Sudah hampir jam sepuluh malam, namun Hidayat belum kunjung pulang. Biasanya Maira tidak pernah menunggu seperti ini, tapi untuk kali ini ia terlihat cemas sambil berkali-kali memerhatikan jam dinding.
Ingin rasanya ia menelepon, namun tetap saja pada akhirnya ia urungkan. Sikap Hidayat juga tidak pernah santun kepadanya semenjak mereka menikah, lalu apa mungkin telpon darinya akan diangkat? Tak lama, suara mobil terdengar berhenti tepat di depan rumah. Hati Maira semakin gelisah, ia cepat-cepat berlari ke pintu dan mengintip lewat jendela kaca.
"Ya Allah, ibu sudah datang lagi..." Gumamnya kecemasan.
Maira mencoba menenangkan diri terlebih dahulu sebelum ia membuka pintu. Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. Jantungnya berdegup kencang, dan ia tetap harus terlihat kegirangan di depan ibu dan ibu mertuanya.
Maira membuka pintu lebar-lebar, selebar senyuman yang ia paksakan. "Ibu!"
Ia berlari ke halaman rumah yan terang bulan, lalu menyalami sambil memeluk kedua ibunya itu dengan manja. "Maira kangen, Ibu..."
"Hidayat mana, Nak? Kok sendirian keluar?" Ibunya Maira bertanya sambil celingukan ke pintu rumah yang terbuka lebar.
"Bang Hidayat belum pulang, Bu... Paling sebentar lagi..." Jawab Maira berusaha tidak gugup.
"Memangnya suamimu kemana? Kok istrinya malah ditinggal malam-malam?" Omel Bu Zainab.
"Bang Hidayat nggak tau Ibu datang hari ini, taunya besok... Makanya bang Hidayat nggak langsung pulang habis kuliah, soalnya tugas kuliah bang Hidayat numpuk katanya, Bu..." Jelas Maira beralasan.
"Lah, terus siapa yang bantuin Fajar buat nurunin motor?" Tanya bu Zainab terlihat khawatir.
"Sendiri bisa kok, Bu... Tinggal turunkan saja, beda kalo naikin tadi..." Fajar, supir travel itu menyahut sambil bersusah payah menurunkan motor matic milik almarhum Ajiz yang diminta Maira beberapa hari lalu kepada ibu mertuanya.
"Benar bisa, Jar... Kalau nggak, biar kami bertiga yang bantu..." Sela ibunya Maira.
"Bisa kok, Bu... Ibu sedikit menjauh saja, takut motornya oleng..."
Mereka bertiga hanya bisa menuruti ucapan Fajar sambil menatap dengan cemas-cemas.
"Alhamdulillah..." Ucap mereka bersamaan ketika motor itu telah berhasil diturunkan dari mobil.
"Ayo, Bu, kita masuk sekarang... Dingin di luar..." Ajak Maira sambil menjinjing barang bawaan ibu dan ibu mertuanya, lalu kembali untuk memasukkan motor itu ke dalam rumah.
"Nak Fajar mampir dulu, ya..." Tawar ibunya Maira berbasa-basi.
"Tidak usah, Bu, Terima kasih... Saya nginep di mes saja malam ini... Besok udah harus jemput sewa pula..." Tolak Fajar.
"Owh begitu... Terima kasih, ya, Jar... Jangan bosan nganterin ibu kemana-mana..."
"Ah, seharusnya saya yang ngomong begitu, Bu... Senang bisa jadi langganan Ibu..." Balas Fajar. "Kalau begitu saya pamit, Bu... Sudah malam. Bu Zainab dan ibunya Ajiz juga harus istirahat..."
"Iya, hati-hati..." Sahut Bu Zainab.
"Assalamualaikum..."
"Wa'alaikum salam..." Sahut Maira bersamaan dengan ibu dan ibu mertuanya.
Di dalam rumah, Maira mulai memikirkan bagaimana caranya ia membuat ibu dan ibu mertuanya tidak merasa curiga dengan kehidupannya bersama Hidayat.
"Ibu mau makan?"
"Kan Ibu sudah telpon Maira kalau Ibu mau makan di jalan saja. Maira nggak masak banyak, kan?" Ujar Bu Zainab.
"Nggak sih, Bu... Mana tau Ibu lapar lagi, Maira tinggal masak sebentar..."
"Tidak, Nak... Kami sudah sangat kenyang. Tadi nak Fajar berhenti di rumah makan yang enak, bukan tempat yang biasa itu..." Timpal ibunya Maira.
"Kalau gitu, Ibu langsung istirahat, ya? Ibu-ibunya Maira pasti pada lelah sekali... Kita tidur di kamar kak Zahra saja bareng-bareng..."
"Kamar Zahra? Memangnya kalian nggak tidur disana?" Tanya Bu Zainab keheranan.
"Eh? Hmmm... Maira tidur disitu kok, Bu..." Jawab Maira mulai kikuk.
"Berarti sekarang jadi kamar kamu dan Hidayat dong..." Ucap Bu Zainab sambil merangkul bahu Maira.
"Eh... he... I-iya, Bu... Maksud Maira begitu..." Jawab Maira dengan gugup.
"Kami tidur di kamar tamu saja... Masa pengantin baru tidurnya ditemani?" Kelakar ibunya Maira.
"Sesekali, Bu... Maira kan kangen..." Bujuk Maira bermanja-manja.
***
Hidayat melirik ponselnya. Sudah pukul sepuluh malam, namun ia belum berminat meninggalkan taman. Lengannya masih diapit dengan erat oleh gadis cantik yang ia cintai.
Hah, cinta? Ya, definisi pemikirannya sendiri terhadap perasaannya kepada Kirana Adila. Lalu, benci kah ia pada Maira? Entahlah. Ia sendiri tidak dapat menjawabnya. Tidak ada yang buruk pada Maira, semuanya sempurna. Tapi, ia hanya punya satu jawaban, yaitu hatinya telah terlebih dahulu berlabuh pada Kirana.
"Rasanya tidak ingin pulang, tapi kamu juga harus bekerja besok..." Oceh Kirana manja.
"Kalau begitu, kita pulang saja, ya? Kamu juga harus syuting, kan?" Bujuk Hidayat terdengar begitu lembut.
Bagaimana mungkin Kirana tidak merasa nyaman? Sementara Hidayat memperlakukan dirinya begitu istimewa.
"Aku bukan selingkuhan kamu, kan? Aku tidak ingin ada pemberitaan miring di media, jika suatu hari nanti hubungan kita tiba-tiba terbongkar..." Ucap Kirana tak mengindahkan bujukan Hidayat.
"Di saat kita berdua, bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak membahas ini?"
"Tapi..."
"Aku tahu, kamu merasa tidak tenang, juga tidak nyaman... Hidup ini adalah pilihan, Kiran... Dia memilih untuk menerima aku menjadi suaminya, meski dia tahu aku tidak mencintai dirinya. Sementara, aku memilih menikahinya demi ibuku, dan kamu memilih untuk bertahan di sisiku tanpa memperdulikan statusku... Aku berterima kasih untuk itu, karena kamu masih mempercayaiku..." Tutur Hidayat.
"Tapi, sampai kapan kita begini?" Protes Kirana sendu.
"Sampai dia menyerah... Untuk aku mungkin agak sulit... Ini, demi ibuku... Jika dia yang menyerah, aku rasa ibuku akan maklum..." Jawab Hidayat dengan sangat yakin.
"Baiklah..." Sahut Kirana lesu. Ia menyenderkan kepalanya ke bahu Hidayat.
"Jangan sedih... Ayo kita pulang..." Ajak Hidayat berusaha membuat Kirana tersenyum.
Kirana menurut. Tiga kali dalam seminggu Hidayat bertemu Kirana diam-diam. Dimulai dari gadis itu menunggu di gerbang kampusnya, lalu berakhir ketika ia mengantarkan Kirana ke apartemennya.
"Aku butuh uang buat biaya pengobatan ayahku, kemarin sudah aku transfer semua ke rumah sakit..." Keluh Kirana sambil bersandar ke pundak Hidayat ketika mereka berada dalam perjalanan ke apartemen.
"Kamu butuh uang berapa?" Tanya Hidayat terdengar prihatin.
"Dua belas juta..."
"Aku ada... Besok aku transfer, ya..." Ucap Hidayat menenangkan.
"Tapi..."
"Tidak apa-apa, Kiran... Aku tahu, seperti aku demi ibuku, begitu pula kamu demi ayahmu..."
"Kenapa kamu begitu baik? Aku jadi takut jika harus melepas kamu nantinya..."
Hidayat mengambil tangan Kirana yang bertengger di pahanya, lalu ia lingkarkan ke pinggangnya. "Memangnya kamu ada niat untuk melepaskan aku? Bukankah kamu tidak akan kemana-mana?"
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
suharwati jeni
kayaknya kirana mau morotin hidayat
2024-12-27
1
mrs.andriIndra
sampai sini sih jijik ya sama kelakuan hidayat yg blm dpt hidayah😜😒
2023-07-21
1
abdan syakura
waahhh males nunggu bucinnya Hidayat...
mauny nampakkan sifat asli Kirana
hahhhh sabar.. sabar..
husnudzhon......
2023-05-23
1