Hidayat menentang koper miliknya ke dalam kamar tamu, sementara Maira mengikut dari belakang. Wajahnya begitu kaku, sikapnya pun semakin dingin di hadapan Maira.
"Kamu tunggu di sofa saja," perintah Hidayat ketika mereka berada di ambang pintu kamar tamu.
Maira menurut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia sangat paham betul situasi macam apa yang mereka hadapi saat ini.
Setelah Hidayat meletakkan koper kecil miliknya di dalam, ia segera berjalan ke sofa untuk menemui Maira. Ia menoleh sebentar ke wajah Maira, dan ia lihat istrinya itu hanya menunduk.
"Jangan harapkan apa-apa dari pernikahan ini, Maira..."
Hidayat berharap Maira akan bicara, namun istrinya itu tetap diam tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya. Hidayat mulai kikuk, seluruh kata-kata yang semula telah ia persiapkan mendadak lenyap dari benaknya.
"Maira..." Ia mencoba memanggil dengan lembut.
Maira perlahan mengangkat wajahnya. Ia menoleh, lalu menatap Hidayat dengan tatapan yang sulit diartikan. "Memangnya Abang mengharapkan Maira untuk berharap seperti apa?"
Hidayat tercengang. Sikap Maira jauh dibanding ekspetasinya. Maira berubah total, dan ia mengira hanya karena duka yang baru saja menimpa keluarga mereka. "Maksud Abang begini, Mai... Emmm..."
Meski Hidayat sebelumnya berharap Maira akan berhenti mencintai dirinya, lalu perlahan menyerah dengan pernikahan mereka, namun saat ini ia malah tidak mengerti mengapa sikap Maira membuatnya tidak perlu bertindak jauh.
"Maira memang mencintai Abang, tapi Maira tahu bukan sebaliknya, kan...?" Ucap Maira membuka kata.
"Lalu, mengapa Maira malah tidak menolak? Padahal Maira paham bukan, kalau menikah tapi tidak saling mencintai itu sama sekali tidak menguntungkan kedua belah pihak? Maira akan tersakiti, karena Abang juga tidak bisa memaksakan perasaan Abang terhadap Maira..." Tutur Hidayat dengan penuh kehati-hatian.
"Kenapa tidak Abang saja yang menolaknya?" Maira menyunggingkan senyum, tapi tidak diketahui Hidayat bahwa di dalam hatinya sangat terluka.
"Maira..."
"Jangan paksa Maira melakukan apa yang tidak Maira bisa, Bang... Kita jalani saja, mungkin suatu hari nanti Abang bisa membuka hati untuk Maira..."
Hidayat tercengang. Kata-kata Maira seolah menantang dirinya. Tiba-tiba ia merasa marah mendengar kepercayaan diri Maira yang begitu besar.
"Jangan berusaha untuk itu, Maira, karena Abang tidak akan mungkin memberikan hati Abang untuk kamu..." Ketus Hidayat. Ia langsung berdiri hendak meninggalkan Maira disana.
Maira bergegas berdiri. "Hati Abang milik Allah, dan akan Maira minta di setiap akhir sujud Maira kepada-Nya."
Ucapan Maira yang begitu lantang membuat hati Hidayat semakin memanas. Ia menghentikan langkahnya, lalu kembali menoleh kepada Maira dengan tatapan tajam.
"Jangan mengemis cinta, Maira... Itu hanya akan memalukan diri kamu sendiri..." Hardik Hidayat. Ia sendiri tersakiti oleh ucapannya, karena ia sadar bahwa ia tidak pernah berkata kasar kepada siapapun, apalagi ini adalah seorang perempuan yang sekarang telah menjadi istri sahnya.
Jengah dengan suasana yang tiba-tiba memanas, Hidayat segera berlalu menuju ke kamar tamu.
Maira menelan pahit kesedihannya. Ia berusaha menahan tangisnya, namun air matanya begitu nakal keluar dengan deras. Ia kembali menghenyakkan tubuhnya ke sofa dengan keras. Hatinya semakin perih menghadapi kenyataan yang benar-benar tidak sesuai dengan harapannya tentang hidup berumah tangga dengan pujaan hatinya selama ini.
Maira terisak dengan menutupi wajahnya yang memerah dan basah oleh air matanya sendiri.
***
Maira membenamkan kepalanya ke bawah bantal. Ia berusaha keras untuk tidak tergoda mengangkat telepon dari ibu mertua almarhum Abangnya, yang sekarang juga telah menjadi mertuanya pula. Ia belum siap memperdengarkan suaranya yang serak setelah menangis berjam-jam di kamar yang pernah menjadi tempat kisah cinta kakak dan kakak iparnya berlangsung.
Tubuhnya juga begitu lelah setelah seharian berada dalam perjalanan dari kampung menuju ke rumah peninggalan kakak dan kakak iparnya itu. Ditambah lagi perdebatan yang terjadi di antara dirinya dan Hidayat sore tadi membuat tubuhnya semakin lemah.
Hanya beberapa kali dering ponselnya terdengar menyayat hati, selepas itu ia tertidur pulas.
Dua jam berselang, ia terbangun karena merasa wajahnya begitu panas, dan napasnya pun terasa sesak. Ia melihat kearah jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari.
"Aku harus kuat..." Gumam Maira seraya bangkit dari kasur. Jilbab yang ia pakai dari kampung masih dikenakannya. Terlihat kusut dan acak-acakan melekat di kepalanya.
Di pertigaan malam pertama bagi Maira berada di kamar ini. Usai mandi ia langsung melaksanakan shalat tahajud, kembali meminta kepada Sang Pemilik kehidupan, agar hidupnya selalu dalam lindungan Allah.
Selepas shalat Maira tidak kembali tidur. Ia membaca Alquran hingga waktu subuh datang. Air matanya berderai mengingat kejadian sore kemarin, juga membayangkan bagaimana mengerikannya kehidupan rumah tangganya ke depan bersama Hidayat.
Layaknya seorang istri, Maira pagi-pagi selepas shalat subuh langsung menyiapkan sarapan dan juga minuman untuk suaminya. Ia tidak peduli bagaimana, yang ia pikirkan tekadnya untuk merebut hati Hidayat agar dapat meliriknya sebagai seorang istri.
Hampir jam tujuh Hidayat keluar dari kamar tamu. Ia telah bersiap hendak pergi.
"Sarapannya sudah selesai, Bang... Abang mau ke kios, kan?" Maira berusaha untuk bersikap santai seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Tidak perlu... Aku sarapan di kios saja..." Jawab Hidayat ketus. Ia hendak berjalan keluar meninggalkan Maira dengan acuh, namun Maira dengan cepat pula menahan lengannya.
"Untuk sekali ini saja, Bang... Ini makanan dari kampung habis Maira panaskan, juga lumayan banyak... Maira berencana buat bagi-bagi ke tetangga dekat, tetap saja kebanyakan. Lain kali Maira tidak akan menyiapkan apapun lagi, biar tidak ada yang mubasir..."
Sekeras apa pun hati Hidayat, tapi mendengar kata mubasir ia menurut. Ia berlenggang menuju meja makan, dan kemudian langsung menyantap sarapan yang telah disiapkan Maira.
"Bang, nanti Maira pamit jalan ke rumah-rumah tetangga, ya?" Ucap Maira meminta izin layaknya seorang istri kepada suaminya.
"Lakukan sesuka hatimu... Pergi-pergi saja jika kamu bosan, karena aku tidak akan pernah membatasi kamu..." Ujar Hidayat tak ambil peduli.
Maira menelan kasar ludahnya, berusaha kuat ketika mendengar perkataan Hidayat yang keras dan kasar terhadapnya. Setelah menikah, Hidayat memang berubah total dalam bersikap kepadanya. Namun, bertahan adalah maunya, meski ia sendiri tidak tahu sampai kapan ia harus bertahan.
"Syukur-syukur kamu menyerah dengan pernikahan kita. Aku belum siap menikah, tapi semua aku lakukan demi ibu..." Hidayat bangkit dari duduknya sambil menarik tas kecil yang biasa ia bawa-bawa jika hendak ke kios.
Maira tetap tersenyum, setidaknya Hidayat menghargai niat baiknya pagi ini. Walau Hidayat membagi batas dengannya, setidaknya suaminya itu mau menghabiskan sarapan dan minuman yang telah ia siapkan dengan penuh ketulusan.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
abdan syakura
beuhhhh.....
suami ancaman.....
2023-05-23
1
Yuli maelany
semoga akhirnya cinta kamu bisa terbalas kan maira😢😢😢😢
2023-02-03
2
Cah Dangsambuh
haduuuh dayat dayat! walaupun dia menerima perjodohan alasan bakti sama ibu kalo cara memperlakukan istri begitu bedanya apa dengan nyiksa batin perempuan.
2022-11-23
1