Sepeninggal Hidayat, Maira menelepon Bu Zainab. Ia telah mempersiapkan diri dengan berdandan ala kadarnya, juga memasang senyuman yang lebar.
"Maaf, Ibu, semalam Maira lupa mengeluarkan ponsel Maira dari dalam tas... Maira baru lihat panggilan Ibu barusan..." Ucap Maira berbohong.
"Tapi Maira baik-baik saja sampai disana, kan? Hidayat memperlakukan Maira dengan baik, kan?" Terdengar Bu Zainab bertanya dengan khawatir.
"Alhamdulillah baik, Ibu... Ibu tidak usah khawatirkan Maira. Bang Hidayat menjaga Maira betul disini... Terima kasih ya, Bu... Maira senang sekali karena Ibu telah memilih Maira menjadi menantu Ibu untuk bang Hidayat..."
Usai menelepon, Maira tidak membiarkan air matanya kembali tumpah seperti semalam. Ia mendatangi rumah-rumah tetangga sesuai rencananya. Bu Yanti dan Shinta beserta beberapa tetangga lainnya begitu senang akan kehadirannya di kompleks itu.
"Hidayat tidak pernah sebelumnya memberitahu Ibu tentang pernikahan kalian. Baru ketika ia mau pulang kampung kemarin bilangnya..." Ujar Bu Yanti antusias.
"Iya, Bu, memang pernikahan kami begitu dadakan..." Jawab Maira terlihat sendu.
"Tapi nak Maira sama sekali tidak keberatan dengan pernikahan ini, kan?" Tanya bu Yanti terlihat prihatin dengan perubahan rona wajah Maira.
Maira tersenyum, ia menggeleng cepat. "Maira malah senang sekali bisa menikah dengan bang Hidayat, Bu... Maira sudah lama menaruh hati kepada beliau..."
"Oh ya?"
"Iya, Bu... Maira berharap pernikahan kami seperti pernikahan bang Ajiz dan kak Zahra... Mereka meskipun sudah tidak di dunia lagi, tapi Maira sangat yakin bahwa mereka berbahagia disana..."
Bu Yanti mengangguk. "Mereka memang pasangan terbaik yang pernah ibu lihat, Nak... Selalu berbahagia, dan mereka juga tersenyum ramah kepada siapapun disini... Semoga nak Maira dan nak Hidayat juga begitu..."
"Aamiin ya Allah..." Maira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia berharap semakin banyak yang mendoakan kebahagiaannya bersama Hidayat, maka semakin besar pula peluang untuk dikabulkan oleh Allah.
Maira berpamitan pulang. Waktu setengah hari ia habiskan hanya berkeliling dan bertamu ke tetangga-tetangga dekat rumah. Pikirannya mulai sedikit tenang, dan ia pun juga telah nampak riang setelah disambut gembira dan didoakan yang baik-baik oleh para tetangga.
Maira berjalan ke dapur, ia melihat banyak sekali bahan makanan di dalam kulkas. Mulai terpikir olehnya sesuatu yang mesti ia lakukan. Ia tidak peduli apa pun tanggapan Hidayat, karena ia tahu betul suaminya itu tidak akan peduli. Ia hanya fokus pada tugasnya membuat hati Hidayat terbuka oleh usahanya yang terus mengetuk.
Beberapa saat kemudian ia telah siap dengan pakaian rapi berbusana muslimah keluar dari dalam rumah. Ia menenteng rantang susun yang cukup besar, lalu menaiki taksi online yang telah ia pesan.
Sepuluh menit dalam perjalanan, Maira sampai di kios peninggalan kakak dan kakak iparnya. Ia melihat suasana kios cukup ramai meski sudah hampir jam istirahat.
"Assalamualaikum..." Ucapnya ketika memasuki kios, membuat semua terpana akan kedatangan dirinya, tak terkecuali Hidayat sendiri.
"Wa'alaikum salam..." Jawab para karyawan kios.
"Neng Maira bawa makanan untuk kami juga ya?" Rizki yang saat itu tengah mengepak barang belanja pelanggan, segera menyambut rantang yang masih dalam genggaman Maira.
"Iya, Ki... Nanti habis sholat zhuhur kita makan bareng..." Sahut Maira sambil tersenyum melepas rantang itu ke tangan Rizki.
"Terima kasih, Neng Maira..."
Maira mengangguk lalu berjalan kearah Hidayat yang memerhatikan kedatangannya dengan canggung. "Abang tidak jawab salam Maira?"
"Eh?" Hidayat malah terpelongo mendengar pertanyaan Maira. Istrinya memang sangat bijak memilih waktu untuk berinteraksi dengan dirinya. "Wa-wa'alaikum salam..."
