Asti sebagai pendatang baru di kompleks itu berusaha mengenal para tetangga dengan baik. Banyak dari ibu- ibu itu berasal dari daerah lain, bahkan ada yang berasal dari Jawa Barat. Mereka sebagai istri prajurit harus bersedia mengikuti suami dan tinggal di daerah mana pun yang menjadi tempat tugas suaminya.
Para ibu- ibu itu jadi sering menggoda Asti karena dia merupakan wanita termuda di kompleks ini dengan jabatan suaminya yang cukup tinggi. Apalagi masih pengantin baru.
Para tetangga itu sudah lama berumah tangga sehingga ada yang mempunyai anak- anak remaja. Mereka bersekolah di sebuah yayasan swasta yang tidak jauh dari rumah.
" Ayo, sudah siap. Tas, HP baju ganti? " tanya Satrio berusaha mengingatkan Asti yang terkadang melupakan hal- hal kecil dan remeh seperti kunci kamar tidur misalnya.
" Siap, komandan! " Balas Asti cepat.
Dibantunya istri cantiknya itu memakai sabuk pengaman. Sempat juga dia mencuri ciuman di pipi halus istrinya
"Mas... Malu ah, diliat orang !"
" Masak dilarang cium istri sendiri, Nah, kalau cium istri tetangga jadi panjang urusannya..."
Mata Asti jadi melotot." Ya sudah jalan!"
Satrio tersenyum senang. Menggoda Asti selalu menjadi hiburan tersendiri untuk menghilangkan rasa suntuk dari pekerjaan yang melelahkan.
" Nyonya tidak beli oleh- oleh?" tanya Satrio setelah mereka melewati beberapa mini market dan toko- toko kue yang ada di sepanjang jalan yang mereka lewati.
Bude Ayu tidak pilih- pilih makanan. Apalagi kue- kue yang jarang bisa dibeli di desanya. Mungkin tidak bawa oleh- oleh pun tidak apa, asalkan Asti sehat dan tidak kurang suatu apapun.
Satrio membawa mobilnya memasuki salah satu mini market dengan logo merah biru itu. Dengan bangga digandengnya wanita cantik itu setelah membantu membuka pintu untuk Asti.
" Pake keranjang aja, Mas. Besok aku beli sembakonya aja di pasar! Lebih murah ...."
Satrio tidak jadi mengambil troli, karena Asti sudah menyodorkan keranjang belanja dari plastik bewarna merah.
Beberapa kue kering , sirup dan minuman sudah dimasukan Asti ke dalam keranjang yang dibawa suaminya. Beberapa pengunjung memandang pasangan suami istri itu dengan rasa iri karena mereka terlihat sangat serasi. Wajah cantik Asti berpadu serasi dengan wajah tampan Satrio yang lebih maskulin.
Pakaian mereka berdua rapi dan sederhana. Tampak sang suami sangat menyayanginya si wanita karena membawa keranjang yang penuh belanjaan itu sambil mengikutinya kemana pun sang istri melangkah.
Dengan rapi Satrio menempatkan dua kresek oleh- oleh itu untuk keluarganya di desa. Setelah memandang sebentar wajah si cantik kesayangan itu, mobil pun meninggalkan pelataran mini market itu.
Hari sudah agak gelap saat mobil yang dikemudikan Satrio melewati jalan tembus desa di hutan bambu. Jalan utama menuju desa Sendang Mulyo.
Tiba- tiba melintas sebuah motor jenis lama, yang terkenal dengan kecepatan dan suara bisingnya.
Yang menarik perhatian Asti adalah wanita yang membonceng di belakangnya. Wanita itu berhijab dan bergaun panjang tetapi gaya duduknya dengan menggunakan gaya laki- laki. Cepat Asti menghapal nomor polisi di motor itu. Karena sebagian penduduk desa ini sangat menjaga kesopanan dan tata krama. Apalagi untuk wanita!
Satrio juga agak curiga karena motor itu berbalik di jalan menuju perbatasan desa di ujung rumah Pak Rayi. Sebab di sana adalah jalan satu- satunya ke arah pemakaman.
Sedangkan untuk ke desa atau ke rumah penduduk yang lebih banyak penghuninya seharusnya lewat di depan rumah Bude Ayu. Satrio tak mendengar suara motor itu lagi Hilang tenggelam bersama gelapnya suasana desa menjelang malam.
Bude Ayu terburu- buru membuka pintu sambil menjawab salam Asti. Wanita itu memeluk erat tubuh keponakannya seperti bertahun- tahun tidak pernah bertemu saja.
" Sehat semua?"
" Alhamdulillah, sehat! " jawab Satrio.
Pria itu menatap Wajah Asti yang terus diciumi budenya dengan rasa sayang.
" Mau? iri? bilang bos! " Ledek Bude Ayu yang mulai menghapal beberapa jargon anak gaul yang sedang viral. Bude terkekeh geli karena Satrio terdiam. Satu kosong!
" Makanya jangan suka receh ngomongnya! " Ucap Asti.
" Kamu suka kok aku jadiin receh ...."
" Jawab-Jawab Mulu. Tidur di rumah Lek No, aja!" Kata Asti marah.
" Jangan dong, sayang ..Nanti kamu nggak ada yang meluk, kedinginan lho . ..."
" Ah, aku tidur sama Bude aja. Kangen. " ujar Asti segera mengejar budenya yang masuk ke dapur.
Satrio kebingungan kalau Asti sudah tidak mau dirayu. Tak lama Lek No datang mengajak Satrio ke mushola depan. Bulek Ratih juga muncul dari pintu belakang dan segera menyelinap dari dapur belakang.
Sejak acara pernikahan Asti selesai, jalan yang menghubungkan rumah Lek No dan Bude Ayu dibuka. Jalan itu diberi lampu yang cukup terang. Sedang gudang sudah dibersihkan. Tinggal sisa beras beberapa karung yang ditumpuk di lantai kayu yang lebih tinggi.
Acara makan bersama lebih meriah dengan kehadiran Bu Haji Anissa. Wanita itu buru- buru datang ke rumah ini, karena sudah jarang bertemu Asti. Apalagi sejak Asti pindah ke rumah suaminya di kota. Jadi mereka ngobrol agak lama.
Lek No menggotong beberapa sisir pisang hasil kebun yang sudah matang. Dua sisir terbesar diberikannya kepada Bu Haji Anissa.
" Waduh aku dapat rejeki. Alhamdulillah. Terimakasih ya, Lek!"
Asti kasihan melihat Satrio yang jadi lebih kalem. Sejak dulu memang Satrio selalu menggoda dengan tindakan dan ucapannya yang konyol.
"Maaf, ya . Sayang. Ampun! Jangan marah, ya? " Pinta Satrio pelan. Setelah mereka masuk kamar.
Asti pasrah saja, saat dipeluk erat - erat oleh suaminya itu. Memang keluarga sudah tahu kebiasaan dan ucapan konyol Satrio. Tetapi Asti tidak enak dengan tanggapan orang lain. Dikiranya nanti Satrio itu pongah dan kurang menghargai orang lain. Apalagi dia punya profesi sebagai abdi negara. Sambil meminta maaf berkali-kali Satrio mengecup dahi, pipi dan bibir Asti.
" Udah ah. Mas. Aku ngantuk!"
Segera lelaki itu memperbaiki selimut tebal di tubuh istrinya. Istrinya jarang marah lama. Tetapi kalau sudah nggak enak hati, dia pasti akan menolak didekati. Bisa- bisa Satrio puasa yang lama mulai malam ini.
Pria itu menghela napas panjang. Nastiti Anjani adalah bukan gadis desa biasa pada umumnya. Saat remaja dia dijatuhkan mentalnya oleh Fahira. Gadis yang paling populer di sekolahnya dulu, karena ayahnya menjadi orang nomor satu di kecamatan ini. Semakin dijauhi teman satu kelasnya yang bernama Fahira itu, maka rasa bencinya semakin menyudutkan Asti.
Terkadang Asti diam saja. Atau dia di kamar menangis lama sebelum tidur. Mungkin juga karena dia merasakan ketidak hadiran ayah dan ibunya sejak dia kecil. Tetapi dia disayangi oleh keluarganya.
Bahkan lek No rajin mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Dari dia bersekolah SD sampai SMP. Kadang berboncengan barengan dengan anaknya Lek No, si Joko yang usianya hanya berbeda satu tahun. Kata Bulek Ratih saat dia mengurus Asti dan Joko saat mereka masih kecil, seperti mengurus anak kembar.
Asti mulai merasakan dia dijauhi oleh para pemuda layaknya dia penyakit menular saat dia bersekolah di sebuah SMK. Ada lebih dari sepuluh murid dari SMP- nya dulu melanjutkan di sekolah ini.
Tiga orang diantaranya adalah sahabat Fahira. Jadi lewat cerita mereka itulah, Asti disebut gadis sial karena membawa kutukan dari hutan bambu di desanya.
Sejak itulah Asti sangat membatasi pergaulannya. Dia jadi agak tersinggung karena cara bicara Satrio yang konyol dan agak kurang hormat. Asti sudah sering memberitahu kalau dia tidak nyaman dengan cara bicara Satrio yang lebih terbuka dan bebas.
" Sorry. I love you" Bisik Satrio sambil mengecup ujung dahinya. Dia memeluk istrinya itu dengan selimut yang menggulung seluruh tubuhnya .
Benar saja, tak lama Asti berusaha keluar dari pelukan erat Satrio. Sambil membuka sedikit selimutnya.
Asti kepanasan, Satrio pura- pura tidur nyenyak sambil meraih tubuh molek istrinya. Tak lama Astri mulai tertidur lelap. Beberapa hari ini sikap Asti semakin sensitif. Tampaknya dia harus lebih sabar lagi menghadapi bidadari cantiknya yang lagi badmood.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 442 Episodes
Comments