NovelToon NovelToon

Teruntuk Suami Yang Tidak Mencintaiku

01. Duka

Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral. Bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah. Dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang musti diindahkan.

Dia memimpikan wanita yang sempurna, dan aku memimpikan dia yang sempurna. Sementara di antara kami telah lupa, bahwa Allah menciptakan kami untuk menyempurnakan satu sama lain.

Aku mendambakan dirinya, jauh sebelum pernikahan ini berlangsung, bahkan aku telah jatuh cinta dalam pandangan pertama yang aku ingat detail kapan waktunya.

Ku kira dia akan menerima pernikahan ini meski kami dijodohkan. Namun sesampai di rumah ini, ia membagi batas denganku, juga membagi kamar kami. Aku di kamar utama, ia di kamar tamu.

Sikapnya berubah total, begitu dingin. Dan aku ingat persis kapan perubahan sikapnya itu kepadaku.

****

Hidayat terhuyung. Perlahan ia menjatuhkan dirinya ke kursi kasir di kios kelontongan yang ia jaga, dengan posisi tangannya masih memegang ponsel di telinganya.

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un…." Ia menutup kedua matanya dengan sebelah telapak tangannya. Tiba-tiba bahunya bergetar hebat, terdengar isak kecil di balik mulutnya yang terkunci rapat.

"Tutup kembali kios kita, Ki…." Perintahnya dengan suara terdengar getir pada salah seorang karyawan disana. Padahal, baru saja mereka menghembuskan nafas lega setelah selesai membuka barang pajangan.

"Apa yang terjadi, Bang?" Rizki, karyawan toko terlihat ikut panik.

"Bang Ajiz-" Suara Hidayat tertahan. Ia kembali tersedu.

"Kenapa dengan bang Ajiz, Bang?"

Hidayat masih terdiam.

Dua karyawan lainnya ikut memandangi gerak-gerik Hidayat dengan wajah menegang.

"Bang Ajiz sudah tiada, Ki..." Jawab Hidayat kali ini berusaha menahan diri.

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un..." Mereka serentak berucap. Tampak dengan nyata raut wajah berduka di wajah mereka.

"Ini?"

"Aku baru saja dapat kabar dari kampung, Ki... Kak Zahra dan bang Ajiz benar-benar jodoh dunia akhirat..." Hidayat seakan memperjelas untuk menepis ketidakpercayaan mereka.

Rizki terduduk. Tampak ia terpuruk setelah mendengar penuturan Hidayat.

"Bang Ajiz orang yang sangat baik, sehingga kita pantas merasa kehilangan... Bahkan beliau memperlakukan kalian layaknya adik sendiri, sehingga kalian pasti sangat terpukul akan berita yang mengejutkan ini..."

"Kami boleh ikut ke kampung, Bang?" Tanya Rizki dengan air matanya yang telah berderai.

Hidayat mengangguk. "Tentu... Saya tidak berhak melarang kalian. Saya akan kabari bang Arya terlebih dahulu."

Hal yang sama juga terjadi pada Arya Irawan, artis muda yang terkenal. Mereka berteman baik sejak novel kakak Hidayat difilmkan dan diperankan oleh Arya sebagai protagonis pria. Bahkan ia, Ajiz dan Zahrana terlibat cinta tiga segi yang tidak pantas dirasakan Arya kepada almarhumah Zahrana, kakak kandung Hidayat.

Ia sangat terkejut mendengar kabar tentang meninggalnya Ajiz, menyusul istri tercintanya dan banyak dicintai oleh orang-orang. Dalam hatinya ia terkagum betapa cinta dua insan itu begitu sejati. Bermula atas kepergian Zahrana tiga bulan yang lalu, dan kini menyusul Ajiz menemui istrinya yang shalihah itu.

"Pulang bersama Abang, ya, Yat?" Ajak Arya dalam teleponnya.

"Terimakasih, Bang Arya... Bolehkah Hidayat membawa Rizki, Jipo dan Tio? Mereka sudah seperti adik bagi bang Ajiz..." Pinta Hidayat dengan suara terdengar parau.

"Tentu, Yat... Mobil Abang terlalu lapang untuk kita berdua." Jawab Arya.

"Terimakasih, Bang..."

"Jangan berterimakasih terus, Yat... Kita ini Bukankah keluarga?" Arya sama halnya, merasa sangat kehilangan mendengar meninggalnya kakak ipar Hidayat.

"Apa Ari sudah diberitahu?" Tanya Arya lagi.

"Entahlah, Bang... Hidayat akan menghubungi bang Ari..." Jawabnya.

Dalam hatinya Hidayat begitu kecewa, tatkala memandangi kios yang ia rintis saat ini. Kios yang dihasilkan oleh keuntungan novel almarhumah kakaknya, yang dirintis kakak iparnya dari nol kembali setelah kios sebelumnya kebakaran.

"Katanya, bang Ajiz pulang kampung hanya karena merindukan kak Zara. Tapi kenapa kampungnya, kampung akhirat?" Sesal Hidayat. Air matanya bergulir begitu saja, mengingat kakak iparnya itu begitu dekat dengan dirinya.

Mereka berlima pagi itu langsung berangkat pulang ke kampung. Walaupun raut wajahnya tidak berbohong mengatakan ia sedang berduka, namun Hidayat beberapa kali tampak sibuk memainkan ponselnya.

"Bagaimana dengan Ari, Yat?" Tanya Arya kembali mengingat saudara susuan Zahrana.

Hidayat bergeming. Ia seperti tidak menyadari pertanyaan Arya kepadanya, karena ia masih saja sibuk menekan-nekan tombol layar ponselnya.

"Yat?" Ulang Arya dan kali ini menoleh kepadanya.

"Eh, i-iya, Bang..."

"Ari bagaimana?"

"Owh bang Ari... Tadi Hidayat sempat kabari, tapi kata bang Ari mereka sudah jalan ke bandara bersama mama dan papanya. Mereka telah diberitahu ibu tadi pagi..." Tutur Hidayat.

Tujuh jam perjalanan mengantarkan mereka sampai di rumah orang tua Hidayat. Tampak pelayat telah mulai lengang, karena memang kedatangan mereka tidak dapat ditunggu untuk memakamkan Ajis.

Hidayat dan yang lainnya langsung ke pemakaman Ajis yang berada di belakang rumah kediaman keluarga Marwan. Disana masih terlihat seorang gadis tersedu-sedu menangisi kepergian Ajiz.

"Maira..." Arya mendekat hendak menenangkan, namun gadis itu tak kunjung menoleh. Ia masih larut dalam duka yang mendalam.

Hidayat berdiri berhadapan dengan gadis itu, kemudian perlahan berjongkok dan bertumpu di batu nisan yang baru tertanam di atasnya.

"Jahat kamu, Bang..." Tuding Hidayat terdengar getir.

Gadis itu mulai melirik ke wajah di hadapannya. Ia semakin terisak. "Bang Ajiz juga meninggalkan Maira... Bang Ajiz lebih sayang kak Zahra..."

Arya meletakkan telapak tangannya ke bahu Maira. "Semua sudah diatur oleh yang maha Kuasa, Maira... Ajiz pergi karena memang sudah jalannya yang telah tertulis sebelum ia dilahirkan... Kita harus ikhlas melepas kepergiannya, biar mereka berbahagia berdua di surga Allah..."

"Bang Ajiz sudah seperti bang Mus bagi Abang, Maira... Abang juga terpukul atas kepergian bang Ajiz... Maira yang kuat, ya..." Hidayat ikut membujuk tanpa sedikitpun menoleh.

Khumaira Fatimah, ia adik dari kakak ipar Hidayat, dan telah lama menaruh hati kepadanya. Ia menjadi risih, meski ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk perasaan gadis itu terhadap dirinya.

Mendengar ia yang berucap, air mata Maira semakin deras. "Tak ada lagi Abang Maira yang menyayangi Maira..."

"Masih ada Abang, Maira..." Potong Arya cepat. "Ada bang Hidayat, bang Mus, bang Ed..."

"Juga masih ada bang Ari, Maira..." Sosok pemuda lainnya datang menimpali.

Maira menoleh kepada Ari, ia lalu menyunggingkan sedikit senyumannya. "Terimakasih, Bang..."

Maira kemudian menoleh pada Hidayat yang masih bergeming di hadapannya, menunduk menatap makam Ajis yang masih basah. Ribuan harapan terbendung di hatinya kepada Hidayat, tidak hanya sebagai sosok Abang, melainkan lebih dari itu. Namun dari awal, Hidayat tidak pernah menatapnya sesuai dengan harapannya. Ia putus asa, karena setelah kepergian Ajiz, mungkin tidak akan ada lagi pengikat di antara mereka.

.

.

.

.

