Sudah lama para warga tidak men- dengar lagi keganasan Mas Timbul karena berita penangkapannya yang gagal. Tiba- tiba Pak Haji Anwar membawa berita kalau anak Mbak Nani meninggal dunia malam tadi. Balita berusia empat tahun itu mengalami diare parah dan terlambat mendapat pertolongan medis.
Sebagaimana kebiasaan orang- orang di desa Sendang Mulyo apabila mendengar berita kematian. Mereka pun mulai bersiap-siap untuk pergi melayat. Atau datang ke rumah orang yang berduka untuk mengucapkan belasungkawa. Terkadang sampai menghentikan pekerjaan mereka seperti ke sawah atau ke ladang sebagai tanda bersimpati.
Pak Haji Anwar sampai mengerahkan satu mobilnya lagi yang ada di kantor biro perjalan haji dan umroh milik keluarga besarnya, untuk dipakai sebagai alat transportasi rombongan warga yang ikut melayat ke rumah Mbak Nanik. Mereka berangkat bersamaan sampai mobil-mobil itu berjalan beriringan seperti pawai tujuh belasan.
Bude Ayu tadinya mengira kalau Mbak Nanik tinggal di rumah pemberian mertuanya di dekat belakang pasar.
Rumah itu baru dibangun Pak Kushari dengan menelan biaya ratusan juta rupiah, karena harga tanahnya juga cukup tinggi dan terletak di tempat strategis. Belum lagi rumah besar bertingkat dua itu mengambil contoh model rumah di kota- kota besar.
Hal inilah yang memicu rasa iri dan marah dari adik- adiknya Mas Timbul lainnya. Sebab saat mereka menikah tidak dibuatkan pesta besar dan meriah. Malah anak- anak Pak Kushari menikah dengan lelaki yang pekerjaannya tidak tetap. Jadi setelah menikah mereka tinggal di bersama di rumah keluarga istri pertama atau istri keduanya.
Ternyata rombongan pelayat dari desa mereka, malah harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Hampir mencapai perbatasan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sampai Bude Ayu mengenali kalau di desa itu ada seorang kerabatnya tinggal , yaitu Pakde Sanjaya. Kakak ibunya almarhumah. Bahkan di sana juga masih tinggal beberapa anak Pakde Sanjaya yang juga telah berkeluarga.
Jalan ke desa itu sudah rapi karena dibeton dan diberi got di sisi kanan jalan untuk drainase. Mobil Inova yang dikemudikan Pak Haji yang menjadi pemimpin rombongan akhirnya berhenti di sebuah bangunan rumah berlantai dua yang besar dengan halaman yang luas. Namun rumah itu tampak tak terurus karena dipenuhi berbagai benda - benda rongsokan yang terbengkalai, seperti meja rusak dan tumpukan sofa yang tak berbentuk lagi karena terkena panas dan hujan bertahun- tahun.
Saat warga desa keluar dari mobil, mereka disambut oleh seorang pria yang disebut- sebut sebagai kakak Mbak Nanik. Sebagian ibu- ibu yang ikut dalam rombongan itu masuk ke dalam ruangan yang luas dan agak usang karena catnya terkelupas.
Mereka duduk berkeliling dengan alas tikar lusuh. Sementara para bapak masih bercakap- cakap dengan para sesepuh desa ini, yang dikenal oleh Pak Anwar dan Lek No.
Sampai mereka melihat jenazah anak perempuan berusia yang empat tahun itu, dibaringkan di lantai beralas tikar dan tubuhnya ditutupi kain batik.
Tak banyak tetangga yang datang. Padahal desa mereka tampak lebih rapat rumah- rumah penduduknya dengan kehidupan yang lebih baik dengan banyaknya rumah- rumah permanen yang baru dibangun.
Pak Haji Anwar membuka kata untuk menyampaikan maksud dan tujuan warga Sendang Mulyo datang ke rumah duka. Beliau juga memimpin doa. Setelah berdoa satu persatu ibu- ibu itu bergerak memasukan amplop ke sebuah wadah plastik yang ditutupi sebuah taplak meja dari kain batik. Wadah itu ada di atas meja kayu yang diletakkan dekat pintu masuk.
" Bude Ayu!" Panggil Nanik yang mengenali wanita itu diantara rombongan ibu- ibu yang lainnya.
Dia bangun dari duduknya di batas ruangan antara ruang tamu dan dapur. Nanik memeluk Bude Ayu dan menangis keras. Bude berusaha menguatkan hati Nanik.
Dia bercerita secara terbata - bata karena merasa bersalah tak membawa anaknya itu ke rumah sakit setelah empat hari sakit dan hanya diberi obat yang dapat dibelinya di warung.
Tangisan Nanik dan kehadiran Bude Ayu ternyata menarik perhatian sepasang suami istri yang muncul dari ruang dalam. Pria tua itu memaksa kakinya yang separuh lumpuh itu mendekati Bude Ayu dibimbing oleh wanita yang tubuhnya kurus dengan wajah yang sangat pucat.