Maira tersenyum. Di dalam hatinya ia sangatlah senang untuk situasi seperti ini, walau ia tidak pula berharap banyak pada saat ke depannya ketika mereka akan kembali berduaan di rumah.
Hidayat yang berada di meja kasir segera berputar mendekati posisi Maira. Ia menggamit lengan Maira dan menariknya ke arah belakang.
"Kamu ngapain kesini?" Hidayat menatap Maira dengan tidak suka.
"Maira bosan, Bang..."
"Aku kan sudah bilang..."
"Abang bilang apa memangnya? Kenapa Abang semarah ini melihat Maira datang?" Tanya Maira tetap lunak.
"Cuma hari ini saja, kan? Kalau tidak, silahkan kamu urus sendiri kios ini, dan aku akan berlepas tangan setelahnya..." Tegas Hidayat terlihat begitu marah.
"Tidak mau..." Tolak Maira cepat. "Maira sudah dengar perjuangan kak Zahra dalam keberhasilan bang Ajiz di kios ini... Bang Ajiz cuma punya keahlian dan tenaga, sementara modalnya dari kak Zahra semua... Kami tidak ingin serakah, Bang..."
"Lalu, apa yang kamu mau?"
"Mari buat komitmen... Tapi, tolong jangan abu-abu kan pernikahan kita... Biarkan ini berjalan semestinya sampai kita sama-sama lelah..." Cetus Maira begitu berani. Kali ini ia menatap wajah Hidayat yang berang dengan sekuat hatinya.
"Komitmen apa yang kamu maksud?" Tantang Hidayat.
"Maira akan lanjutkan kuliah Maira disini..."
"Baguslah kalau begitu..." Sela Hidayat.
"Abang buka kios sampai pukul dua, sementara Maira akan kuliah... Sepulang Maira kuliah, Maira akan gantikan Abang di kios, dan Abang bisa kuliah sorenya..." Tutur Maira.
"Kamu mau kerja di kios ini?" Tanya Hidayat seperti tak percaya.
"Apa salah?"
"Tidak... Tidak ada yang salah... Ini jadi lebih bagus..." Jawab Hidayat sambil membuang muka.
"Tapi..."
"Aku akan bimbing kamu untuk hari ini, dan besok kamu akan ditemani sama karyawati baru disini..." Tukas Hidayat memotong ucapan Maira.
"Terima kasih karena Abang sudah mau mengerti..."
***
Waktu istirahat berlalu, Hidayat dan para karyawannya kembali bekerja.Dan pertama kalinya bagi Maira bekerja di kios peninggalan almarhum Abangnya itu. Dia menyimpan perih di dalam hatinya, karena mimpi yang selama ini ia pupuk, malah sirna begitu saja.
Demi menjaga komitmen di antara mereka, Hidayat rela mengajari Maira satu persatu harga barang beserta tata letaknya.
"Tuh, ada pelanggan masuk... Belajar bikin nota..." Perintah Hidayat dengan suara pelan.
Maira bergegas mendekati pelanggan yang baru saja masuk.
"Apa yang mau ditambah, Bu...?" Tanyanya sambil tersenyum ramah.
Pelanggan itu mengangguk kepada Maira, namun setelah itu ia menoleh kepada Hidayat.
"Ini istri saya, Bu Jeri..." Hidayat dengan terpaksa mendekat pula.
"Istri? Kapan nikahnya, Yat?"
"Baru tiga hari ini, Bu..."
"Oalah... Kamu tidak bilang-bilang, Yat... Harusnya Ibu bisa kirim karangan bunga... Tapi ya sudahlah... Salah kamu sendiri..." Omel pelanggan yang terlihat akrab dengannya.
"Adiknya bang Ajiz, Bu... Kami nikah sederhana saja..." Tutur Hidayat berbasa-basi.
Bu Jeri menoleh kembali pada Maira. "Benar, Dik, kamu adiknya Ajiz?"
"Benar, Bu..." Sahut Maira sambil mengangguk. Wajahnya berubah sendu, membuat Hidayat ikut terenyuh. Semarah apa pun ia terhadap status mereka saat ini, tetap saja ia juga merasakan kepedihan Maira atas kepergian Ajiz.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Yuli maelany
Hidayat Belum dewasa makanya semudah itu dia mempermainkan pernikahan dengan tak melakukan kewajiban pasca menikah,pada istrinya....
2023-02-03
2
yelmi
maira wanita yang kuat... pasti bisa jalani ini semua
katanya zahra sama ajis panutan mu yat... tapi kamu memperlakukan maira dengan tidak baik
2022-11-21
1
Ratna Dadank
lebay amat lu yat...
kek perempuan yg tersakiti saja..
sanah....kalo memang gak mau sama maira...biar kak author kasiih lelaki yg baik sholeh...
2022-11-19
1