Usai malam tahlilan, Dua keluarga itu berkumpul. Sangat ramai sekali di dalam rumah sederhana kediaman Marwan. Arya beserta tamu yang lainnya telah beristirahat di ruang tengah, sementara kedua orang tua Hidayat dan kedua orang tua Ajiz berkumpul di ruang makan. Ada Hidayat sendiri beserta Maira bersama mereka.
Maira bersandar lemah di bahu ayahnya. Sedari tadi ia tidak berhenti bersedih. Kehilangan orang yang sangat ia sayangi secara berturut-turut dalam waktu yang singkat. Kakak ipar yang sangat menyayangi dirinya, lalu menyusul Abang tercinta yang selalu memanjakannya.
"Terima kasih karena telah mengizinkan Ajiz dimakamkan disini, Besan..." Ucap Umayyah memecahkan keheningan di antara mereka.
"Saya yakin, memang ini yang diinginkan Ajiz sebelumnya..." Jawab Ayah Maira terlihat menerawang dalam pandangannya yang terus menunduk.
"Baru kemarin rasanya kita bergembira menyatukan kedua keluarga kita atas pernikahan mereka..." Bu Zainab berkata sambil mengusap air matanya yang tak henti-henti mengalir.
"Sudah, Bu... Ini sudah takdir... Ibu jangan menangis terus, nanti ibu sakit..." Hidayat mengusap bahu ibunya.
"Rasanya Ibu belum sanggup menerima kenyataan ini, Yat... Kakakmu, Abang ipar kamu..." Bu Zainab kembali tersedu.
"Sssttt... Ibu..." Hidayat mengusap pipi ibunya.
"Ibu tidak ingin hubungan ini terputus karena kakak dan abang ipar kamu telah tiada, Nak..." Keluh bu Zainab memelas.
"Itu tidak akan terjadi, Bu... Kita tetap keluarga..." Bantah ibu Maira sambil menggeleng sedih.
"Tapi, pengikat di antara kita telah tiada keduanya... Bagaimana dengan kios? Rumah mereka? Kami sama sekali tidak enak hati jika mengingat peninggalan mereka... Apalagi nak Ajiz sebelum pergi telah menjadikan kios itu atas nama Hidayat sebagai penanggung jawab yang sah..." Tutur Bu Zainab tampak menerawang.
Semua terdiam. Ucapan bu Zainab sama sekali tidak salah, dan lambat laun semua itu memang akan jadi beban pikiran bagi kedua belah pihak.
"Kami sama sekali tidak memikirkan hal itu, Bu Zainab, Pak Umayyah..." Ucap ayah Maira menyahuti.
"Tapi, ucapan ibunya Hidayat memang juga menjadi beban bagi saya sendiri, Pak... Saya tidak juga menginginkan apa-apa, namun kepergian mereka meninggalkan tanggung jawab besar untuk kita semua..." Timpal Umayyah.
"Lalu kita harus bagaimana?" Kembali ayah Maira bertanya dengan wajah penuh kebingungan.
"Rasulullah shalallahu alaihi wassallam telah bersabda, bahwa beliau menyerukan agar bersegeralah berbuat kebaikan sebelum fitnah datang." Ucap Umayyah pelan, namun ketegasan terlihat terang di raut wajahnya.
"Hanya nak Hidayat yang paham dengan kios..." Sela ibu Maira.
"Ayah dan Ibu bang Ajiz bisa kok mengelolanya..." Tukas Hidayat cepat.
"Tidak, Nak... Kami sudah tua. Kami hanya ingin menghabiskan waktu kami di desa saja..." Tolak ibunya Maira tampak sungguh-sungguh tidak ingin.
"Apa sebaiknya Hidayat dan Maira menikah saja?"
Deg.
Jantung Hidayat dan Maira berdetak bersamaan, namun dengan rasa yang berbeda.
Hidayat memaksakan senyumnya, tampak sekali ia gugup dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh ibunya sendiri.
Maira menatap Hidayat lekat, memastikan wajah itu menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan harapannya. Baru kali ini mata Maira berbinar setelah tiga bulan ini redup dan sayu.
"Maira mau menjadi menantu ibu? Ayah Maira tidak keberatan bukan, jika kami menjadi besan kalian lagi?" Desak Bu Zainab sambil tersenyum meski air matanya tak henti mengalir.
Belum ada yang menjawab, beliau mulai murung kembali dan hampir kecewa.
"Pasti ibu dan ayah nak Ajiz ingin mencari besan yang lebih baik dari kami..." Keluh bu Zainab dengan kesedihan.
"Jika kami telah menemukan yang terbaik, lalu apa lagi alasan kami untuk mencoba yang lain? Memiliki besan seperti pak Umayyah dan Bu Zainab adalah anugerah dari Allah yang kami peroleh... Buktinya Ajiz, ia begitu bahagia, dan bahkan rezekinya semakin lancar semenjak menjadi bagian dari keluarga pak Umayyah..." Tutur ayah Maira mematahkan kekecewaan di hati bu Zainab.
"Jadi?"
"Saya sangat senang jika nak Hidayat yang menjadi suami putri kami... Saya yakin, nak Hidayat pasti akan membahagiakan Maira..." Sahut ayah Maira sambil mengangguk.
"Alhamdulillah... Bagaimana, Maira? Kamu mau menjadi menantu Ibu?"
Hidayat tampak gelagapan. Ia meremas jemarinya sendiri, lalu perlahan menoleh kepada Maira yang berada di hadapannya. Entah apa yang ia harapkan dari jawaban gadis itu.
Air mata Maira mengalir, namun dengan segera ia mengusapnya sambil tersenyum. Ia mengangguk cepat menyahuti permintaan bu Zainab.
"Yat?" Bu Zainab menghadap kearah putranya. Namun ekspresinya berubah seketika saat mendapati wajah tak senang dari putranya itu. "Kamu mau berjanji kepada ibu, kan?"
Tak ada jawaban. Bu Zainab segera meraih tangan Hidayat, lalu meremasnya seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin ditolak.
"Hidayat mau, tapi Hidayat tidak bisa berjanji untuk bisa membahagiakan Maira..." Jawab Hidayat terdengar ketus. Ia melirik Maira dengan tatapan tajam.
"Maksud kamu apa, Nak? Kamu keberatan dengan perjodohan ini?" Ayah Maira menatap Hidayat dengan bingung.
"Kami berdua belum cukup dewasa, Yah... Bagaimana mungkin kami akan menghadapi ibadah terpanjang ini jika kami belum memahami rukun dan syaratnya? Hidayat hanya takut mengecewakan semuanya, termasuk membuat Maira tersakiti..." Ujar Hidayat memberi alasan bahwa ia sangat keberatan.
Wajah Maira berubah kecut. Ia mulai menyadari bahwa Hidayat sama sekali tidak senang dengan perjodohan ini, terutama tidak menginginkan dirinya.
"Hidayat hanya belum siap, Maira... Kamu tidak perlu khawatir. Setelah Mus menikah, Hidayat akan menikahi kamu, Nak... Tolong ibu dan dan ayah nak Ajiz jangan salah paham..." Ucap bu Zainab memohon, lalu ia melirik kepada suaminya.
Umayyah hanya mengangguk. "Hidayat pasti sangat merasa kehilangan. Ia yang lebih dekat dengan Zara dan nak Ajiz..."
Hidayat menghela nafas panjang. Ia terlihat kecewa dengan kedua orang tuanya yang sama sekali tidak memihak terhadap perasaannya.
"Hidayat lelah... Hidayat akan istirahat terlebih dahulu." Ucap Hidayat seraya bangkit dan kemudian meninggalkan tempat duduknya.
Bu Zainab mengerti. Ia melihat ketidaknyamanan Hidayat ketika diminta untuk menikah dengan Maira. Namun yang tidak ia mengerti, mengapa putra bungsunya itu menolak? Selama ini ia mengenal Hidayat persis seperti Zahrana, selalu menurut meski wataknya begitu keras.
"Benar sekali, Hidayat hanya lelah. Dan ia juga sangat sedih dibanding kita semua..." Ucap bu Zainab sambil memaksakan senyumnya, berusaha menghapus kebingungan dalam pikiran Maira dan kedua orangtuanya.
"Kita juga perlu tidur, Pak Umayyah... Tidak baik kita berlarut-larut dalam kesedihan ini... Apalagi saya sangat yakin sekali bahwa putra kami telah berbahagia di alam sana. Ia pasti akan berkumpul dengan nak Zahra di surga..." Ucap ayah Maira. Beliau juga terlihat seperti mengelak dari suasana yang saat ini mereka hadapi. Begitu canggung dan kaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Yuli maelany
kenapa gak d beri waktu dulu Hidayat untuk memikirkan nya, apalagi siapa tau Hidayat malah telah memiliki pasangan yang dia cintai....
2023-02-03
2
yelmi
yg sabar maira... sekarang cinta mu masih bertepuk sebelah tangan kalau hidayat memang jodohmu insya Allah di lancarkan
semangat nulis & sehat selalu tor👍❤️
2022-11-21
1
Cah Dangsambuh
hidayat masih bingung karna belum siap tapi dia juga ga mau ngecewain orang tua,,,semangat kak
2022-11-21
2