02. Dijodohkan

Usai malam tahlilan, Dua keluarga itu berkumpul. Sangat ramai sekali di dalam rumah sederhana kediaman Marwan. Arya beserta tamu yang lainnya telah beristirahat di ruang tengah, sementara kedua orang tua Hidayat dan kedua orang tua Ajiz berkumpul di ruang makan. Ada Hidayat sendiri beserta Maira bersama mereka.

Maira bersandar lemah di bahu ayahnya. Sedari tadi ia tidak berhenti bersedih. Kehilangan orang yang sangat ia sayangi secara berturut-turut dalam waktu yang singkat. Kakak ipar yang sangat menyayangi dirinya, lalu menyusul Abang tercinta yang selalu memanjakannya.

"Terima kasih karena telah mengizinkan Ajiz dimakamkan disini, Besan..." Ucap Umayyah memecahkan keheningan di antara mereka.

"Saya yakin, memang ini yang diinginkan Ajiz sebelumnya..." Jawab Ayah Maira terlihat menerawang dalam pandangannya yang terus menunduk.

"Baru kemarin rasanya kita bergembira menyatukan kedua keluarga kita atas pernikahan mereka..." Bu Zainab berkata sambil mengusap air matanya yang tak henti-henti mengalir.

"Sudah, Bu... Ini sudah takdir... Ibu jangan menangis terus, nanti ibu sakit..." Hidayat mengusap bahu ibunya.

"Rasanya Ibu belum sanggup menerima kenyataan ini, Yat... Kakakmu, Abang ipar kamu..." Bu Zainab kembali tersedu.

"Sssttt... Ibu..." Hidayat mengusap pipi ibunya.

"Ibu tidak ingin hubungan ini terputus karena kakak dan abang ipar kamu telah tiada, Nak..." Keluh bu Zainab memelas.

"Itu tidak akan terjadi, Bu... Kita tetap keluarga..." Bantah ibu Maira sambil menggeleng sedih.

"Tapi, pengikat di antara kita telah tiada keduanya... Bagaimana dengan kios? Rumah mereka? Kami sama sekali tidak enak hati jika mengingat peninggalan mereka... Apalagi nak Ajiz sebelum pergi telah menjadikan kios itu atas nama Hidayat sebagai penanggung jawab yang sah..." Tutur Bu Zainab tampak menerawang.

Semua terdiam. Ucapan bu Zainab sama sekali tidak salah, dan lambat laun semua itu memang akan jadi beban pikiran bagi kedua belah pihak.

"Kami sama sekali tidak memikirkan hal itu, Bu Zainab, Pak Umayyah..." Ucap ayah Maira menyahuti.

"Tapi, ucapan ibunya Hidayat memang juga menjadi beban bagi saya sendiri, Pak... Saya tidak juga menginginkan apa-apa, namun kepergian mereka meninggalkan tanggung jawab besar untuk kita semua..." Timpal Umayyah.

"Lalu kita harus bagaimana?" Kembali ayah Maira bertanya dengan wajah penuh kebingungan.

"Rasulullah shalallahu alaihi wassallam telah bersabda, bahwa beliau menyerukan agar bersegeralah berbuat kebaikan sebelum fitnah datang." Ucap Umayyah pelan, namun ketegasan terlihat terang di raut wajahnya.

"Hanya nak Hidayat yang paham dengan kios..." Sela ibu Maira.

"Ayah dan Ibu bang Ajiz bisa kok mengelolanya..." Tukas Hidayat cepat.

"Tidak, Nak... Kami sudah tua. Kami hanya ingin menghabiskan waktu kami di desa saja..." Tolak ibunya Maira tampak sungguh-sungguh tidak ingin.

"Apa sebaiknya Hidayat dan Maira menikah saja?"

Deg.

Jantung Hidayat dan Maira berdetak bersamaan, namun dengan rasa yang berbeda.

Hidayat memaksakan senyumnya, tampak sekali ia gugup dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh ibunya sendiri.

Maira menatap Hidayat lekat, memastikan wajah itu menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan harapannya. Baru kali ini mata Maira berbinar setelah tiga bulan ini redup dan sayu.

"Maira mau menjadi menantu ibu? Ayah Maira tidak keberatan bukan, jika kami menjadi besan kalian lagi?" Desak Bu Zainab sambil tersenyum meski air matanya tak henti mengalir.

Belum ada yang menjawab, beliau mulai murung kembali dan hampir kecewa.

"Pasti ibu dan ayah nak Ajiz ingin mencari besan yang lebih baik dari kami..." Keluh bu Zainab dengan kesedihan.

"Jika kami telah menemukan yang terbaik, lalu apa lagi alasan kami untuk mencoba yang lain? Memiliki besan seperti pak Umayyah dan Bu Zainab adalah anugerah dari Allah yang kami peroleh... Buktinya Ajiz, ia begitu bahagia, dan bahkan rezekinya semakin lancar semenjak menjadi bagian dari keluarga pak Umayyah..." Tutur ayah Maira mematahkan kekecewaan di hati bu Zainab.

"Jadi?"

"Saya sangat senang jika nak Hidayat yang menjadi suami putri kami... Saya yakin, nak Hidayat pasti akan membahagiakan Maira..." Sahut ayah Maira sambil mengangguk.

"Alhamdulillah... Bagaimana, Maira? Kamu mau menjadi menantu Ibu?"

Hidayat tampak gelagapan. Ia meremas jemarinya sendiri, lalu perlahan menoleh kepada Maira yang berada di hadapannya. Entah apa yang ia harapkan dari jawaban gadis itu.

Air mata Maira mengalir, namun dengan segera ia mengusapnya sambil tersenyum. Ia mengangguk cepat menyahuti permintaan bu Zainab.

"Yat?" Bu Zainab menghadap kearah putranya. Namun ekspresinya berubah seketika saat mendapati wajah tak senang dari putranya itu. "Kamu mau berjanji kepada ibu, kan?"

Tak ada jawaban. Bu Zainab segera meraih tangan Hidayat, lalu meremasnya seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin ditolak.

"Hidayat mau, tapi Hidayat tidak bisa berjanji untuk bisa membahagiakan Maira..." Jawab Hidayat terdengar ketus. Ia melirik Maira dengan tatapan tajam.

"Maksud kamu apa, Nak? Kamu keberatan dengan perjodohan ini?" Ayah Maira menatap Hidayat dengan bingung.

"Kami berdua belum cukup dewasa, Yah... Bagaimana mungkin kami akan menghadapi ibadah terpanjang ini jika kami belum memahami rukun dan syaratnya? Hidayat hanya takut mengecewakan semuanya, termasuk membuat Maira tersakiti..." Ujar Hidayat memberi alasan bahwa ia sangat keberatan.

Wajah Maira berubah kecut. Ia mulai menyadari bahwa Hidayat sama sekali tidak senang dengan perjodohan ini, terutama tidak menginginkan dirinya.

"Hidayat hanya belum siap, Maira... Kamu tidak perlu khawatir. Setelah Mus menikah, Hidayat akan menikahi kamu, Nak... Tolong ibu dan dan ayah nak Ajiz jangan salah paham..." Ucap bu Zainab memohon, lalu ia melirik kepada suaminya.

Umayyah hanya mengangguk. "Hidayat pasti sangat merasa kehilangan. Ia yang lebih dekat dengan Zara dan nak Ajiz..."

Hidayat menghela nafas panjang. Ia terlihat kecewa dengan kedua orang tuanya yang sama sekali tidak memihak terhadap perasaannya.

"Hidayat lelah... Hidayat akan istirahat terlebih dahulu." Ucap Hidayat seraya bangkit dan kemudian meninggalkan tempat duduknya.

Bu Zainab mengerti. Ia melihat ketidaknyamanan Hidayat ketika diminta untuk menikah dengan Maira. Namun yang tidak ia mengerti, mengapa putra bungsunya itu menolak? Selama ini ia mengenal Hidayat persis seperti Zahrana, selalu menurut meski wataknya begitu keras.

"Benar sekali, Hidayat hanya lelah. Dan ia juga sangat sedih dibanding kita semua..." Ucap bu Zainab sambil memaksakan senyumnya, berusaha menghapus kebingungan dalam pikiran Maira dan kedua orangtuanya.

"Kita juga perlu tidur, Pak Umayyah... Tidak baik kita berlarut-larut dalam kesedihan ini... Apalagi saya sangat yakin sekali bahwa putra kami telah berbahagia di alam sana. Ia pasti akan berkumpul dengan nak Zahra di surga..." Ucap ayah Maira. Beliau juga terlihat seperti mengelak dari suasana yang saat ini mereka hadapi. Begitu canggung dan kaku.

03. Perdebatan

Hidayat merenung, memunggungi ibunya yang menatapnya dengan permohonan. Raut kekecewaan terbesit jelas di wajahnya yang kusut penuh kehampaan.

"Ibu memutuskan semua ini secara sepihak tanpa mendengar pertimbangan dari Hidayat dulu..." Ucap Hidayat dengan suara getir.

"Apa lagi yang perlu kamu pertimbangkan, Nak? Ini sudah menjadi keputusan Ibu... Tolong, tolong untuk kali ini bersikaplah seperti almarhumah kakakmu..." Ucap bu Zainab memelas.

"Tapi ini berbeda, Bu..."

Hidayat membalikkan badannya menghadap ke ibunya, lalu ia berjalan mendekat. Sementara anggota keluarganya yang lain hanya diam mendengar perdebatan di antara mereka.

"Apanya yang berbeda? Katakan! Katakan apa alasanmu menolak permintaan Ibu..." Tegas bu Zainab bersikeras pada keputusannya.

"Hidayat... Emmm..." Hidayat tiba-tiba menjadi gugup. Ia tak lagi berani menatap ibunya.

"Kenapa? Coba beri alasan kepada ibu, mengapa kamu sampai bersikap seperti ini? Apa kurangnya Maira? Kenapa kamu menolak untuk menikahinya?" Desak Bu Zainab tanpa ampun.

"Tidak ada yang salah dari Maira, Bu... Hanya saja Hidayat tidak memiliki rasa terhadapnya..."

Semua anggota keluarga yang mulanya hanya diam, kini beralih menatapnya tajam.

"Lalu, apa ada perempuan lain di hatimu?" Tanya Muslim, kakak lelakinya mulai mengintimidasi dirinya.

"Memangnya tidak boleh jika hati ini memiliki rasa terhadap seseorang, Bang? Bang Mus enak akan menikah dengan perempuan yang Bang Mus suka..." Keluh Hidayat terdengar tidak menyukai pertanyaan itu.

Muslim bangkit dengan wajah garang. Ia terlihat murka, namun Umayyah dengan sigap menahannya agar tidak mengeluarkan kata-kata lagi.

"Tidak ada yang salah dengan perasaan kamu, Nak... Hanya saja, bukankah dengan menikahi Maira, keluarga kita akan tetap mengokohkan hubungan yang sudah dibangun oleh almarhumah kakakmu dengan keluarga Maira? Kita juga sudah mengenal detail keluarga mereka... Orang tua Maira saja yang hanya memiliki dua anak, rela memberikan kedua anaknya itu untuk dijadikan menantu oleh Ayah dan Ibu... Padahal, bisa saja mereka mencari yang lebih baik daripada keluarga kita ini..."

Hidayat menunduk. Ia sebenarnya masih tidak mengerti dengan keputusan keluarganya yang bersatu memaksa dirinya untuk menerima perjodohan ini, namun ia sebagai anak paling bungsu hanya bisa pasrah dan menyerah.

Bu Zainab mendekati Hidayat lagi. Ia terlihat mulai melunak. "Apa kakakmu sama sekali tidak pernah berwasiat terhadap kamu, Nak? Maira anak yang baik, dan telah lama menaruh hati kepadamu... Tapi ini memang bukan perkara hatinya saja, melainkan demi kakakmu dan segala peninggalan mereka berdua. Ingatlah! Sesuatu yang buruk bagimu, belum tentu buruk bagi Allah... Bisa jadi apa yang tidak kamu sukai, malah itu yang terbaik bagimu..."

Hidayat bergeming. Seketika ia menjadi pelawan dalam hati. Memberontak tanpa berani berteriak menyatakan argumennya yang menolak keras perjodohan ini.

Perdebatan pagi ini usai. Hidayat menelan kekecewaan terhadap keputusan keluarganya yang bertolak dengan kemauannya sendiri.

Dadanya terasa sesak. Ia tidak sanggup lagi membantah, namun ini bukan inginnya. Ia bersandar di dinding bawah jendela kamarnya yang menghadap ke perkebunan belakang rumah. Di dalam genggamannya terdapat secarik foto. Ia angkat, lalu menatap gambar wajah di dalam foto itu.

"Aku menyukai Kirana, Kak..." Ucapnya berkeluh-kesah kepada foto yang ternyata bergambar diri almarhumah kakaknya, Zahrana Habibah Marwan.

"Bagaimana mungkin menikahi Maira adalah wasiat kakak, sementara kakak menyukai Kirana juga, Kan? Katanya, dia mau berhijab setelah ini. Dia mau meninggalkan dunia entertainment demi Hidayat..." Ucap Hidayat mencurahkan segala isi hatinya, dan mungkin itu jauh lebih baik baginya saat ini.

***

Maira terlihat melamun di sudut rumahnya. Setelah acara tahlilan malam ke dua di rumah mertua abangnya semalam, ia dan kedua orangtuanya kembali ke desanya. Tahlilan ke tiga akan di adakan di rumahnya untuk nanti malam.

Ia tampak dilema. Tatapan Hidayat pada malam itu masih mengganggu pikirannya, menelisik jantung hatinya. Ia merasa risau, takut jika Hidayat tidak menyukai jawaban darinya.

"Kenapa Maira melamun? Apa Maira masih sedih dengan kepergian bang Ajiz?" Ibu Maira datang dan duduk di sebelahnya. Beliau mengusap lembut punggung Maira dengan penuh kasih.

"Maira tidak boleh egois, Bu... Bang Ajiz pasti merindukan kak Zahra, dan pastinya mereka sudah berkumpul saat ini. Mereka berdua orang baik, Bu..." Jawab Maira berusaha menyemangati dirinya sendiri.

"Benar sekali... Lalu, apa sekarang yang menjadi kegelisahan Maira? Apa tentang perjodohan Maira dengan Hidayat kah? Apa Maira hanya berpura-pura setuju kemarin untuk menyenangkan hati bu Zainab?" Tanya ibunya lagi masih dengan lembut.

Maira terdiam. Ia menundukkan wajahnya, diam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita kepada ibunya itu.

"Maira? Sini, Nak... Lihat Ibu..." Pinta ibunya sambil menarik pelan dagu Maira, lalu membuat Maira menghadap langsung ke wajahnya.

"Maira bebas menolak, dan nanti ibu akan bicara kepada ayah..." Ucap ibu Maira begitu bijaksana.

"Sebenarnya, emmm..."

Ibu Maira hanya memerhatikan mimik wajah Maira dengan kasih, tanpa beliau mendesak agar Maira mau bicara terus terang terhadapnya.

"Maira bagai kejatuhan durian runtuh saat ibu bang Hidayat meminta Maira untuk menjadi menantu beliau, Bu... Dari awal, Maira memang telah menyukai bang Hidayat..." Tutur Maira mengakui perasaannya terhadap ibunya sendiri.

"Benarkah? Kenapa Maira tidak pernah cerita kepada Ibu?"

"Maira malu, Bu..." Jawab Maira kemudian kembali menundukkan wajahnya.

"Maira malu sama Ibu sendiri? Bukankah teman curhat untuk anak gadis itu adalah ibunya sendiri, ya? Apa Ibu pernah mengabaikan perasaan Maira sebelumnya?" Tanya ibu Maira terlihat sedih.

"Maaf, Ibu... Bukan begitu..." Maira terlihat gugup. Dia juga bingung dan merasa bersalah. "Sebelumnya Maira cuma cerita kepada almarhumah kak Zahra..."

"Terus, almarhumah Zahra bilang apa, Nak?"

"Maira senang sekali, Bu... Awalnya Maira sedikit kecewa, tapi setelah kak Zahra bilang jangan hilangkan Allah dari hati Maira, Maira jadi yakin bahwa maksud kak Zahra sangat mendukung sekali perasaan Maira kepada bang Hidayat..." Jelas Maira sambil tersenyum mengenang pembicaraannya dengan almarhumah kakak iparnya beberapa bulan lalu.

"Almarhumah kakak ipar kamu memang spesial, Nak... Pantas almarhum Abang kamu begitu mencintainya. Ibu tidak menyangka, putra kebanggaan Ibu akan meninggalkan Ibu begitu cepat, bahkan belum sempat memberikan Ibu seorang cucu. Lelaki hebat untuk Maira setelah ayah..." Ibu menyeka air matanya, lalu menatap Maira dengan kebimbangan.

"Bagaimana dengan Hidayat? Apa dia akan mencintai Maira? Apa Hidayat akan membahagiakan Maira? Cuma Maira yang tersisa sebagai harta paling berharga bagi Ibu dan ayah, Nak... Ibu tidak ingin Maira menderita, bahkan merasakan pedih sedikit saja..."

Maira menggenggam tangan ibunya. Ia menyeka air mata ibunya yang masih tersisa. "Maira rasa, bersama bang Hidayat Maira akan bahagia, Bu..."

Ucapannya begitu meyakinkan, namun tidak untuk pikirannya sendiri. Tatapan Hidayat kemarin masih membuat ia ragu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!