Urusan toko memang agak memusingkan buat Asti. Banyak barang belanjaan yang dibelinya lewat WA atau online tidak sesuai dengan harapannya.Jadi kalau dijual lagi dia banyak mendapat rugi karena kualitas bahan yang rendah dan harga barang yang tinggi.
Suatu hari, Bu Haji Anissa menelpon Asti tentang rencananya mau menyewa toko gadis itu di pasar kecamatan. Dua hari kemudian Asti bertemu dengan wanita itu di rumahnya.
Ternyata Bu Haji Anissa ingin membuka toko khusus yang menjual berbagai keperluan umroh atau haji. Dari pakaian pria dan wanita, baju Ihram dan perlengkapannya. Sebab toko yang sejenis hanya ada di daerah lain yang cukup jauh letaknya.
Apalagi Bu Haji juga memerlukan asisten yang akan menjaga toko itu. Sebab dia juga harus membantu suaminya di biro perjalanan haji dan umroh milik mertuanya. Jadilah Dania yang akan menjaga toko tersebut. Gadis itu merasa sangat berterima kasih karena masih diberi kesempatan bekerja.
Bude Ayu juga memahami status Asti sekarang yang sudah menikah terikat oleh hak dan kewajiban sebagai istri dan ibu rumah tangga. Dia juga mendengar Asti wajib mengikuti organisasi sebagai istri dari seorang abdi negara di kantor suaminya.
Sampai Asti dikejutkan saat Bude Ayu menyuruhnya datang ke kamar wanita itu. Beliau menyerahkan sebuah tas besar yang berisi sertifikat tanah, rumah , sawah juga kebun. Katanya itu bagian Asti. Sebab dia juga memberikan sedikit bagiannya untuk Lek No. Pria itu diambil oleh Pak Harjo Winangun dari rumah neneknya di Ngawi setelah orang tuanya bercerai. Kakek Lek No adalah adik dari kakek Bude Asti.
Satrio lebih kaget lagi saat Asti diberi sebuah kotak berisi perhiasaan emas . Sebagian adalah peninggalan dari Almarhumah Mbah Sri, sebagian lagi milik Bude Ayu yang dibelinya dari hasil panen padi dan kebun bertahun- tahun yang lalu.
Pria itu menyimpan semua map itu ke dalam ransel. Malam nanti dia akan kembali ke rumah di kota, sebab setiap pagi dia harus hadir di kantor tepat waktu.
Di kotak kayu terdapat bermacam - macam perhiasan yang terbuat dari emas. Tetapi perhiasan itu modelnya sudah kuno seperti kalung, gelang dan bros. Asti berniat menjual sedikit perhiasan itu untuk membeli motor baru, sedangkan motornya yang di desa akan diberikan pada Ninuk. Dia cukup merasakan susahnya tidak punya kendaraan pribadi. Mau ke mana pun bus atau angkutan lain terbatas.
Beat merah magenta menjadi pilihan Asti saat diantar Satrio ke dealer motor. Sedangkan kalau mencari warna lain harus menunggu waktu agak lama.
Setiap Satrio pulang kerja, pria itu akan mengajak Asti berkeliling kota dengan motor barunya itu yang masih menunggu selesainya pengurusan nomor polisi dan STNK.
Pria itu meminta istrinya menghapal jalan- jalan utama di kota tersebut juga beberapa jalan tikus atau alternatif. Agar lebih cepat mencapai suatu tujuan misalnya ke pasar.
Semalaman Asti merasa gelisah dan susah tidur. Padahal Satrio sudah tertidur lelap di sampingnya. Takut membangunkan suaminya, pelan - pelan dia meninggalkan kamar.
Sejak seminggu yang lalu, ada pedagang dari daerah lain yang memborong hasil panen kelapa di kebun mereka. Baru siang tadi transaksi itu selesai setelah Pak Bangun mengirim pembayaran itu melalui transfer ke nomor rekening Asti di BRI.
Berkali- kali Asti menelpon Bude Ayu sejak sore untuk memberitahu tentang nominal hasil pembayaran itu. Lek No meminta diberi cash saja untuk bagian nya, karena ada satu keperluan.
Malah Bude Ayu berencana akan membawa Asti dan Satrio ke Purwokerto, saat Satrio agak senggang. Sebab kedua mertua Asti mempunyai nama baik di sana. Mungkin dengan acara syukuran sederhana, mereka dapat memperkenalkan Asti sebagai menantu Pak Cahyadi Wibowo dan Ibu Widyati.
Semakin siang Asti semakin lemas tak bertenaga. Bahkan panggilan si mas tukang sayur yang berteriak- teriak dari depan rumahnya juga dia tidak pedulikan. Gelas kopi yang biasa digunakan Satrio tiba- tiba terlepas dari genggaman Asti saat dicuci. Gelas dari keramik putih itu meluncur ke lantai dengan bunyi pecahan yang nyaring.
Hampir saja jari telunjuknya tergores pecahan yang terbesar saat dibersihkan. Tubuh Asti gemetaran, takut sesuatu akan terjadi dengan firasat itu. Bukan takut Satrio kecewa karena gelas itu adalah oleh- oleh yang dari Mbak Sasya, saat dalam liburannya dua bulan lalu ke Belanda dan Perancis.
Dering HP miliknya terdengar dari meja di ruang depan. Setelah melihat melihat nama si penelpon Asti agak kaget. Tumben Satrio menelpon saat masih jam kerja.
"Assalamualaikum, Mas!" Jawab Asti.
" Sayang, kamu siap- siap dijemput satu jam lagi, ya!'
" Ada apa, Mas? Apa Bude Ayu baik- baik saja?"
" Baik. Ayo sayang aku sudah mau jalan ke rumah."
Asti berlari menuju kamarnya. Dengan cepat dia berganti pakaian dengan tunik katun biru Navy dan celana kulot lebar berbahan denim.Tak lupa tas selempang yang berisi dompet dan HP.
Dia sedang merapikan kerudung yang dikenakannya agar serasi dengan pakaiannya hari ini. Saat itulah dia mendengar suara mobil berhenti di depan rumah .
Satrio malah tidak mau turun dari mobil itu tandanya dia memang benar terburu- buru. Segera mesin dinyalakan kembali, ketika Asti sudah membuka pintu di samping. Melihat Satrio yang serius, Asti ikut terdiam selama dalam perjalanan.
Suaminya itu menjalankan mobilnya menuju ke arah luar kota. Sampai mobil itu berbelok di sebuah rumah sakit daerah setempat. Pria itu membantu istrinya turun.
Mereka berjalan cepat menuju ke sebuah lorong dengan sebuah tulisan UGD yang besar di atasnya.
Asti tercekat, di dekat ruang tunggu sudah ada Lek No, pak Haji Anwar dan seorang pria berpakaian dinas polisi yang merupakan sahabat Satrio. Pak Herlambang.
" Asti!" Panggilan itu berasal dari suara Bulek Ratih yang ada di belakangnya. Perempuan itu memeluk Asti sambil menangis.
" Budemu Asti, sakit parah!'
Mata Asti nanar melihat sosok wanita di balik dinding kaca yang terbaring tak berdaya dengan berbagai alat medis yang mengelilinginya. Wajahnya dipasang selang oksigen. Ada dua selang infus dan botol kaca kemerahan berisi darah .
" Mas, Bude kenapa? " tanya Asti lemah. Satrio menahan tubuh Asti yang terkulai diperlukannya. Istrinya pingsan.
Hampir satu jam kemudian Asti siuman, dan tersadar saat tubuhnya sudah terbaring di sebuah kamar perawatan. Ada selang infus di atas tempat tidurnya berbaring, sementara lengan kanannya ada jarum infus yang menusuk nadinya.
" Sayang kamu sudah siuman? " tanya Satrio. Wajahnya pria muda itu tampak cemas juga lelah.
Satrio terus mengelus pipi istrinya yang dingin. Terdengar suara pintu di buka. Tampak sosok Bu Haji Anissa masuk. Perlahan dia duduk di sebelah Satrio.
" Mas dipanggil Pak Haji!"
Pria itu agak enggan meninggalkan istrinya dalam keadaan yang tampak pucat dan lemah.
" Sebentar, ya. Asti. Nanti aku ke sini lagi!"
" Tenang, Mas. Ibu yang akan jaga Mbak Asti ."
" Bu, Bude sakit apa? Kenapa?"
Wanita itu menatap lama.
Tampak Bu Haji berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan berita penting itu.
" Rumah Bude Ayu semalam dirampok. Paginya Lek No mau nengok Budemu, agak curiga karena pintu rumah dan jendela samping kamar Bude terbuka lebar.'
" Bude Ayu nggak apa- apa kan?"
Ada air mata yang menetes di pipi wanita itu." Budemu tergeletak di kasur tetapi sudah pingsan. Mungkin Budemu melawan...'
" Semua uang dan perhiasaan koleksi Bude sudah diberikan ke saya, Bu. Waktu kami Minggu lalu nginap di sana."
Ada rasa tak percaya di wajah wanita itu. " Bude melakukan itu?"
Suara Asti semakin bergetar menahan tangis." Bahkan tahun lalu Bude sudah urus semua surat tanah, dari sawah dan rumah. Bahkan sudah dipisah dengan surat tanah Lek No."
Lama wanita itu terdiam. Sambil mengelus- elus sebelah tangan Asti yang tidak terpasang jarum infus.
" Sabar dan tawakal Asti. Doakan Budemu cepat sadar. Dia masih dalam perawatan "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments