sopan.
"Saya mau tanya, Kakak kenal Khumairah Fatimah, tidak?"
"Maksud Abang, Maira, ya? Yang Mahasiswi baru program magister sastra itu?" Jawab mahasiswi itu kembali menggunakan banmal terhadap Hidayat.
"Betul, Kak... Kakak ada lihat dia?" Tanya Hidayat terlihat senang.
"Owh, kalau tidak salah, Maira sudah pulang duluan... Sepertinya dia kurang enak badan, Bang..."
"Dia sakit?" Hidayat terlihat cemas.
"Sepertinya begitu, Bang... Sehari tadi dia tidak banyak bicara, kayak lesu saja..." Jelas mahasiswi itu.
"Terima kasih atas informasinya, ya... Assalamualaikum..."
"Sama-sama, Bang... Wa'alaikum salam..."
Hidayat melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia juga tidak mengerti mengapa ia begitu gelisah. Entah pesona apa yang ada pada Maira, sehingga dalam sekejap mata membuatnya tidak karuan seperti itu.
Ia langsung menuju ke rumah. Hatinya masih kacau mengingat cerita mahasiswi tadi yang mengatakan bahwa Maira sedang terlihat tidak sehat hari ini.
"Assalamualaikum..." Hidayat menyelonong masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikum salam..." Jawab Maira dan kedua ibunya yang sedang tidur-tiduran di ruang tengah. Maira cepat-cepat mengenakan jilbabnya dengan benar, membuat Bu Zainab terlihat curiga.
Hidayat segera mendekati posisi Maira, dan kemudian tanpa disangka-sangka, ia menempelkan telapak tangannya ke dahi istrinya itu. Mata Maira terbelalak seketika, jantungnya berdegup kencang bagai tersengat aliran listrik.
"Kamu sakit?" Tanya Hidayat terlihat cemas.
"Eh?" Maira semakin dibuat tegang, juga dengan kedua ibu mereka yang menjadi kebingungan.
"Kita perlu ke dokter?" Tanya Hidayat lagi dengan wajah penuh keseriusan.
"Maira nggak sakit kok, Bang..." Ucap Maira sambil menurunkan tangan Hidayat dari keningnya pelan-pelan. Ia setengah mati menahan perasaannya saat ini.
"Tapi kata teman kamu di kampus, kamu sakit..."
"Teman? Abang tadi ke kampus?" Tanya Maira kaget mendengar ucapan Hidayat.
"Abang kan sudah bilang mau jemput kamu, tapi kamu kok malah pulang duluan? Abang telepon-telepon, tapi kamu tidak mengangkatnya..." Jelas Hidayat masih dalam kekhawatirannya.
Bu Zainab dan ibunya Maira menatap mereka dengan kebingungan, tidak mengerti dengan kelakuan anak dan menantunya itu.
"Oh, hp Maira nadanya hening sebelum masuk kelas tadi, Bang... Maira lupa mengaktifkannya lagi..." Jawab Maira.
Ia menatap lekat wajah Hidayat. Hatinya mulai merasa tidak nyaman.
"Bu, kami ke kamar dulu, ya..." Pamit Maira, lalu menoleh kembali kepada Hidayat seolah memberi isyarat.
"Tunggu dulu..." Cegah Bu Zainab cepat. "Ini sebenarnya ada apa? Kok Ibu ngerasa kalian sedang main kucing-kucingan sih? Maira memangnya beneran sakit?"
"Enggak kok, Bu... Tadi Maira sedikit mengantuk di kelas, makanya teman Maira bilang begitu..." Jawab Maira hati-hati.
"Benar begitu, Nak?" Tanya ibunya Maira ikut terlihat cemas.
"Iya, Bu... Maira baik-baik saja..."
"Tapi kenapa harus bicara di kamar? Apa ada sesuatu yang tidak boleh kami ketahui? Kalian tidak merahasiakan apa-apa dari kami, kan?" Tanya Bu Zainab belum kunjung merasa puas.
"Tidak, Bu... Ini sangat mendesak. Kata Abang, barang di kios banyak yang habis. Kami mau mendiskusikannya sebentar..." Jawab Maira berusaha membuat ibu mertuanya mengerti.
***
Maira memasuki kamar dan disusul oleh Hidayat di belakangnya. Setelah mereka berada di dalam, Maira mengunci pintu kamar itu rapat-rapat.
"Apa yang Abang mau?" Tanya Maira kesal. Dahinya mengernyit heran karena sudah terlampau sekali sandiwara yang dilakukan oleh suaminya itu.
"Memangnya apa yang Abang mau? Abang kan nanya baik-baik..." Jawab Hidayat terlihat tak merasa bersalah sedikitpun.
"Abang sadar kan, sandiwara Abang terlalu berlebihan?" Ketus Maira tak tahan lagi.
"Sandiwara?" Hidayat tercengang mendengar tuduhan Maira. Tak mendasar, namun bukan sesuatu yang tidak wajar jika Maira berpikir sampai ke sana.
"Itu sama saja Abang menyakiti Maira terlalu dalam... Mentang-mentang Abang tahu bagaimana perasaan Maira terhadap Abang, lalu dengan sekena hati Abang memperlakukan Maira seperti ini..." Tambah Maira lagi dengan berang.
"Mai, dengarkan Abang dulu..."
"Sudahlah, Bang... Maira lelah..." Potong Maira tak memberi kesempatan kepada Hidayat untuk bicara.
"Jadi, Maira menyerah sekarang?" Tanya Hidayat terlihat kecewa.
Wajah Maira berubah menjadi tegang. Ia terlihat salah tingkah setelah mendengar ucapan Hidayat, yang sebenarnya bukan maksud dirinya.
"Kalau Maira menyerah, lalu kenapa Maira menerima perjodohan ini sebelumnya?" Tanya Hidayat lagi.
Maira gelagapan. Ia memalingkan wajahnya dari tatapan Hidayat, lalu berjalan memunggungi suaminya itu.
"Jawab, Maira...!" Hidayat segera menahan lengan Maira, lalu menariknya dengan kuat ke hadapannya. Mata mereka saling bersitatap untuk beberapa saat lamanya, dan tak terasa air mata Maira mengalir begitu saja.
"Abang pikir karena apa Maira tetap melanjutkan perjodohan ini, hmm? Kenapa Abang selalu meremehkan perasaan Maira?" Tanya Maira dengan suara pelan menahan kepedihan.
Hidayat menelan kasar ludahnya sendiri. Entah mengapa ia merasakan sakit melihat air mata Maira berjatuhan. Cengkraman tangannya perlahan mengendur.
"Lalu, kenapa tidak Abang saja yang menolaknya, hah? Bukankah Abang yang tidak menyukai perjodohan ini?" Tanya Maira penuh penekanan sambil menarik kembali tangannya dengan kasar dari cengkeraman Hidayat.
"Itu... Itu..." Hidayat tiba-tiba menjadi gugup melihat keberanian Maira.
"Demi ibu... Iya, kan, Bang? Demi ibu, kan?"
Hidayat menatap Maira begitu dalam. Memang tidak ada alasan lain baginya selain demi ibunya.
"Lalu apa bedanya dengan Maira, Bang? Abang kira, ibu Abang tidak akan sedih jika Maira yang menolaknya, hah? Abang pikir semua akan selesai jika Maira yang memutuskan tidak untuk menerima Abang sebagai suaminya Maira?" Ucapan Maira tertahan. Air matanya semakin banyak mengalir di pipinya.
"Abang egois... Abang hanya memikirkan diri Abang sendiri... Sementara Maira? Heh, Maira hanya pengemis cinta bagi Abang..." Kecam Maira bertubi-tubi mengeluarkan isi hatinya yang tersimpan begitu banyak.
"Mai..."
"Sudahlah, Bang... Abang harus percaya kalau Maira tidak akan semudah itu menyerah, kecuali alasan Abang karena adanya perempuan lain..." Ucap Maira membuat Hidayat tercengang.
"Perempuan lain?"
"Ya... Dan Maira harap, Abang bersikap seperti ini kepada Maira, karena Abang memang belum memiliki rasa terhadap Maira. Tapi jika alasannya karena perempuan lain, Maira tidak bisa membiarkan tiga hati terluka... Maira akan berterus terang kepada keluarga kita, bahwa kita memang tidaklah berjodoh..." Ucap Maira membuat Hidayat tertegun.
Maira berlalu menuju ke kamar mandi, meninggalkan Hidayat disana dengan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
mrs.andriIndra
tuhhhhh denger yat klw dari awal situ bilang udah punya pacar maira juga lgsg nolak,emang dasar aj mau dibilang anak soleh pdhl kelakuannya salah😠
2023-07-21
1
Yuli maelany
ayo Yat sebelum terlambat dan kamu jatuh terlalu dalam.....
2023-02-04
1
Bunda Salma
ayo maira tetep kuat , kejar terus kelemahan dayat untuk segera menyadarkan dia kalau tak bisa segera tinggalkan dia .
2022-11-28
1