Baru kemarin Satrio dan kedua orang tuanya kembali ke Purwokerto. Rumah besar itu kembali sunyi. Tidak setiap hari Bude Ayu berangkat dengan Asti ke pasar. Padahal Bulek Ratih agak repot memboncengkan Bude Ayu pulang - pergi ke pasar.
Meskipun Lek No membutuhkan kendaraan roda duanya itu untuk memantau ke sawah yang letaknya paling jauh yaitu di ujung desa mereka . Dia mengalah untuk kepentingan Bude Ayu.
" De, kalo masuk angin atau masih capek . Istirahat aja dulu di rumah! Kasihan Bulek Ratih bawa motor tua di jalanan yang jelek..."
Bude Ayu memijat pundaknya yang terasa kaku." Maklum sudah tua Budemu ini. Habis jalan- jalan kok, badan malah sakit semua, ya? "
" Mau dipanggil Mbah Muji , apa?"
Tawar Asti.
Hampir sebulan ini Mbah tua yang tinggal di dekat hutan bambu itu datang untuk memijit orang di rumah ini untuk yang ketiga kalinya.
" Gampang itu, besok siang aja. Biar Si No yang panggil."
Asti mendekati Budenya yang masih duduk di bangku besar di ruang tengah. "Kenapa Bude nggak ikut program Pak Haji Anwar untuk umroh tahun ini, De?"
" Maunya aku sama-sama satu keluarga, Asti. Eh, uang Lek No malah terpakai buat bayarin sekolah baru Ninuk sekaligus tempat kostnya."
" Apa tahun depan aja kita barengannya? Siapa tahu, Lek No dapat orang yang akan borong panen kelapa kita lagi ?"
Tampaknya wajah Bude Ayu masih kurang meyakinkan. Dia berpikir agak lama. " Aku takut nggak cukup umur, Asti ..."
" Bude!" Protes Asti keras." Jangan ngomong gitu, ah!"
" Itulah Asti , yang Bude bingung. Takut nggak bisa selalu mendampingi kamu sampai menikah. Kamu itu mau pilih yang kayak apa sih, untuk calon suamimu?"
" Memang aku bisa milih ? Semua orang takut deketin aku. Takut kena kutukan itu, De! "jawab Asti masygul.
"Kamu itu cantik, Sholehah, mandiri tahu toto kromo orang Jawa. Kalau Si Kusno sama Satrio nggak mau sama kamu. Yah, lelaki itu yang rugi!"
" Aduh, Bude ngomong apa, sih?"
Suara Asti jadi terbata- bata, antara tak percaya dan malu.
" Ayok, Kamu mau pilih siapa? Kalau Kusno katanya masih berusaha menyakinkan orang tuanya karena dia harus pindah ke agama kita. Tapi kalau Satrio, orang tua sudah pada setuju, nih! "
Wanita itu terus mengelus tangan keponakannya itu. Air mata Asti menetes perlahan. Demi Allah! Asti sangat takut ditinggalkan oleh Budenya, kalau umur wanita itu tidak panjang. Dia pasti sendirian. Tidak ada lagi sanak saudara yang tercatat sebagai anggota keluarga Winangun.
" Aku terserah Bude aja, mana yang terbaik!"
"Ya udah, nanti aku ngomong sama bapaknya Satrio, ya? Waduh Bude senang, banget... Tali persaudaraan keluarga Pakde Sanjaya dan Mbah Putrimu kembali menyatu. Allahu Akbar! "
Bude Ayu menangis tergugu dalam pelukan Asti. Asti hanya memasrahkan semua keputusan ini karena takdir Allah lewat perantara kakak almarhum ayahnya, yang selalu menjaganya dari dia kecil hingga dewasa.
Lek No dan Bulek Ratih jadi heboh ketika besok sorenya dipanggil dan diajak rembukan. Apalagi kerabat dari Mbah Sanjaya datang di hari Minggu. Sampai Asti jadi menutup tokonya. Dari semua hal yang paling gembira dan bahagia adalah Bude Ayu. Wanita itu terus senyum saat para sesepuh mulai mengatur berbagai rencana.
Hampir 2 Minggu lebih setelahnya, Satrio datang dengan kedua orang tua dan beberapa kerabat . Dia juga datang dengan membawa rombongan dari keluarga besar Mbah Putri Sri Sumiarsih yang berasal dari Boyolali.
Ternyata pria itu melamar Asti secara resmi dalam acara pertunangan yang sederhana.
Kembali para sesepuh dan tetangga Asti yang dianggap dituakan dan dihormati dilibatkan dalam acara itu. Satrio tidak hanya memberi cincin pertunangan. Pria itu juga membawa seperangkat perhiasan emas yang dibelinya di kota Semarang .
Lucunya, pria muda itu menjadi lebih kalem karena berada di antara orang- orang tua yang akan terus rembukan untuk menentukan hari baik pernikahan mereka.
Pak Wiryo Danang yang masih bersaudara jauh dari ayah Asti dengan cermat menghitung weton atau hari lahir kedua pasangan itu. Setelah berdiskusi agak lama.
Akhirnya, ditentukan hari pernikahan mereka antara dua atau tiga bulan mendatang. Hanya saja yang mengejutkan ternyata Satrio mendapatkan tugas baru justru ditempatkan pada polres di ibukota kabupaten di daerah ini.
Berita tentang pernikahan Asti sampai juga didengar oleh orang- orang yang berdagang di pasar. Sebagian yang mengenal gadis itu mendoakan agar rencananya itu lancar sampai hari pernikahan mereka. Justru ada satu orang yang sangat kecewa mendengar hal itu yaitu, Mas Kusno.
Wajah pria itu semakin mendung. Bukan hanya ibu- ibu pembeli di toko emasnya yang berasal dari desa Asti yang heboh membicarakan keberuntungan gadis itu mendapat suami berseragam polisi. Malah dua penjaga wanita di Toko Emas Gemilang yang juga sibuk bergosip. Sebab tidak ada angin tidak ada hujan, tiba- tiba saja ada berita pernikahan Asti.
Bagi para remaja putri atau gadis muda yang mengikuti pergaulan anak muda zaman sekarang, hidup Asti itu menurutnya sangat monoton. Mereka tidak pernah melihat Asti dekat dengan pemuda siapa pun. Tidak terdengar berpacaran malah langsung menikah saja!
Asti mulai dengan kegiatan hariannya kembali tanpa terganggu dengan ucapan orang- orang yang ditemuinya. Sudah lama dia bersikap seperti itu. Mungkin sejak dia masih SMP. Orang yang bersikap baik padanya akan dia hormati. Tetapi orang yang menghina dan menjatuhkan mentalnya dia tidak anggap! Apa kita harus peduli pada orang yang sering mencari- cari kesalahan orang lain sebagai alat untuk menjatuhkan kita?
Bude Ayu, Bulek Ratih dan Lek No mulai menyiapkan berbagai kebutuhan acara pernikahan itu. Bude sudah membuka gudang dengan menyimpan berkarung- karung beras, gula putih dan tepung terigu juga bumbu dan bahan makanan yang sifatnya tahan lama.
Mau Bagaimana lagi! Biarpun tinggal di desa terpencil, kalau mengadakan acara pernikahan juga harus memberitahukan kepada orang banyak. Terutama tetangga di seluruh desa. Berarti mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi, karena ada banyak orang yang harus diberi makan atau mendapat suguhan.
Satrio kembali datang saat acara pernikahan mereka tinggal sebulan. Ternyata pria muda itu membawa kakak sulungnya yang menetap di Solo bersama keluarganya.
Rencananya mereka akan berbelanja berbagai kebutuhan untuk seserahan. Jadi Asti harus ikut karena sebagian barang itu merupakan untuk kebutuhan pribadinya sebagai calon mempelai. Dari perlengkapan sholat, make up, gaun , pakaian dalam sampai perhiasan dan aksesoris berupa tas dan sepatu
Tampaknya Ninuk dengan senang hati mendampingi kakaknya itu untuk berbelanja dengan keluarga calon suaminya. Mereka dijemput Satrio pagi- pagi sekali lalu menuju Rumah Mbak Sasya di kota tersebut.
Berkali- kali Asti harus mencubit pinggang Ninuk karena sering ketinggalan bila mengunjungi suatu tempat. Ninuk sampai kagum bin bingung saat Mbak Sasya membawa mereka ke butik khusus hijab untuk membeli sebagian keperluan Asti di sana.
Selain tempatnya yang mewah dan bagus, harganya pun mahal. Tangan Ninuk sampai gemetaran kala secara iseng dia melihat harga gaun hijab untuk perempuan muda yang dipasang di manekin. Saat dia melihat labelnya itu harganya lebih dari satu juta.
Gaun itu menurut Ninuk biasa- biasa aja modelnya! Padahal Mbak Sasya memilihkan gaun hijab yang modelnya berasal dari Turki untuk Asti.
Belum lagi saat mereka ke lantai atas yang penuh dengan koleksi tas tangan, tas pesta atau clutch. Harganya membuat mata Ninuk mendelik, sebab harga sebuah tas tangan branded itu bisa dibelikannya motor matic baru untuknya.
Selama perjalanan pulang, Ninuk terdiam di bangku belakang. Entah si ABG itu kekenyangan karena mereka makan malam di sebuah restoran besar. Atau dia shock melihat betapa berbedanya cara hidup orang kaya di kota dengan dia yang hidup di desa, yang secara sederhana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments