Maira pagi-pagi sudah keluar dari rumah untuk berangkat kuliah. Seperti ucapan Hidayat sebelumnya, 'tidak perlu meminta izin apa pun kepadaku', sehingga Maira bebas keluar masuk rumah tanpa harus memberitahu terlebih dahulu kepada suaminya itu.
Sepeninggal Maira, Hidayat juga keluar dari kamarnya, begitulah kehidupan yang mereka jalani. Pagi kali ini Hidayat merasakan lapar yang melilit. Semalam karena mengerjakan tugas kuliah, ia sampai kelupaan makan. Sebelum berangkat ke kios, ia singgah dulu di dapur. Ruangan yang telah asing baginya beberapa hari terakhir semenjak ia menikah.
Indra penciumannya tiba-tiba terangsang ketika menciumi aroma sedap di meja makan. Ia membuka tudung saji bewarna hijau kesukaan almarhum kakaknya, dan ia melihat sup ayam di dalam kotak rantang beserta sekotak nasi putih yang ditaburi bawang goreng.
Tanpa pikir panjang, Hidayat langsung menyantap makanan itu. Memang perutnya pun juga tidak sanggup lagi untuk berkompromi saat ini.
Hidayat makan dengan sangat lahap hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa di atas meja makan.
"Alhamdulillah... Rindu banget masakan seperti ini..." Ucapnya sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.
Ketika ia hendak keluar dari ruang makan, betapa terkejutnya ia mendapati Maira telah berdiri di hadapannya. "Ka-kamu belum berangkat?"
"Tadinya sudah nungguin bus di halte depan, tapi ingat bekal Maira ketinggalan, jadinya Maira balik lagi..."
"Be-bekal?" Hidayat terperangah. Betapa malunya ia mengingat makanan di dalam tudung saji itu telah habis ia santap barusan.
"Itu bekalmu? Kenapa sampai kelupaan? Aku pikir akan mubasir jika tidak ada yang memakannya, makanya tadi aku habiskan... Banyak lagi..." Omel Hidayat berusaha menahan malu.
"Jadi, Abang memakannya?"
"Kenapa? Kamu marah?"
"Tidak kok... Maira senang Abang mau memakan masakan Maira... Habis semua?" Maira tersenyum, iap tidak mampu menyembunyikan rasa bahagianya.
"Ya, walaupun banyak, setidaknya makanan itu tidak akan mubasir... Makanya aku habiskan..." Jawab Hidayat terdengar ketus.
"Maira punya teman perempuan baru di kampus, makanya Maira lebihkan bawa bekal untuknya..."
"Terserah kamu... Laki-laki pun juga tidak masalah, biar kamu bisa lebih cepat menyerah..." Ucap Hidayat seraya pergi meninggalkan Maira yang dibuat sedih oleh kata-katanya.
Maira berjalan menuju meja makan. Ia tersenyum melihat kotak rantang yang tadinya berisi penuh, namun sekarang kosong tak bersisa. Tapi di lain sisi hatinya, ia begitu terluka mendengar ucapan Hidayat.
"Apa iya, ada orang yang bisa berubah total seperti itu? Kenapa sekarang setiap kali yang keluar dari mulutnya kepadaku, hanya bagai belati yang mengoyak sampai ke jantung?" Maira tersedu. Pagi-pagi ia sudah dibuat gemetar oleh suaminya sendiri.
Ia paksakan juga berjalan ke halte meskipun tungkainya serasa layu. Disana ia duduk menunggu bus berikutnya, karena bus biasa pastinya telah lewat.
"Maira...!" Seorang lelaki dengan mengenakan oblong putih dan memakai topi coklat yang senada dengan celana serta sepatunya mendekat kearahnya.
"Bang Arya?" Maira tersenyum senang. Ia berdiri menyambut kedatangan lelaki itu. Rasa sedihnya tadi seketika lenyap untuk sementara.
"Maira ngapain disini?"
"Nungguin bus..."
"Memangnya Maira mau kemana?"
"Maira mau ke kampus, Bang..."
"Maira kuliah disini sekarang?"
"Iya, Bang... Baru tiga hari ini mulai... Bang Arya sendiri mau kemana?"
"Abang baru saja balik syuting, kebetulan lewat sini. Maira mau ikut sekalian?"
"Emmm, terima kasih, Bang... Maira naik bus saja..." Tolak Maira dengan sungkan.
"Iya, Abang paham... Memangnya Hidayat nggak nganterin Maira?"
"Emmm..." Maira berubah kikuk. Ia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Arya. "Biasanya dianterin kok, Bang... Tapi, hari ini ada pelanggan yang datang dari jauh, makanya Maira naik bus..."
"Owh begitu..." Arya mangut-mangut.
"Nah, itu busnya datang... Maira duluan ya, Bang... Assalamualaikum..." Pamit Maira seraya berdiri dan melangkah menuju pemberhentian bus.
"Wa'alaikum salam, hati-hati, May..."
***
Arya merasa sudah lama tidak berkunjung ke kios. Terakhir kali ia ke sana, kios sangat ramai sehingga ia tidak jadi masuk dan mengobrol dengan Hidayat. Pagi ini walau Maira telah mengatakan bahwa Hidayat ada pelanggan, tetap saja ia ingin berkunjung.
Sesampai di sana, Arya melihat kios baru saja dibuka. Memang sudah ada pelanggan yang mengantri, namun tidak terlalu ramai. Ia memasang maskernya lalu turun dari mobilnya segera.
"Bang Arya...!" Seru Hidayat sembari melambaikan tangan kearahnya.
Arya membalas lambaian tangan Hidayat, lalu berjalan menuju kios. "Hey, pengantin baru, gimana kabarnya nih?"
"Ah, Bang Arya bisa saja..." Hidayat menyunggingkan senyum malas. "Ayo, masuk dulu, Bang..."
"Modal nekat Abang datang kemari, Yat... Kata Maira, kamu ada kedatangan pelanggan penting hari ini..." Ujar Arya sambil mengekori Hidayat ke dalam kios.
"Maira?" Hidayat menoleh kepada Arya, menatap pemuda gagah itu dengan raut wajah yang kebingungan.
"Iya, kebetulan Abang tadi lewat di halte depan rumah kalian... Hmmm, rumah kalian ya, sekarang..."
Hidayat ikut tersenyum kikuk mendengar ucapan Arya yang menekankan kata rumah kalian sekarang. Ia mendadak aneh jika mengingat riwayat semua yang saat ini ia miliki dan ia nikmati.
Namun, hati kecilnya terus menolak kebenaran, dan berkata bahwa semua bukan keinginan dirinya.
"Abang kok bisa lewat sana?" Tanyanya mencoba mengalihkan perasaannya.
"Kebetulan lokasi syuting Abang di Kemang, jadi Abang pulangnya kan lewat depan komplek perumahan kalian, Yat..."
"Owh..." Hidayat mangut-mangut.
"Gimana pelanggannya? Kok kamu terlihat santai saja pagi ini, Yat? Apa jangan-jangan karena kedatangan Abang kesini, ya?"
"Eh? Tidak kok, Bang..." Hidayat gugup. Ia berpikir sejenak. "Iya, tadi pelanggan kios memang datang, tapi untungnya cuma nyerahin surat cinta saja. Lumayan, bikin kami gerak tiada henti sampai jam istirahat nanti, Bang..."
"Banyak tuh, Yat?"
"Lima nota, Bang..." Jawab Hidayat sambil mengacungkan kelima jarinya.
"Berarti kedatangan Abang sekarang memang tidak tepat, ya, Yat?"
"Biasa saja kok, Bang... Yang terpenting itu bertemu pelanggannya, Bang... Siapin barangnya urusan belakangan, toh ekspedisi kesana nanti sore juga jalannya, Bang..."
"Beneran, Yat...? Abang bosan di apartemen, mau main disini dulu boleh, kan?"
"Boleh, Bang... Abang sudah sarapan?"
"Belum..."
"Ki, tolong minta sarapan ke kantin kak Oda, ya... Buat Abang tidak usah, diganti buat bang Arya saja..." Seru Hidayat kepada karyawan kesayangan almarhum Abang iparnya itu.
"Oke, Bang..." Rizki segera keluar dari kios setelah diperintah oleh induk semangnya.
"Kamu sudah sarapan memangnya, Yat?" Arya menatapnya dengan senyum yang menggoda.
"Sudah, Bang... Tadi dimasakin Maira sup ayam pakai nasi..." Jawabnya santai.
"Ah, Abang lupa kamu sudah punya istri sekarang..." Kelakar Arya sambil tersenyum-senyum. "Gimana, Yat? Indah, bukan?"
"Sudah, Bang, jangan bahas... Nanti Abang malah tidak sabaran cari pasangan..." Elak Hidayat berusaha menyembunyikan kehidupannya bersama Maira yang tidak seindah orang-orang bayangkan.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
mrs.andriIndra
istri soleha,menutupi sikap buruk suaminya menjaga kehormatannya....wlw si suami lbh suka jln sama yg haram😬
2023-07-21
1
Yuli maelany
kamu mah entar pas maira ada yang deketin kamu ngerasa kesel dan marah gak terima.....
2023-02-03
2
Asri
hidayat butuh dirukyah kayaknya. hihihihi 🤭
2022-11-24
2