Suara ketukan di pintu kamar Asti terdengar berkali- kali. Malah ada suara panggilan Bude yang cukup membangunkan gadis itu dari tidurnya yang kurang nyenyak malam tadi.
" Kamu sudah sholat Subuh, Asti?"
Tanya Bude Ayu setelah Asih membuka pintu kamarnya.
" Sudah , De." Tapi tidur lagi. Nggak tahan, masih ngantuk!"
Wanita itu menyelesaikan pekerjaannya menyapu lantai. Sementara berkali- kali Asti menahan kantuknya karena terus menerus menguap. Segera dia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Mungkin siraman air dingin itu dapat membuat tubuhnya segar kembali dan dapat beraktivitas kembali.
"Ikut ke pasar, De?" tawar Asti karena melihat Bude Ayu masih memakai daster batik kesayangannya. Belum juga berdandan dan masih mengikat rambutnya.
" Nanti siang saja tak nyusul. Biar diantar Ratih. "
" Dipikir aku aja yang penasaran dengan berita Mas Timbul. Ternyata Bude juga, toh?"
" Sudah , ngapain mikirin bocah gembleng yang satu itu! Paling kabur lagi. Si Timbul itu licin kayak belut ditangkapnya."
" Emang Bude yakin kalau Mas Timbul lolos lagi?"
" Lha yakin, to. Buktinya enam bulan ini nggak ada yang tahu dia ada di mana kan?"
Asti bersungut- sungut. "Apa dia banyak yang bantuin, ya? Jadi sering lolos saat mau ditangkap ya, Bude!"
" Yang Bude tau, sih. Ada keluarga dekat Pak Kushari di sebelah desa itu. Yang punya peternakan ayam yang cukup besar juga ...."
Sebenarnya Asti tak ada kaitannya dengan masalah Mas Timbul dan Bude Ayu. Sejak Budenya menikah dengan kepala desa tetangga sebelah. Pada waktu itu dia masih tinggal di rumah ini bersama Mbah Kakung Winangun. Beliau saat itu masih sehat dan segar. Sehari- hari kakeknya itu berjalan - jalan memantau sawah dan kebunnya.
Bahkan bukan Lek No saja yang membantu urusan Mbah Kung. Masih ada beberapa pemuda lagi yang diperkenalkan dan untuk sementara tinggal di rumah Lek No. Sedangkan untuk urusan rumah tangga dipegang Bulek Ratih dibantu Yu Esih dan Bude Sum.
Para wanita pagi- pagi benar sudah menyiapkan sarapan untuk Mbah Kung dan para pekerja yang akan menggarap sawah atau kebun . Apalagi kalau musim panen padi tiba , tumpukan padi berkarung- karung memenuhi sebelah rumah Lek No yang biasanya dijadikan gudang penyimpanan gabah. Sebelum padi itu digiling menjadi beras.
Bulek Ratih akan semakin sibuk bila ada berbagai acara keagamaan yang diselenggarakan di mushola. Bulek Ratih sejak tinggal di rumah joglo itu selalu menjadi asisten Mbah Putri yang pandai memasak untuk berbagai hidangan pesta.
Mulai dari acara Maulid Nabi Muhammad S.A.W. sampai perayaan hari raya Idul Adha.
Terkadang, ada satu dua orang warga yang meminta Bulek Ratih menyiapkan pesta aqiqah dengan memasak gule atau sate kambing.
Menurut penuturan para ibu- ibu, mengolah daging kambing itu memerlukan pengetahuan khusus kalau tidak mau masakan dari daging kambing akan berbau prengus( bau amis daging kambing).Nah, jagonya masak gule kambing ya Bulek Ratih! Murid Mbah Putri yang mempunyai resep asli dan andalan dari keluarga Winangun.
Tak ada peristiwa yang berarti saat Asti berjualan di toko seharian di pasar. Bude Ayu datang agak siang diantar Bulek Ratih. Wanita itu sangat menikmati berbagai makanan dan minuman yang dijual pedagang di pasar.
" Enak, Asti. Seger!"Jelas Istri Lek No itu tersenyum.
Wanita itu harus menempuh jalan yang agak jauh dari rumah ke pasar sambil memboncengkan Bude Ayu. Apalagi tubuh Bude Ayu yang tinggi besar tentu menjadi beban tersendiri karena Bulek Ratih kecil mungil. Sedangkan motor matiknya juga sudah agak tua.Takutnya motor itu mogok atau mengalami kecelakaan karena jalannya sudah tidak stabil.
Rencananya dia dan suaminya dulu setelah mendapat uang bonus dari Bude Ayu , uang itu untuk membeli motor baru. Tetapi uang itu lebih diutamakan untuk membiayai sekolah Ninuk yang baru dib SMA.
" Kemana . Budemu itu, Asti?" tanya Bulek Ratih setelah menghabiskan segelas es cendolnya.
" Biasa, Lek! berburu berita terbaru. He, he."
" Mungkin kalo masih muda dulu , Budemu itu cocoknyab jadi wartawan berita gosip!"
"Saya malah takut, Lek. Bude Ayu terlalu berani! Masak ngelawan Mas Timbul yang merebut dompetnya. Sampai babak belur, gitu"
Wanita yang telah berusia 40 tahun itu menghela napasnya ." Jangan takut, Asti. Lek No dan sesepuh desa masih waspada, kok!"
" Tetep aja aku sama Bude nggak bisa tidur semaleman. Orang kayak Mas Timbul itu semakin kepepet semakin ngawur, gitu ! "
Bulek Ratih sempat berkeliling dan masuk ke dalam pasar mencari keberadaan saudaranya itu. Keluar dari pasar dia sudah membawa tas kresek hitam berisi sayuran dan berbagai sembako.
Mau tak mau, tadi dia menerima uang belanja dari Asti sebanyak dua ratus ribu rupiah. Sebenarnya di dekat rumah mereka juga ada seorang warga yang membuka warung hanya kurang lengkap. Jadi berbagai bumbu dapur, minyak dan tepung- tepung harus dibeli di pasar sebagai bahan persediaan untuk mengolah makanan.
" Asti, ada oleh- oleh dari si mas yang jaga toko emas di sebelah!"
Kehadiran Bulek Ratih yang tiba- tiba mengejutkan Asti yang sedang menghitung pembelian barang- barang dengan menggunakan kalkulator yang ada di HP-nya Di kantong kresek putih itu ada puluhan jambu air yang bewarna hijau pekat kemerahan . Tampak manis dan segar.
Buah seperti ini agak jarang dibudidayakan di desa mereka. Kecuali ditanam di rumah hanya sebagai koleksi atau pengisi halaman saja.
Kata Mbah Kung dulu, tanah di daerah mereka ini kurang cocok untuk ditanam berbagai buah- buahan tertentu karena kurang subur dan berkapur.
Asti tertawa melihat Bulek Ratih sudah makan jambu air itu sebanyak tiga buah. Padahal buah jambu itu bentuknya besar- besar.
" Dah, jangan ketawa! Aku tuh paling enak makan masakan orang lain. Setiap mau makan masakan sendiri, kok. Jadi kenyang aja ...."
Wanita itu hanya senyum malu saat ucapannya hanya dijawab Asti dengan tertawa geli. Mana dia berani membantah omongan Bulik nya itu! Walaupun kemampuan memasaknya setara dengan chef restoran mahal, wanita itu tetap bertubuh kurus .
Dia lebih sering makan nasi dengan lauk tempe goreng dan sambel yang pedas. Setelah selesai masak gule kambing atau opor ayam sebanyak satu panci besar.
"Ada apa ini, rame- rame?" tanya Bude Ayu yang muncul di depan toko.
"Ada jambu, De. Manis dan seger, lho!" jawab Bulek Ratih tangkas.
Begitulah ulah dan kelakuan Bude Ayu dan Bulek Ratih bila ada didekatnya. Kalau nggak konyol, juga selalu rame.
Mereka pamit pulang duluan sambil menggotong dua kantong kresek besar hasil belanjaan Bude Ayu juga. Asti mulai merapikan barang- barang dagangan karena toko mau ditutup. Sampai dia tertegun karena ada Mas Kusno yang sudah berdiri di depan tokonya.
" Ada apa, Mas?"
Pria itu hanya tersenyum. " Boleh nggak aku nganter kamu pulang?"
"Maaf, Mas Saya juga bawa motor. Terima kasih."
" Bukan gitu? Maksudnya, saya akan mengiringi kamu sampai rumah !"
Saat melihat Asti mau menolak lagi, buru- buru pria itu berkata. " Mas Timbul berhasil kabur lagi. Tapi dua temannya sudah ditangkap polisi kemarin. Jadi boleh ya ?"
" Apa nggak merepotkan , Mas?"
" Nggak , kok. Sungguh!"
Justru Asti yang tidak tenang melihat motor Mas Kusno berjalan pelan di belakangnya. Padahal motor sport yang dipakai lelaki itu merupakan dambaan anak - anak muda zaman sekarang. Terutama anak muda yang sangat suka menantang maut di jalanan alias kebut- kebutan.
Bude Ayu tergopoh- gopoh menyambut kedatangan Mas Kusno. Pria itu digiring masuk ke rumah antik mereka. Sesekali pria itu memandangi berbagai sudut ruangan dan beberapa perabot yang bisa disebut antik.
" Rumah kuno yang indah .."
Kata lelaki terkagum- kagum memandangi rumah joglo yang masih asli dan antik . Hampir semua isi dari rumah ini terbuat dari kayu jati dan dibuat sebelum zaman kemerdekaan Indonesia.
Asti dari dalam ruangan datang membawa gelas berisi minuman dan sepiring kue
"Rumah orang desa, Mas.
Warisan leluhur sudah tua dan kuno ... Sila kan diminum, Mas!"
Tak lama, Lek No muncul. Dia segera menghampiri pria itu dan bersalaman dengan hangat.
Awalnya hanya ngomong tentang desa mereka yang jarang dibicarakan orang banyak saking terpencil nya . Sampai omongan itu menjadi serius saat membicarakan pelarian Mas Timbul.
Ternyata desa tempat orang tua Nanik tinggal itu sudah dipantau selama duab hari oleh petugas khusus. Tetapi hanya dua orang anak buah Mas Timbul yang tertangkap. Pria itu sempat membawa motornya saat akan ditangkap dan kabur ke daerah desa lain yang tak sempat dihadang
" No, kamu tahu nggak desa Sendang Ranti?" Tanya Bude Ayu tiba- tiba.
" Tahu, De! Di sana ada keluarga Pakde Sanjaya, kan?"
" Bukan itu saja! Ternyata bapaknya Nanik itu Pak Junaidi. Dulu ayahnya Junaidi pernah menjadi pejabat di Kabupaten."
Lama Lek No mencoba kembali ingatannya. Dia sejak kecil dititipkan ke keluarga kakeknya di Ngawi. Sebelum datang ke Sendang Mulyo dan disekolahkan oleh kakek Asti.
" Bude, apa itu Pak Baskoro Rajiman yang terlibat korupsi bantuan untuk desa kita? "
Mas Kusno segera memahami kalau penjahat itu dilindungi oleh orang- orang yang punya jabatan penting. Dia semakin takjub ketika mendengar cerita yang disampaikan oleh wanita yang masih terlihat awet muda dan cantik diusianya yang sudah lima puluh lima tahun ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 442 Episodes
Comments