Sesampai di rumah, Hidayat dibuat kaget akan kedatangan ibu dan ibu mertuanya yang begitu tiba-tiba. Kedua wanita paruh baya itu telah berada di dalam rumah. Bu Zainab menatap kepulangannya dengan penuh kemarahan.
"I-ibu..." Walau ia berharap Maira akan mengadu, tetap saja ia dihantui rasa bersalah.
"Darimana saja kamu jam segini baru pulang?" Omel Bu Zainab.
"Ibu, sudah... Ini kali pertama kok bang Hidayat pulang larut malam. Biasanya nggak pernah, Bu..." Ujar Maira berusaha menahan kemarahan Bu Zainab.
"Jangan belain suamimu, Maira... Walaupun sekali, ibu takutnya jadi kebiasaan..." Ucap Bu Zainab pada Maira.
"I-ibu kok sudah sampai? Bukannya Ibu berangkat besok pagi dari kampung?" Tanya Hidayat mencoba mengalihkan kemarahan ibunya.
"Beruntung Ibu memajukan jadwal keberangkatan Ibu kemari, jadinya Ibu tahu kelakuan kamu..." Ketus Bu Zainab.
"Maafkan Hidayat, Bu..." Ucap Hidayat mengalah. Ia mendekati ibunya, lalu menyalami sambil memeluk ibunya itu.
"Meski almarhumah kakakmu tidak pernah cerita apa-apa tentang rumah tangganya kepada Ibu dan ayahmu, tapi ibu begitu yakin ia diperlakukan sangat baik oleh almarhum nak Ajiz..."
Hidayat mengangguk dalam pelukan ibunya. Ia juga percaya hal itu, karena ia sendiri ikut menjadi saksi cinta mereka.
Bu Zainab mengeluarkan Hidayat dari dekapannya, lalu meraih tangan Maira dan dipersatukannya dengan tangan Hidayat. "Maka dari itu, Nak, tolong jaga Maira sebaik-baik mungkin seperti almarhum Abangnya menjaga almarhumah kakakmu selama hidupnya..."
Hidayat dan Maira saling beradu pandang, dan entah mengapa Hidayat tidak bisa berbohong bahwa jantungnya berdegup kencang ketika melihat mata Maira yang begitu indah dan menyejukkan.
"Kenapa begitu berlebihan, Bu Zainab?" Tanya ibunya Maira mencairkan suasana.
"Pernikahan mereka memang masih dini, Besan... Saya yang memaksakan hubungan mereka, tapi saya yakin mereka jodoh dunia akhirat... Saya hanya cemas jika Hidayat melakukan kesalahan, lalu menyakiti perasaan Maira terlalu dalam..." Ungkap Bu Zainab.
"Ibu... Kedatangan kedua ibu Maira untuk senang-senang, bukan untuk sedih-sedih... Ibu tidak usah khawatir, bang Hidayat menjaga Maira begitu baik disini..." Ucap Maira sambil mengusap punggung Bu Zainab.
"Tuh kan, Bu Zainab dengar sendiri ucapan Maira? Saya sangat percaya sekali pada nak Hidayat, bahwa putra bungsu Ibu ini akan menjaga putri kami, dan satu-satunya untuk kami..." Timpal ibunya Maira mendinginkan suasana dan perasaan Bu Zainab.
Hidayat memaksakan senyumnya, lalu bergantian menyalami ibu mertuanya. "Maafkan Hidayat, Bu... Harusnya Hidayat ada di rumah pada saat kedatangan Ibu..."
Tanpa siapapun menyadari, Maira berkali-kali mengedipkan matanya yang terasa perih. Ia yang menginginkan sandiwara ini berjalan, namun tetap saja ia merasakan sedih yang tak tertahankan.
"Sudah-sudah, sekarang kita istirahat... Lihatlah jam di dinding, sebentar lagi berdentang menandakan tengah malam... Apa kita akan tetap larut dalam suasana seperti ini? Jangan sampai subuh kita kesiangan..." Ucap Ibunya Maira sambil tersenyum mencairkan suasana yang masih bergeming dalam ketegangan.
"Bang, Maira pinjam kunci kamar tamu, ya... Ibu kekeh mau tidur disitu, padahal Maira sudah bujuk ibu buat tidur di kamar kita sekarang, dan biar kita saja yang tidur disana..." Pinta Maira dengan lembut dibarengi tatapan permohonan.
"Hah?" Hidayat tercengang. Tatapan Maira mengalahkan egonya. "Abang bantu bersin kamarnya, ya?"
Hidayat terpaksa mengikuti sandiwara yang telah terlanjur dimainkan Maira.
***
Ini pertama kali bagi Hidayat memasuki kamar almarhum kakak dan kakak iparnya. Ia agak kikuk. Walau setelah Zahrana meninggal, ia tidak pernah mau diajak Ajiz untuk menginap di kamar utama.
Hidayat merasakan tubuhnya begitu lelah. Serasa menggigil semenjak ia mulai melangkah memasuki kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati oleh istrinya itu.
Perlahan Hidayat duduk di tepi tempat tidur, sementara pandangan matanya sibuk berkeliling mengitari setiap sudut kamar yang lumayan besar dan bersih.
Bayangan almarhum kakak dan kakak iparnya serasa menari di pelupuk matanya, membuat ia terlena untuk sesaat.
"Maira tahu, ini pertama kalinya bagi Abang memasuki kamar ini..." Ungkapnya kepada Maira yang sibuk menyibakkan bantal di sofa depan tempat tidur yang ia duduki.
Maira terpana. Ia terpukau mendengar ucapan Hidayat yang begitu sopan dan berbeda dari sebelumnya semenjak mereka menikah. Ini pertama kalinya, dan yang sangat ditunggu-tunggu olehnya.
"Kamu mau membaca novel terakhir kak Zahra? Di kamar inilah bermula kisah cinta mereka, dan karena itulah Abang enggan untuk masuk ke kamar ini..." Jelasnya semakin memperpanjang percakapannya dengan Maira.
Maira masih tidak menyahut, ia terus menikmati hal yang membuat hatinya berdebar karena mendengar suara Hidayat yang begitu lembut terhadapnya.
Hidayat yang menyadari Maira tak merespon ucapannya, segera menoleh ke posisi Maira yang berdiri dengan tenang di balik sofa.
Hidayat menghela nafas panjang ketika melihat diamnya Maira sambil menatap dirinya begitu lekat. "Maaf..."
"Heh?" Seketika Maira tersentak melihat tatapan Hidayat yang beralih kepadanya.
"Maaf, tidak seharusnya Abang bersikap begitu kepada Maira... Abang sadar, kita hanya korban keadaan..." Ucap Hidayat memperjelas kata maafnya.
Maira tersenyum, lalu memalingkan wajahnya. "Maira tidak pernah merasa jadi korban di situasi ini, Bang... maaf..."
"Apa yang Maira lihat dari Abang?" Tanya Hidayat, pertanyaan yang seharusnya dari awal ia pertanyakan dengan lembut, dan dari hati ke hati.
"Apa cinta mengenal rupa? Apa cinta mengenal tahta? Apa cinta mengenal pribadi seseorang terlebih dahulu? Jika ia, maka tidak akan ada cinta dalam diri manusia..." Ucap Maira membuat Hidayat tertegun.
"Tapi..."
"Setidaknya, cinta tahu tempat ia bermuara ketika mengarungi samudra..." Potong Maira cepat. "Bagi Maira, kapal tidak mencari tempatnya berlabuh untuk sekedar singgah, namun berlayar tanpa memikirkan lelah dihantam ombak dan ganasnya badai lautan luas... Jika kapal tidak kokoh, maka percayalah, ia takkan selamat..."
"Dalam Alquran surat Ar-rum saja telah Allah beritahu, bahwa rasa kasih dan sayang itu Ia-lah yang telah menjadikannya di antara kita manusia. Maira hanya berusaha menunggu dengan sabar tentang firman Allah dalam surat Al-Mumtahanah, mudah-mudahan Ia akan menimbulkan kasih sayang di hati Abang untuk Maira yang Abang musuhi..." Tambah Maira lagi dengan berani.
"Abang tidak memusuhi Maira, dan tidak ada niatan untuk itu..." Bantah Hidayat sambil berjalan mendekati posisi Maira.
Lagi-lagi Maira tersenyum. Senyum getir yang tidak memercayai ucapan suaminya itu. Ia mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa, lalu menarik selimut ke dadanya. "Tidurlah, bukankah besok Abang harus mengambil tiket untuk keberangkatan keluar kota?"
"Hah?" Hidayat tersentak, lalu berbalik ke tempat tidur. Malam ini hatinya begitu lega. Ia berusaha memejamkan matanya, namun pikirannya tetap saja tertuju pada perkataan Maira tadi. Tidak ada yang salah dari gadis itu.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Yuli maelany
kamu orang baik Yat,hanya saja ego mu terlalu kuat dan salahnya kamu yang memiliki pasangan yang salah sebelumnya, apalagi belum ada orang yang bisa mengerti bagaimana caranya memberi tau kamu semua kesalahan juga kekeliruan mu ...
2023-02-04
2
yelmi
jangan tunggu rasa lelah dan menyerah hadir di hati maira nanti hidayat dan di saat itu juga kamu menyadari hadirnya dia di kehidupan mu semua sudah tidak bisa digapai dan di perbaiki lagi... sadarilah kekhilafan ini segera sebelum terlambat
2022-11-24
1
Ratna Dadank
nape lu hidayat.kaget liat maira yg super sabar...
bucin lu nanti..
ya kan thor
2022-11-24
1