Bude Ayu segera menyelipkan amplop putih ke tangan wanita yang seharusnya disebut menantu itu. Wanita paruh baya itu terburu- buru keluar dari ruangan yang terasa mencekik lehernya. Beberapa wanita yang berdiri dekat pintu itu sedikit terdorong oleh Bude Ayu. Namun mereka maklum dan diam saja karena dalam suasana berduka.
Sekilas tadi dia mendengar ucapan Nanik kalau mereka adalah orang tuanya. Mereka bermaksud mau menemui dan berbicara dengannya.
Sosok Bude Ayu segera dikenali oleh Pak Sanjaya, lelaki yang dikenal sebagai sesepuh desa itu. Pria itu berdiri gagah di depan pagar besar.
" Ayu!" Panggil pria itu karena melihat wanita itu seperti akan meninggalkan tempat ini dengan segera. Bahkan hampir tak mengenali dirinya yang biasa dipanggil keponakannya itu.
Bude Ayu menoleh." Pakde Sanjaya?"
Bude Ayu kaget bertemu dengan kakak ibunya almarhumah di rumah ini. Ayu berbalik dan menyalami beliau.
" Tunggu Diah sebentar! Tadi dia meminta adiknya Nanik mengambil tiga dus air mineral gelas di tokonya."
Benar saja dari dalam rumah muncul wanita paruh baya, anak perempuan kedua Pak Sanjaya . Wanita itu merapikan kerudungnya lalu menemui adik sepupunya. Mereka berpelukan sebentar sambil mencium pipi kiri dan kanan.
" Pak, Biar aku bawa Ayu ke rumah ya! Tolong, kasih tau pemimpin rombongannya ya, Pak . Nanti biar Lisa yang antar Ayu pulang!"
Kedua wanita itu bergerak meninggalkan rumah itu. Kehadiran Bu Diah segera dikenali oleh beberapa pemuda di desa itu yang menjadi tukang parkir dadakan . Seorang pria yang lebih tua mendorong motor Nmax berwarna merah keluaran terbaru.
"Pung, tadi ibu sudah suruh Bambang ambil air mineral di toko. kalau kurang minta Yani aja!"
" Terima kasih, Bu Diah." kata Anak muda itu lagi.
" Jangan begini , Pung! Ada apa- apa cepat itu cepat ngomong. Bergerak. Kasihan orang - orang yang datang melayat dari tempat jauh, tadi kehausan !"
" Maaf, Bu. Keluarga Pak Junaidi itu nggak ada inisiatif apa- apa! Selalu menyusahkan... Saat kaya sombongnya setengah mati, lagi miskin dan melarat nggak tahu diri! ." Gerutu seorang pemuda yang sepertinya pemimpin dari kelompok itu.
" Ibu balik dulu, ya! Mau ke rumah, ini ada sepupu datang. Nanti telepon ke rumah kalau ada hal lain."
Bude Ayu, segera naik di boncengan motor besar model terbaru itu. Dengan cekatan Mbak Diah wanita yang hanya berbeda empat tahun lebih tua darinya itu menjalankan motornya ke arah tenggara dari desa itu. Arah jalan itu malah kembali ke jalan utama desa.
Mbak Dyah dan suaminya membuka toko yang cukup besar di depan jalan utama di desa mereka. Suami Mbak Diah dulu bekerja di sebuah hotel besar di Surabaya. Mereka kembali ke desa ini setelah anak bungsu mereka lulus kuliah dan bekerja di luar negeri .
Dari belakang toko besar itu ada rumah Mbak Dyah. Dia mempunyai dua pegawai untuk membantu menjaga toko sembako tersebut.
Rumah Mbak Dyah tidak besar, tetapi rapi dan nyaman. Sebab sehari - hari mereka tinggal berdua saja dengan suaminya. Semua anak- anaknya yang sudah berumah tangga tinggal di luar daerah. Bahkan ada yang menetap di Medan selama bertahun-tahun.
" Kamu kenapa tadi buru- buru keluar? Pas aku cari. Eh, orang tua Nanik malah ikut cari !"
" Aku sudah sakit hati dan kecewa, Mbak . Mereka jahat semua sama keluargaku. Terus kalau sudah minta maaf kelar semua urusan?"
Ibu Diah terus mengusap- usap punggung adik sepupunya itu. Setelah kedatangan Sarno ke rumah Ayahnya, barulah satu persatu mereka mulai menemukan berbagai permasalahan yang dilakukan keluarga Junaidi, termasuk oleh bapaknya, yaitu Baskoro.
" Mbak Dyah tahu kan? Bertahun- tahun Asti dihina dan dijauhkan dengan kutukan yang nggak benar itu. Keponakan kita menderita , Mbak."
Air mata Bude Ayu berlinangan. Melihat sakit yang diderita oleh Pak Jainudin dan Bu Sriyatun, sepertinya belum menghapus semua kepahitan yang diterima keluarga Harjo Winangun.
Bahkan mereka tampaknya belum puas juga setelah meninggalnya adik Bude Ayu yang hampir berbarengan dengan meninggal ibunya itu yang mereka sebut tulah?
Baru beberapa waktu yang lalu Bude Ayu mendengar ternyata hasutan ibu mertuanya dari Mas Timbul yang membuat anak tirinya itu termakan api dendam dan amarah yang membabi buta!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments