NovelToon NovelToon

Asti Gadis Pembawa Kutukan

Bab 1. Sakitnya Bude Ayu

Wajah bude Ayu semakin pucat sejak Asti pulang menjemputnya dari berjualan di pasar . Hati- hati Asti memapah kakak almarhum ayahnya itu ke kamar tidur di samping ruang sholat.

Asti segera ke dapur menyalakan kompor dan merebus air. Tangannya sedikit membuka jendela kayu agar dapur besar ini tak terlalu pengap. Di ujung dapur masih ada tumpukan kayu kering yang kemarin dibawakan Lek No dari kebun belakang. Biasanya Bude Ayu selalu mengunakan tungku batu dengan bahan bakar kayu bakar untuk memasak.

Setelah air mendidih, Asti langsung menuangkan pada gelas yang sudah diisi gula dan teh celup. Dicarinya nampan kecil untuk membawa teh manis panas itu ke kamar budenya

Tampaknya Bude Asti dapat tertidur lelap. Segera Asti menyalakan lampu agar kamar ini lebih terang. Dia segera keluar dari kamar itu dengan hati- hati. Dilihatnya angka 5 pada jam besar di atas tembok ruang tamu.

Lama, Asti menatap halaman di depan rumahnya yang luas dan ditumbuhi pohon Jambu air dan Mangga. Sesekali terdengar suara motor lewat di depan rumah .

Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, maka desa ini mulai menjadi gelap. Lampu di teras depan pun tak dapat menerangi gelapnya jalan karena di sisi kanan dan kiri ditumbuhi poho- pohon jati yang besar dan rimbun.

Dari kejauhan mulai terdengar suara- suara malam . Ada kepakan kelelawar yang keluar dari sarangnya.Serangga yang mulai menggesek-gesekkan sayapnya di atas pohon- pohon tinggi, sehingga menimbulkan bunyi- bunyian.

Setelah itu desa mereka akan sangat menjadi sangat sepi. Jarang warga desa keluar dari rumah di malam hari, bila bukan karena urusan yang sangat penting dan mendesak.

Tampak Bude Ayu agak terhuyung- huyung keluar dari kamarnya. Di tangannya ada lipatan sajadah dan mukena . Wajahnya lebih segar sejak bangun tadi sebelum Magrib tiba.

" Nggak usah keluar dulu, De! Bu Haji Anissa tadi siang sudah pesan kok."

"Nggak enak, Asti. Bude sudah 2 kali absen ngaji ".

"Emang sekolah, harus absen segala ... " Ujar Asti geli.

Bude Ayu dan Bu Haji Anissa sangat senang karena ibu- ibu dan remaja putrinya mulai rajin datang ke mushola untuk pengajian ibu- ibu setiap malam Rabu . Setelah sholat Magrib berjamaah, mereka mengadakan kegiatan keagamaan. Terkadang diadakan ceramah atau belajar membaca Al-Qur'an. Sering juga tanya jawab yang dibimbing oleh Bu Haji Anissa dan beberapa ibu guru yang mengajar agama Islam di sekolah terdekat.

Kata Pak Haji Anwar, kita boleh kekurangan materi tetapi tidak boleh kekurangan akhlak. Kata- kata itulah yang digunakan kedua wanita itu untuk menggerakkan kaum wanita untuk mempelajari Ilmu Agama secara lebih mendalam . Bukan hanya buat diri sendiri tetapi buat anak- anak mereka. Sebagai bekal dan dasar pendidikan yang akan membentuk karakter dan akhlak mulia.

Asti tahu di desanya ini kehidupan warganya masih banyak yang serba kekurangan. Tak ada sungai yang mengaliri desa mereka, sehingga sawah - sawah hanya dapat ditanami saat musim penghujan.

Desa mereka sangat terpencil sehingga jalan penghubungnya utamanya pun berupa tumpukan batu padas dan kerikil agar dapat dilewati kendaraan roda empat. Sedangkan wilayah desa mereka terdiri dari bukit- bukit tandus dengan tanah berkapur.

Penghidupan sebagian warga desa adalah bertani. Hanya beberapa orang saja yang memiliki lahan sawah dan kebun. Termasuk lahan sawah Bude Ayu yang merupakan warisan dari ayahnya yang mantan kades, Pak Harjo Winangun.

Sebagian lagi pekerjaan penduduk di desa itu adalah buruh tani. Mereka bekerja menanam padi atau memotong padi saat panen dengan upah harian. Banyak juga yang berdagang di pasar kecamatan dengan menjual hasil yang dipetik dari kebun sendiri seperti pisang, pepaya, cabe atau tomat.

Ada beberapa warga yang tertentu yang mempunyai usaha dari mengolah kayu jati. Mereka banyak mendapat pesanan untuk membuat kusen jendela dan pintu. Ada juga yang membuat kursi atau lemari dari kayu jati. Pohon jati sangat mudah tumbuh di daerah ini , karena tanahnya kering dan mengandung kapur.

Rumah besar yang berbentuk joglo yang ditempati Bude Ayu dan Asti adalah peninggalan dari Mbah Kung Rasidi Winangun yang termasuk sesepuh desa Sendang Mulyo. Sedangkan Kakek Asti, yang menjadi keturunan kedua Winangun itu pernah menjadi kepala desa dua periode. Jadi peninggalannya cukup banyak, dari sawah yang mengelilingi alas Pring ( hutan Bambu), kebun kelapa sampai dua rumah besar dengan halaman luas.

Sebagian sawah mereka dikerjakan oleh beberapa warga desa dengan sistem bagi hasil. Kebun dan lahan di dekat rumah, dikerjakan oleh Lek Sarno. Namun beberapa tahun ini luas sawah mereka mulai menyusut karena dijual Bude Ayu untuk membeli sebuah toko di area depan pasar kecamatan dan modal untuk Asti berjualan pakaian muslim dan perlengkapan khusus wanita.

Wanita itu melarang keponakannya itu mengikuti jejak teman- temannya yang banyak merantau ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, setelah lulus SMK. Ada yang melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Sebagian lagi mengadu untung untuk mendapatkan lowongan kerja dari beberapa pabrik yang ada di kabupaten atau daerah lain. Bahkan dua teman dekat Asti malah menjadi TKI dan bekerja di Taiwan.

Toko yang dibeli Bude Ayu itu ada di depan pasar di kecamatan. Jauhnya hampir enam km dari rumah. Asti dan Bude Ayu yang bergantian menjaganya. Sebulan sekali Asti berbelanja ke Yogyakarta atau Solo untuk menambah stok barang di tokonya.

Mereka menjual berbagai jenis pakaian wanita mulai dari kerudung, gamis, blus, rok, pakaian dalam sampai aksesoris. Asti masih berusaha menjaga dirinya dari lawan jenis. Apalagi dia berhijab sejak SMP atas anjuran sang Kakek. Jadi dia tidak menjual pakaian pria atau yang lainnya. Walaupun ada satu dua orang pembelinya laki - laki karena membelikan pakaian di tempat Asti untuk istri atau keluarganya.

Bude Ayu dan Asti akan membuka toko itu dari pukul 08.30 sampai pukul 16.00. Setiap hari. Apalagi kalau hari pasaran tiba, pasar itu semakin ramai dengan pembeli yang datang dari seluruh pelosok desa.

Udara malam semakin dingin. Asti berkeliling rumah untuk menutup jendela dan mengunci pintu. Samar- samar terdengar suara Bude Ayu mengaji. Wanita itu melupakan rasa sakitnya agar tetap dapat menjalankan ibadahnya.

Asti kembali ke kamarnya setelah dia merasa keadaan sudah cukup aman. Penataan kamarnya ini tidak berubah dari tahun ke tahun.

Di sana hanya ada tempat tidur dari kayu yang disebut dipan dengan kasur dari kapuk randu yang sangat nyaman ditiduri walau udara panas atau dingin. Kakeknya menempatkan lemari pakaian kuno tiga pintu yang terbuat dari kayu jati . Juga ada seperangkat meja belajar yang dipesankan kakeknya ketika dia kelas 1 SMP. Karena kamar itu cukup luas, Asti memasang tikar mendong di lantai yang kosong, di atasnya diletakkan karpet Turki oleh- oleh dari Pak Haji Anwar tetangga depan rumah, saat beliau kembali beribadah haji membawa rombongan yang cukup besar. Di sana ada digelar sajadah untuk dia sholat dengan rak pendek di bawahnya dengan tumpukan buku- buku tentang agama Islam dan sebuah Alquran yang hampir dibacanya setiap malam bila tidak mendapat halangan.

Tampaknya dia harus bertahan di desa ini demi kasih sayang pada budenya. Tak banyak yang diharapkan karena kehidupan menjadi lebih sulit. Apalagi sejak budenya keluar dari rumah Pak Kushari Juwono. Semua membawa luka dan sakit hati.

Bude Ayu hanya dinikahi secara agama saja oleh pak kades desa sebelah sebagai istri ketiga. Tetapi anak- anak dari kedua istrinya terdahulu terus merongrongnya setelah ayah mereka meninggal. Mereka mengira mantan istri ketiga ayahnya itu telah menguras harta warisan keluarga mereka. Padahal Bude Ayu tidak membawa barang berharga apa pun kecuali satu koper pakaian bawaannya dulu saat pertama kali datang rumah itu.

Terlebih Mas Hardiman Juwono alias Mas Timbul, putra Sulung dari Pak Kades Kushari itu kembali menuntut pembagian warisan terbanyak . Padahal pria itu sejak menikah dengan gadis tercantik di Desa Sendang Ranti itu sudah mendapat pembagian warisan terbesar berupa rumah dekat pasar , mobil dan modal usaha.

Berbagai usaha telah dijalankannya anak sulung Pak Kushari itu, mulai dari jual beli mobil bekas, buka konter Hp dan pulsa sampai warung sembako namun semua bangkrut.

Pria beranak dua itu kembali bergabung dengan teman- temanya dan menjadi preman di terminal di kota .Tentu setelah modal usahanya amblas bersisa. Malah dia sering datang ke pasar kecamatan dengan kelompoknya itu untuk meminta uang keamanan dari pedagang yang berjualan di luar area pasar.

 Pagi hari Asti sudah disibukkan dengan kegiatan cuci mencuci dan masak di dapur. Karena masih belum terlalu sehat, Asti membuatkan bubur nasi untuk budenya. Nanti dimintanya Bu Lek Ratih, Istri Lek No untuk menjaga Bude Ayu sementara dia berangkat ke toko.

Seperti pada umumnya warga desa "Sendang Mulya" para ibu- ibu masih memanfaatkan kayu bakar yang cukup banyak tersedia di desa mereka untuk memasak di dapur.

Terlihat asap bergulung dari dapur Bulek Ratih yang rumahnya terletak di belakang kebun yang cukup luas itu.

"Lek. Lek Ratih!" Panggil Asti setelah membuka pintu dapur. Wanita yang dicarinya itu tidak berada di tempat kebangsaannya itu.

Di Ruangan yang cukup besar itu juga memperlihatkan dua tungku kayu yang menyala dengan api besar. Si Bulek pasti ada di dalam rumah, karena jarang sekali wanita itu keluar rumah tanpa mematikan kompor atau api dapur.

Setelah mengucapkan salam, Asti menerobos masuk ke dalam ruangan. Di ruang depan terdengar percakapan beberapa orang. Kemarin Asti mendengar tentang kepulangan Mas Joko Adi, anak sulung Lek No yang bekerja di Semarang sejak tahun lalu.

"Mbak Asti, sini! " Panggil Joko ketika dia melihat gadis itu yang muncul dari di dapur belakang rumah.

"Kenalkan ini, teman- temanku yang kerja satu PT di Semarang."

Para pemuda yang berumur antara 20 sampai 30 tahun itu bangun dari duduk mereka. Tetapi mereka menjadi ragu saat Asti hanya mengatupkan kedua tangannya di dada. Gadis itu berhijab dan tak mau bersalaman dengan pria yang bukan muhrimnya.

"Assalamualaikum, Selamat datang di desa kami" ujar Asti. "Maaf Mas Joko, aku ada perlu sama Bulek Ratih. Bisa , Ya?"

Pemuda yang dipanggil Joko itu segera mengetuk pintu kamar ibunya. Tadi ibunya masuk kamar setelah mendengar suara Hp yang diletakkannya di meja.

"Asti,ya? Sek ..." Seru wanita itu di dalam kamarnya. Segera Ibu itu keluar sambil menenteng HP.

Ternyata kedatangan Joko itu juga membawa teman - temannya. Apalagi dia juga melihat sebuah mobil sejuta umat itu terparkir di depan rumah Lek No.

Bulek Ratih segera membawa Asti ke dapur. Kemarin dia juga sudah melarang bude membuka toko setelah mendengar Asti berbelanja ke Solo sejak pagi hari.

"Titip Bude ya Bulek. Belanjaan baru mau dikirim hari ini."

"Ya, wes sana berangkat! Tadi Si Ninuk juga sudah bawa motor mau cari sarapan. Mau barengan apa?"

Si Ninuk anak bungsu Bulek Ratih baru saja menyelesaikan ujian UN di kelas IX. Dia sudah terbiasa ke sekolahnya dengan membawa motor karena sekolah SMPN terdekat jaraknya lebih dari 15 km.

Di desa ini tidak ada angkutan umum. Kalau mau pergi ke mana pun cara yang paling mudah adalah ke terminal yang jaraknya sepuluh km. Hanya di perbatasan desa dekat hutan bambu itu ada jalan provinsi yang dilalui oleh beberapa bus besar dan bus kecil sejenis Elf untuk ke berapa kota kecil di sekitarnya.

Kepergian Asti yang hanya mampir sebentar. Dikomentari oleh rekan - rekan kerja Mas Joko.

" Dia itu yang namanya Nastiti Anjani, toh? " tanya teman Mas Joko yang paling dewasa.

"Iya. cantik kan?"

" Iya, " sahut Danang" Nggak nyangka di desa ini ada gadis secantik itu. Dia udah punya pacar belum?"

Joko tidak banyak mengomentari pembicaraan rekan kerjanya itu. Apalagi setelah mendengar kedatangan motor Ninuk yang membelikan sarapan dan jajanan pasar yang sangat terkenal di desa mereka.

"Ayo, dimakan sarapannya! Siang nanti kita mampir pasar. Asti punya toko di sana."

Dalam sekejap bungkusan nasi bercampur kuah sambel tumpang dan rebusan sayuran itu tandas di piring masing- masing. Mereka juga menikmati teh wedang panas yang khas dari daerah itu.

Bulek Ratih segera menengok Bude Ayu. Pertengkaran Bude Ayu dengan mantan anak tirinya itu terjadi di depan pasar hampir seminggu yang lalu.

Lagi- lagi si preman itu minta uang dengan cara yang kasar. Konyolnya lelaki yang bertato dan menindik telinga dan hidung ya dengan anting itu tak mau diberi uang sepuluh ribu rupiah. Malah dia meraih dompet Bude Ayu yang menyimpan hasil penjualan hari itu.

Kalau tak ditolong kepala keamanan pasar dan tukang becak yang parkir di depan toko, dompet itu bisa dibawa kabur oleh si preman itu.

Mas Timbul kesal saat dia kena tonjok wajahnya oleh Mas Kusno, si penjaga toko emas yang tokonya ada di sebelah toko Asti. Bude Ayu sampai terseret-seret ke jalan raya hanya untuk mempertahankan dompet itu.

" Kamu, Ratih ?" Panggil Bude Ayu.

" Saya, De."

Bulek Ratih membantu wanita itu turun. Kata Mbah Muji yang dipanggil Asti untuk mengurut kaki budenya yang terkilir, tak ada luka dalam. Mungkin Bude Ayu mengalami shock karena diserang pria muda yang sangat marah dan benci padanya.

Padahal beberapa sesepuh desa sudah menengahi permasalahan itu. Apalagi Pak Kades Ali Mustafa, yang sangat mengormati nama besar

Harjo Winangun almarhum, ayah Bude Ayu. Wanita yang masih segar dan cantik diusianya yang menginjak hampir 50 tahun itu memang tidak membawa apa pun dari rumah almarhum suaminya. Masalah pembelian kalung emas dan motor baru untuk Asti ke sekolah dianggap uang mahar dan hadiah itu tidak bisa diminta lagi

Dasarnya Si Timbul sudah kadung dendam, segala kesusahan hidup dan kegagalan usahanya ditujukan pada kehadiran Bude Ayu dan Asti seperti duri tajam dalam keluarga ayahnya, Kushari Juwono.

Padahal Bude Ayu secara perlahan mampu mengerakkan ibu- ibu di desa mantan suaminya itu dalam kegiatan kesehatan ibu dan anak. Sekarang ada kegiatan PKK dan posyandu. Pemberian makanan sehat dan bergizi dan penimbangan bayi. Program itu terus berlanjut yang dipimpin ibu kades yang baru.

Hampir semua anak- anak dari kedua istri Pak Kushari Juwono tidak menyelesaikan pendidikan formalnya secara tuntas. Bahkan yang sudah di kelas 12 SMA tidak lulus, karena lebih banyak bolosnya daripada belajar di dalam kelas.

Kedua istri Pak Kushari itu terlalu memanjakan anak - anak mereka dengan materi. Hampir semua adik- adik kandung dan adik ipar Pak Kushari itu memegang berbagai usaha miliknya.

Pria itu memiliki berhektar- hektar sawah, perusahaan pengolahan kayu jati sampai beberapa toko yang menjual berbagai keperluan pertanian sampai menyewakan mobil, truk dan alat- alat berat untuk berbagai proyek pembangunan.

Mereka mulai mendapat kesulitan saat mencari pekerjaan setelah ayahnya meninggal dan harta warisan dibagi sesuai dengan hukum Islam dan peraturan adat istiadat di keluarga besar itu. Salah satunya adalah Mas Timbul yang hanya sekolah SMA kelas 10 lalu keluar karena bergaul dengan remaja lainnya yang juga putus sekolah.

Pasar kecamatan akan semakin ramai apabila jatuh pada hari pasaran. Apalagi hari pasarannya di hari Minggu. Pasar terbesar di kecamatan itu berubah dari aktivitas jual beli menjadi seperti acara perayaan atau keramaian saking penuhnya orang- orang yang ada di pasar tersebut

Sejak toko dibuka jam 08.00, Asti terus menerus melayani pembeli. Sebagian pembeli adalah orang- orang yang datang dari berbagai pelosok desa di sekitaran kecamatan. Sejak Subuh orang - orang datang dengan motor, mobil dan bus luar kota dengan rute melewati pasar tersebut.

Mereka tidak hanya berbelanja juga menjual berbagai hasil bumi yang ada di sekitar mereka, biasanya hasil kebun seperti singkong atau ubi. juga buah- buahan. Kadang ada yang menjual berbagai kerajinan tangan seperti tikar anyaman dari daun pandan duri dan lain - lainnya.

Sesekali Asti meneguk air putih dari botol air mineral yang baru sempat dibelinya. Yu Yemi, yang membuka warung nasi pun belum mengantar pesanannya sejak tadi. Ada dua ibu- ibu yang masih memilih- milih gamis yang digantung di depan toko. Hati- hati Asti mendorong kotak uang ke dalam etalase kaca dan menguncinya.

Kalau pasar dalam keadaan ramai seperti ini kadang- kadang muncul hal- hal tak terduga.Yang paling sering adalah copet. Kadang ada juga anak- anak yang hilang karena terpisah dari orang tuanya.

Pasar ini adalah pasar tradisional yang didatangi oleh penduduk semua desa sampai dari yang ada di pelosok. Mereka bukan hanya untuk jual beli saja. Banyak pengunjung juga membawa anggota keluarga atau rombongan datang ke tempat ini sebagai hiburan, karena hanya ada seminggu sekali.

Asti memang menjual berbagai pakaian, gamis dan hijab yang paling terbaru modelnya. Jadi banyak ibu- ibu yang tertarik datang ke tokonya. Dia juga tidak mencari untung terlalu banyak agar uang penjualan dapat dibelikan barang dagangan lagi.

Dari jauh dia melihat Mas Joko dan teman-temannya datang dengan menggunakan mobil Avanza . Biasanya mobil- mobil yang datang akan diarahkan ke tempat parkir yang ada di belakang pasar. Mungkin karena parkir penuh, Jadi para juru parkir dadakan mengatur mobil itu parkir di depan toko- toko untuk sementara.

Asti tidak berani menyapa mereka. Dia pura- pura sibuk merapikan dagangannya yang tadi tidak jadi dipilih pembeli. Salah satu teman Mas Joko datang menghampirinya

"Laris Mbak jualannya?" ujarnya basa- basi.

" Lumayan. Mas masih mau lihat keliling pasar . Silakan!"

Pria itu tertegun saat melihat senyum manis yang tersungging dari bibir Asti. Kalau tidak ditarik tangannya oleh Joko, sobat akrabnya itu pasti bisa mendadak menjadi patung Bali yang akan menghias di depan toko milik Asti .

"Kowe waras, Dim?"

Joko tahu, Dimas adalah karyawan senior di antara mereka. Malah mereka tinggal di mes yang sama. Dimas sudah lama tertarik saat melihat wajah cantik Asti yang fotonya terpasang di grup wa keluarga Joko.

Joko dulu yang menjaga Asti dan Ninuk sebagai anak laki- laki satunya di keluarga mereka. Dia juga sudah mendengar rumor itu sejak dia sekolah SMP. Dia dan Asti beda 1 tahun. Saat itu Asti kelas 8 dan dia di kelas 7. Banyak siswa di sekolahnya yang tertarik dengan kecantikan Asti. Apalagi Asti remaja sangat aktif di olahraga. Dia pandai bermain bulu tangkis, voly dan tenis meja.

Bahkan Asti sering mewakili team sekolah dalam pertandingan voly sampai tingkat kabupaten. Malah dia dipilih menjadi pemain volly terbaik karena dapat memimpin team sekolahnya menjadi juara pertama dalam kegiatan Porseni tingkat pelajar SMP.

Mungkin karena kalah pamor, Fahira Rahmadani anak Pak Camat Suripto Abimanyu menyebut Nastiti Anjani sebagai gadis kutukan. Fahira dan Asti sama - sama duduk di kelas 8, tetapi beda kelas.

Gadis remaja berusia 15 tahun itu mendengar kisah kelam keluarga Winangun dari pengasuhnya Mbah Parmi yang tinggal satu desa dengan Asti. Cerita kutukan Alas bambu yang ditujukan ke Asti itulah yang selalu disampaikan Fahira ke beberapa sahabatnya dengan tujuan Asti dijauhi para siswa, terutama siswa yang paling populer di sekolah mereka.

Dulu sebagai kades terpilih oleh warga desa Sendang Mulyo, Pak Harjo Winangun dan anaknya, Bagas Prasetyo berjanji untuk membuka jalan alternatif untuk mencapai jalan provinsi terdekat. Sebab desa mereka sangat terisolir dan kurang mendapat perhatian dari pejabat daerah setempat. Mau ke mana- mana harus melewati desa lain. Sebab sekeliling desa mereka adalah bukit - bukit batu padas dan separuh desa mereka dilindungi oleh hutan bambu yang luas dan lebat.

Pak Harjo juga sudah membuat upacara adat untuk memohon keselamatan, sebelum membuka hutan tersebut. Pria itu memimpin proyek membuka sebagian hutan bambu untuk mencapai jarak terpendek ke jalan propinsi.

Setelah dibuka, jalan itu diratakan dengan alat berat yang disewa selama tiga hari.

Bahkan sebagian sawah milik pak Harjo Winangun dipakai untuk kepentingan pembuatan jalan desa itu . Semua pengerjaan jalan itu memakai uang pribadi pak kades. Walaupun tidak beraspal, akhirnya mereka punya jalan desa sendiri. Masyarakat desa membantu secara bergotong-royong bergantian selama 3 hari.

Para penduduk desa segera menggunakan jalan itu . Mereka dapat ke pasar, ke terminal juga ke sekolah anak- anak lebih dekat. Walaupun bukan jalan mulus dan rata, para penduduk cukup terbantu dengan adanya jalan desa itu.

Sayangnya, rumor tentang larangan mengganggu hutan bambu atau alas Pring itu mulai dibicarakan oleh penduduk desa yang sepuh atau yang sudah tua, yaitu kakek atau nenek dari beberapa warga desa itu. Mereka sudah mendengar larangan itu dari nenek moyang mereka yang merupakan warga yang pertama kali bermukim di daerah itu.

Kejadian itu bermula ketika Mas Bagas kuliah di sebuah kampus di Yogyakarta. Pemuda yang merupakan anak bungsu Pak Harjo Winangun itu dan diharapkan akan menjadi kades seperti ayahnya. Pemimpin rakyat yang dapat mengayomi penduduk, memberi kesejahteraan dan keamanan.

Bertahun- tahun tinggal di Kota Pelajar, Mas Bagas pulang ke desa membawa gadis yang sangat cantik. Katanya gadis itu berasal dari Kalimantan Selatan. Mereka menikah dengan wali nikah kakak gadis itu yang bekerja di Surabaya

Karena mendadak, mereka hanya merayakan secara sederhana. Tanpa ada hiburan seperti pagelaran wayang kulit yang menjadi ukuran kalau keluarga pengantin adalah orang kaya atau orang mampu.

Hampir setahun lebih mereka menikah, tiba-tiba mendengar kabar dari Lek No kalau truk sembako yang dibawa Mas Bagas mengalami kecelakaan di sebuah jalan tol di daerah Jawa Barat.Ternyata pria itu bekerja sebagai supir truk di sebuah perusahaan ekspedisi antar barang sebagai upaya mencari tambahan untuk membiayai kelahiran putri pertamanya.

Berita itu menjadi kenyataan pahit saat orang tua Mas Bagas kembali dari Yogyakarta bersama ambulan yang membawa jenazah anaknya.

Sejak itulah keluarga Winangun mengalami kesedihan dan penderitaan dengan meninggalnya satu persatu anggota keluarga itu.

Itulah kutukan dari Hutan Bambu yang kehilangan keangkerannya karena sebagian hutan itu menjadi jalan utama menuju desa "Sendang Mulyo" yang sangat ramai di siang hari . Karena sekarang di sisi kiri dan kanan jalan itu berdiri lapak orang berdagang. Dari bensin eceran, buah - buahan hasil panen penduduk setempat sampai minuman.

Hampir tiga bulan berselang, menantu Pak Harjo Winangun datang menitip bayi yang baru berusia dua bulan. Bayi perempuan yang cantik itu diberi nama Nastiti Anjani. Wanita itu akan kembali ke Banjarmasin setelah mendapat kabar keluarganya mendapat musibah di tanah kelahirannya.

Justru istri Harjo Winangun yang menjadi nelangsa melihat cucunya dilahirkan tanpa melihat ayahnya. Ibu Sumiarsih mulai sakit dan batuk- batuk. Jadi Bulik Ratih yang baru menikah dengan Lek No pun membantu menggurus bayi itu. Tak sampai enam bulan kemudian, ibu Sumiarsih masuk rumah sakit di kota dan meninggal tiga hari kemudian.

Setelah kematian ibunya, memaksa Bude Ayu datang bersama suaminya yang menjadi ABRI dan bertugas di Sumatera . Wanita itu berniat merawat keponakan kecilnya itu yang sudah yatim dan ditinggal pergi ibunya .

Sampai terdengar kabar kalau Bude Ayu telah bercerai dengan suaminya itu. Ternyata hampir lima tahun menikah dengan suaminya , wanita itu mengalami keguguran sampai dua kali. Bahkan Bulek Ratih hampir tak percaya ketika mendengar kalau tempat tugas suami Bude Ayu lebih terpencil dari desa mereka.

Rumor "Kutukan Hutan Bambu" menjadi semakin luas, karena Fahira semakin benci dengan ketenaran nama Nastiti Anjani. Walaupun Fahira melanjutkan pendidikan SMA di Semarang, beberapa murid di sekolah itu meyakininya.

Apalagi tak lama kemudian, Pak Harjo Winangun, kakek Asti tutup usia saat cucunya duduk kelas 9.

Bude Ayu juga akhirnya menerima lamaran pak kades tetangga sebelah. Sebab pria itu selalu mau membantu segala kesulitan yang dialami keluarganya. Mungkin Bude Ayu sudah tahu bagaimana tanggapan dari anak- anak dari istri pertama dan istri kedua pak kades. Jadi wanita itu hanya mau menikah secara agama saja.

Pria yang sudah berusia 55 tahun itu melihat kesungguhan Asti untuk belajar. Jadi Asti disekolahkan di sebuah SMK swasta terbaik . Pria itu juga membelikan Asti motor matik untuk memudahkan keponakan istri ketiganya itu berangkat dan pulang sekolah tepat waktu.

 -----

Asti berbelanja lauk dan sayur mayur setelah pasar mulai sepi menjelang Adzan Dhuhur. Dia berusaha untuk tidak tergantung dengan kebaikan orang lain.

Gadis itu akan menutup tokonya, sambil menempelkan kertas dengan tulisan "Sedang Istirahat."

Di dekat warung nasi Yu Yemi ada toilet umum. Tak jauh dari tempat itu ada mushola kecil yang biasanya dipakai oleh para pedagang untuk menjalankan kewajiban mereka untuk beribadah.

Barang- barang belanjaannya dititip pada tetangga desanya itu. Asti telah selesai sholat. Wajah cantiknya yang polos tak memakai make up, semakin segar dan bersih.

" Yu, nasinya dua dibungkus. lauknya lengkap ya."

" Lho, mau langsung pulang Mbak Asti?"

" Nggak, Yu. Nanti yang satu buat Bude Ayu. Satunya tak makan di toko aja."

" Kirain mau tutup. Sayang, Mbak Asti! mumpung masih rame. maklum tanggal muda.."

"Mantap !" Ujar Asti geli. " Wong Ndeso kayak kita aja. Kok, kenal tanggal muda, Yu . Bahasamu itu tinggi bener, lho!"

Yu Yemi tertawa geli sambil membungkus makanan yang dipesan Asti.

" Maklum gaul sama Bu Rita, yang sering mampir beli lauk mateng di sini."

Bu Rita yang disebut Yu Yemi adalah salah satu staf pengajar di Sekolah SDN yang letak sekolah itu tidak jauh dari pasar ini.

Tangan halus Asti mulai mendorong etalase agar lebih masuk ke dalam toko. Beberapa kardus belanjaannya tadi diantar oleh mobil Elf yang mempunyai trayek melewati daerah ini ke berbagai kota terdekat lainnya.

"Perlu dibantu, Mbak ?"

Suara berat Mas Kusno mengejutkan Asti yang sedang berusaha menutup rolling door tokonya. Gadis itu menatap sang penegur tadi.

" Sudah selesai, Mas. Matur Suwon!"

Bukanya Asti tidak peka dengan perhatian lelaki yang bernama Kusno Wijaya itu. Pria yang lahir dan besar di daerah Madiun itu masih meninggalkan jejak leluhurnya. Dengan kulitnya yang putih bersih dan matanya yang agak sipit. Pria itu juga masih berkerabat dengan si pemilik toko emas tersebut Koh Eddy Tan .

Asti sudah mendengar tentang kutukan yang diterima keluarganya sejak dia masih kecil. Berita itu semakin meluas sejak dia sekolah SMP. Sehingga sekarang setelah dia lulus SMK 3 tahun yang lalu tak ada satu pun pemuda di desa mereka berani mendekatinya.

Justru Asti bersyukur tidak bergaul dekat dengan para kaum Adam itu saat dia remaja. Mungkin karena perubahan zaman, satu persatu teman- teman perempuannya di SMK itu dulu banyak yang DO. Mereka hamil di luar nikah karena cara berpacaran mereka tidak mengindahkan adat ketimuran dan ajaran agama. Alias kebablasan.

Mas Kusno yang Asti dengar, jugavsudah bertunangan dengan kerabat mereka yang tinggal di Salatiga. Jadi Asti hanya bersopan santun saja dengan pria itu.

" Terima kasih, Pak Bejo! "

Ucap Asti kepada tukang parkir di pasar ini. Dengan cepat lelaki paruh baya itu tadi mengambil kunci motor dan menjalankan motor beat merah milik Asti yang baru dibelinya tahun lalu, setelah menjual Scoopy hitam yang dulu dibelikan oleh Pak Kushari almarhum .

Beberapa tas kresek sudah diikat dengan kuat oleh lelaki itu setelah membawa motor Asti dari parkiran yang cukup aman di depan kantor pengurus pasar. Selembar uang kertas sepuluh ribuan telah disodorkan Asti yang diterimanya dengan penuh syukur. Dia dan beberapa orang yang juga mengantungkan hidupnya di pasar ini sangat mengenal sosok cucu Pak Harjo Winangun almarhum.

Bukan saja Asti dapat menyelesaikan sekolahnya sampai sampai tamat SMK di tengah keterbatasannya. Gadis berhijab sederhana itu sangat menghargai orang yang lebih tua darinya tanpa memandang pekerjaan dan status sosialnya.

Bahkan gadis cantik itu sangat sopan dan sangat halus bertutur kata. Sayang rumor itu membuatnya dijauhi para pemuda dari beberapa desa yang tertarik dengan kecantikan wajah dan perilakunya. Mereka takut terkena imbas dari kutukan itu. Para pemuda itu akan seribu kali berpikir untuk menjadikan Asti kekasihnya. Apalagi kalau dijadikan menantu! Para pemuda itu bakal mendapat sumpah serapah dari orang tua mereka. Mungkin bisa juga mereka dicoret dari KK dan tidak diakui sebagai anggota keluarga.

Pak Haji Anwar dan Bu Haji Anissa sudah sering membahas hal itu. Namun pendidikan sebagian warga desa yang hanya lulus SD itu sangat susah diubah. Berbagai kebiasaan dan adat warisan nenek moyang itu masih mendarah daging di kehidupan mereka. Padahal sebagian kebiasaan itu sudah bertentangan dengan ajaran Agama Islam, kalau bisa disebut musyrik.

Diam- diam masih ada warga desa Sendang Mulyo yang pada hari tertentu meletakkan sesajen di pokok batang bambu terbesar di jalan yang membelah hutan itu Sesajen itu berupa bunga- bunga yang terdiri dari 7 macam bunga. Ada setumpuk jajanan pasar dan nasi dengan Ingkung ayam lengkap dengan lauk- pauk lainya beserta sayur urap. Yaitu berbagai sayuran yang direbus yang diberi sambal dari parutan kelapa yang diberi bumbu dari ulekan cabe, garam, bawang merah, terasi dan sedikit gula merah.

Pak Haji Anwar hanya geleng- geleng kepala bila melihat sajen itu. Dulu dia datang ke desa ini karena kebaikan Pak Harjo Winangun. Pak Harjo berharap dengan kehadiran ustaz muda ini segala pikiran kuno dan kebiasaan adat lama dapat dikikis dengan pendidikan agama.

Sebagai pasangan muda Pak Anwar dan istrinya ingin hidup mandiri. Pak Harjo Winangun telah memberikan lahan di samping mushola yang dibangun lelaki itu. Rumah besar itu menjadi tempat tinggal mereka sekaligus mengelola mushola sederhana itu.

Ayah Pak Haji Anwar dan Pak Harjo Winangun dulu satu pesantren di Boyolali. Mereka sangat akrab karena tinggal di satu kabupaten.

Pak Haji Anwar selain menjadi pengurus Masjid besar di Kecamatan juga mempunyai usaha biro perjalanan haji dan umroh. Beliau sering mendampingi jemaahnya itu untuk umroh.

Untungnya Pak Harjo Winangun telah melaksanakan rukun Islam yang kelima itu saat kebun kelapanya panen berton- ton dan dibeli oleh tengkulak dari Jakarta. Saat itu Asti baru berusia 9 tahun dan duduk di kelas 4 SD

Kedatangan Asti telah ditunggu oleh budenya yang sedang duduk di bangku teras. Wajah Kakak ayahnya almarhum itu sudah lebih cerah dari kemarin. Asti segera meraih tangan wanita itu dan mencium punggung tangganya.

" Pasarnya rame banget ya ? " kata Bude Ayu setelah Asti menurunkan bebagai kantong belanjaan nya dari depan motornya.

"Alhamdulillah. Rame, De"

Asti segera memisahkan beberapa lauk dan sayur ke kresek yang lebih kecil. Nanti kresek itu akan diberikan ke Bulek Ratih. Begitulah cara Asti menghargai kebaikan keluarga Lek No itu. Mereka jarang hitung - hitungan soal pembagian hasil panen kebun dan panen padi. Lek No Bertahun- tahun mengabdikan dirinya pada keluarga Harjo Winangun yang telah mengangkatnya dari keterpurukan.

Asti memaksa Budenya mencoba nasi masakan Yu Yemi itu. Warung sederhana di pasar itu menjual berbagai lauk pauk dan sayur yang murah tetapi enak.

Banyak para pembelinya adalah ibu - ibu yang bekerja. Mereka membeli makanan matang dan lauk dari warung yu Yemi setelah pulang kerja untuk keluarga di rumah. Di dekat pasar itu ada berdiri kantor pemerintahan daerah, bank swasta. dan pemerintah, puskesmas juga beberapa kantor milik swasta yang sebagian pekerjanya adalah wanita.

"Istirahat, De. Besok kalau badannya agak enakan bantu aku ke toko, ya! Tadi barang- barang belanjaan baru diantar agak sore. Asti belum sempat bongkar, De. Report. Toko ramai sejak dari pagi sampai sore ."

Wanita yang itu tersenyum lebar. Kegembiraan Asti adalah kebahagiaanya. Sebenarnya bisa saja dia menguliahkan Asti ke Solo, Yogyakarta atau Semarang. Atau beberapa kota di Jawa Timur yang mempunyai kampus yang bagus.

Dia merasa agak egois karena menahan satu- satunya keturunan Harjo Winangun untuk tetap di desa walaupun memberi keluarganya ini kutukan. Padahal prestasi Asti di sekolah cukup baik dari SD sampai SMk.

Dari kecil Asti akan lantang menyebutkan cita- citanya jadi dokter. Semakin besar cita- citanya juga berubah karena melihat keadaan di sekelilingnya. Dia akhirnya berniat menjadi guru setelah melihat banyak warga desa hanya dapat melanjutkan sekolah mereka hanya sampai SMP. Lebih banyak lagi penduduk desa yang hanya lulus SD.

Bagi anak laki- laki, orang tua mereka akan mencari berbagai upaya agar anak mereka dapat melanjutkan sekolahnya ke SMK atau SMA yang jarak terdekatnya ada di kota Kabupaten. Kadang orang tua mereka membelikan mereka motor untuk mencapai jarak yang hampir 20 km dari desa mereka. Sebagian lagi mencari kost yang terdekat dengan sekolah. Sebab jarak itu cukup melelahkan ditempuh pulang- pergi hampir setiap hari.

Bab 2. Mas Timbul Mulai Membuat Kerusuhan

Asti cukup bahagia melihat kesembuhan Bude Ayu. Tak peduli kalau wanita itu hanya dapat duduk- duduk saja di dalam toko. Segera saja Asti mulai membongkar belanjaan yang ada di dalam tiga kardus besar. Kehadiran Budenya itu memberi semangat tersendiri.

Sampai gadis itu menyadari kalau sejak pagi tidak melihat Mas Kusno. Di toko emas yang terbilang paling lengkap itu, hanya dijaga oleh Mbak Ruminah dan Mbak Mus . Mau menanyakan keberadaan Mas Kusno pada mereka , Asti malu. Takut sok dibilang perhatian!

Yu Yemi datang membawa nampan yang berisi dua piring nasi dan dua gelas teh manis hangat. Tadi Asti sempat mampir sebentar ke warung nasi itu dan memesannya. Di warung itu ada suami dan anak perempuan Yu Yemi yang masih mengolah makanan untuk mereka jual hari ini. Mereka satu keluarga bekerja bahu membahu demi tercukupinya kebutuhan sandang dan pangan.

Satu dua orang pembeli masih datang ke toko Asti. Sebagian barang dagangan yang baru sudah dipajang dan digantung dengan hanger di depan toko. Bude Ayu menikmati sarapannya. Pasar lebih sepi dari hari kemarin. Jadi suasana lebih lengang, rapi dan teratur.

Bude Ayu beranjak dari duduknya dan keluar toko karena tertarik dengan pembicaraan para tukang becak yang parkir di dekat toko mereka.

" Kusno, kenapa Pakde Kromo?"

Pakde Kromo adalah tukang becak yang paling tua di antara puluhan tukang becak yang biasa mangkal dan mencari penumpang di pasar itu. Dia bahkan diperbolehkan tinggal di sebuah ruangan kosong, yang ada di dekat gudang pasar. Kadang Pakde Kromo juga diminta bantuannya untuk menjadi penjaga malam di pasar itu .

" Dicegat orang , Bu! Hampir kena sabet pisau dari begal itu. Untung di dekat rumah Koh Edy masih banyak orang yang ngumpul, jadi banyak yang menolong!"

" Astagfirullah!" Seru Bude Ayu terkejut.

Beberapa ibu- ibu yang berjualan di sekitar tempat itu pun ramai berkomentar. Sebenarnya jarang ada kejadian pembegalan atau pengeroyokan seperti ini daerah mereka. Biasanya di setiap desa selalu ada kegiatan siskamling secara swadaya. Apalagi ini menimpa Mas Kusno yang notabene hanya menjaga toko emas milik saudaranya. Segala perhiasan emas itu sudah disimpan di brangkas toko dengan pengamanan ganda.

Peristiwa yang dialami Mas Kusno itu ternyata juga sudah didengar oleh orang- orang yang ada di pasar itu. Mulai dari petugas keamanan, para supir pengantar barang sampai beberapa pemilik toko dan pedagang lainnya. Belum lagi para tukang beca dan tukang parkir.

Dua hari kemudian Mas Kusno terlihat kembali ada di belakang etalase toko emas " Gemilang". Tampaknya pria itu mengalami cedera di wajah dan bibirnya, ada bekas memar yang mulai matang membiru. Namun secara umum, pria muda itu baik- baik saja.

Sampai suasana di sana tambah memanas ketika salah satu supir Ibu Fatma melihat kejadian itu. Ibu Fatma membuka toko sembako yang letak tokonya ada di sebelah pasar. Pria paruh baya itu sedang membawa barang dari gudang yang lokasinya dekat dengan rumah Koh Edi.

Beberapa pedagang besar yang bukan asli warga desa setempat, biasanya tinggal di perumahan itu. Perumahan itu jaraknya tidak jauh dari pasar kecamatan itu, bahkan belum seluruhnya lahannya dibangun rumah - rumah pesanan.

Masih ada lahan yang kosong. Biasanya rumah- rumah itu dihuni oleh orang- orang pendatang yang mempunyai usaha atau pekerjaan daerah itu. Oleh karena itu, rumah- rumahnya itu dibangun secara modern dan menarik. Hanya saja, jalan penghubung ke perumahan itu dari jalan raya masih kosong dan sepi. Maklum karena dulunya adalah tanah bekas persawahan. Jadi kalau malam jalan itu agak gelap karena jauh dari pemukiman warga desa.

Pak Prayoga, supir ibu Fatma diminta melapor ke kantor pasar. Mas Kusno yang pernah mahir ilmu bela diri pun masih babak belur dihajar para begal itu. Apalagi kalau orang awam, bisa mati di tempat.

Ternyata begal itu dipimpin oleh Mas Timbul. Dia hanya bermaksud mengintimidasi Mas Kusno yang dinilai turut campur dengan semua permasalahannya. Termasuk membela Bude Ayu.

Pria itu diantar Pak Kholik, si pemimpin pasar dan Mas Kusno yang membawa motor sendiri, melapor ke kantor polsek yang letak kantornya tidak jauh dari kantor Kecamatan. Kira- kira dua km dari pasar.

Asti hanya dapat memeluk Bude Ayu erat- erat. Mata Mas Timbul sudah dibutakan dengan dendam. Semua orang yang menurutnya menghalangi jalan dan rencananya akan dilibas. Tetapi Mas Timbul salah orang!

Mas Kusno yang baru dua tahun ini mengelola toko saudaranya itu bukanlah pemuda kebanyakan. Dia berani melawan para begal itu yang jumlahnya hampir lima orang dan satu orangnya malah membawa pisau. Bahkan Mas Kusno siap membawa persoalan itu ke ranah hukum.

Heboh soal Mas Timbul masih menjadi pembicaraan orang- orang di pasar. Sedangkan memar di wajah Mas Kusno juga sudah mulai memudar. Katanya, dia mendapat kiriman ramuan obat cina dari keluarganya di Madiun.

Asti mendengar kalau Mas Timbul sudah kabur. Saat dicari polisi ke rumahnya. Di sana hanya ada istri dan dua anaknya yang ketakutan saat didatangi petugas.

Pak Haji Anwar dan Pak Kades mulai memperketat keamanan wilayah desa mereka. Malah di rumah Pak Haji ada dua saudaranya yang mempunyai kemampuan bela diri handal ikut berpartisipasi. Mereka juga membantu menjaga keselamatan rumah Asti dan Bude Ayu

Zaman kakek Asti masih menjabat sebagai kades pun, sudah digiatkan kegiatan siskamling mandiri itu. Walaupun kehidupan mereka sederhana, tetapi para warga desa mempunyai banyak harta berupa ternak sapi, hasil kebun dan palawija yang melimpah.

Saat masa - masa sulit kadang ada gerombolan orang - orang dari luar desa datang untuk merampok atau menjarah beberapa rumah penduduk.

Biasanya hal ini terjadi bila terjadi apabila kemarau yang datang berkepanjangan atau gagal panen karena terserang hama wereng dan tikus. Selebihnya karena perbedaan pendapat antara penduduk terutama saat pemilihan kepala desa yang menggunakan politik uang.

Asti patuh saja, saat dilarang berbelanja kebutuhan toko sendirian ke kota terdekat oleh beberapa sesepuh desa. Termasuk dari wejangan Pak Haji Anwar. Lek No dan Ninuk pun jadi pengawalnya. Gadis berusia 15 tahun itu sangat menikmati acara mengantar Mbak Asti berbelanja, sebagai jalan- jalan.

Justru Lek No yang lebih waspada selama dalam perjalanan mengawal Asti. Teleponnya selalu ada di saku dan dalam keadaan hidup. Nanti dia akan menghubungi Pak Haji Anwar dan orang- orang terdekat bila ada kejadian penting yang tak bisa ditanganinya sendiri.

Pada Minggu sore, di rumah Bude Ayu ada tamu seorang perempuan muda yang membawa motor matik yang sudah sangat tua.

Ninuk berlari - lari mencari Bude Ayu dan Asti yang sedang ada di kebun Kelapa. Ternyata Lek No mendapat borongan untuk panen kelapa dari pedagang dari desa lain. Mereka sedang tawar - menawar harga untuk mencapai kesepakatan bersama.

"Bude Ayu, Mbak Asti. Dicari sama Mbak Nani !" teriak Ninuk terengah-engah.

Jarak rumah mereka ke kebun kelapa di belakang rumah sebenarnya tidak terlalu jauh. Tetapi untuk mencapai tempat ini, harus melewati pematang sawah yang licin, semak- semak dengan pohon kacang Koro yang merambat di pagar- pagar bambu sebagai pembatas tanah antara sawah milik Bude Ayu dengan tanah warga lain.

Mendengar berita anaknya, Lek No segera siap siaga. Dia segera berjalan cepat menghampiri Ninuk yang masih perlu berbelok lagi karena ada sendang di dekat kebun itu.

" Nggak apa- apa, Pak! Mbak Nani datang sendirian, katanya perlu menemui Bude Ayu! "

Bude Ayu malah bertatapan dengan Asti dan Lek No. Dia agak bingung.

Mau apa isteri di Timbul mencarinya? Apa mau menambah masalah lagi? Sebenarnya wanita itu sudah cukup lelah menghadapi sikap dan perilaku dari para anggota keluarga mantan suaminya itu!

Kalau dulu tidak ada paksaan dari almarhum ayahnya untuk menerima lamaran pak Kushari itu, malas dia menikah lagi. Oleh karena itu, dia hanya menikah secara agama saja agar tidak berbelit- belit, bila ada masalah di pernikahannya nanti. Apalagi statusnya hanya istri ketiga dari Pak Kushari yang berniat mencalonkan dirinya kembali menjadi jadi kades di desa sebelahnya dengan modal kekayaan yang cukup banyak.

Ternyata almarhum ayahnya dulu, merasa berhutang budi dengan kebaikan pria terkaya di desa sebelah. Almarhum Harjo Winangun itu juga tidak terlalu suka dengan status janda yang disandang anak perempuan sulungnya itu. Setelah Ayu Sulaksmi bercerai dengan suaminya pertamanya yang masih bertugas di ketentaraan.

" Bude. Maafkan, Nani!"

Terdengar suara wanita yang tadi duduk di teras depan sambil menunggu kedatangan Bude Ayu.

Asti terkejut melihat penampakan istri dari Mas Timbul itu. Dia berlari menyambut kedatangan Bude Ayu yang muncul lebih dulu dari samping rumah. Sementara Asti dan Ninuk berjalan lebih cepat di belakang Bude Ayu

" Nani, Ayok kita ngobrol di dalam saja! Nggak enak di sini! Nanti, jadi tontonan orang banyak."

Bude Ayu dengan hangat menarik bahu Nanik untuk masuk ke dalam ruang tamu . Dia segera menyalakan lampu ruang tamu agar lebih nyaman berbicara di tempat itu.

Ninuk menatap Asti bertanya- tanya. " Itu istrinya Mas Timbul kan?

Katanya bunga desa Sendang Ranti? Kurus kering kayak kayak gitu. Mirip orang nggak makan sebulan."

" Sst! " Asti menyuruh Ninuk diam.

Segera ditariknya tangan gadis remaja itu menuju dapur. " Buat teh manis tiga gelas. Nah, itu kuenya."

" Hum, enaknya, tinggal nyuruh aja!"

Tampaknya Ninuk mau menolak permintaan Asti. Sebab Asti mau ke kamar tamu juga , selain mendengar permasalahan Mbak Nanik, juga untuk berjaga- jaga.

" Ya, Udah. Minggu depan nggak usah ikut ke Yogyakarta, ya?"

Bibir Ninuk langsung mencebik kesal " Ih, Mbak Asti nggak adil..."

" Biarin... Bulek Ratih nggak nolak, kok kalau diajak plesiran ke sana. .."

Ninuk berbalik ke dapur sambil menghentak- hentakkan kakinya. Ternyata dia mau tahu juga berita ini. Awas saja kalau sampai hal ini dijadikan bahan gosip dengan temen - temen satu gennya!

Kata Joko sih teman- teman kumpul adiknya itu disebutnya gen nggak jelas! Atau kelompok remaja labil. Maklum kalau Ninuk sudah ngumpul dengan temanya itu selalu saja heboh dan ramai.

Mbak Nani sambil menangis tergugu sambil terus mengucapkan beberapa kali kata maaf. Dia menceritakan keadaan hidupnya dengan kedua anaknya yang sudah tak punya apa- apa lagi.

Mas Timbul kabur dari rumah setelah ada temannya yang bekerja di polsek memberitahu kalau dia akan ditangkap karena terlibat pengeroyokan dan perampokan.

Ternyata pada peristiwa pembegalan dan pengeroyokan itu, dipimpin oleh Mas Timbul . Dia juga berhasil merampas HP dan dompet Mas Kusno. Sehingga permasalahannya menjadi lebih berat karena termasuk tindakan kriminal.

" Maaf, Bude Ayu! Ibu yang selalu menghasut Mas Timbul agar menolak saat Bude masuk dalam keluarga Pak Kushari."

"Maksud kamu, Ibu Ratmi atau Ibu Condro?"

Asti tahu, Bude Ayu menyebutkan kedua nama kakak madunya itu. Tetapi Nanik menggeleng lemah. Buru- buru wanita itu menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya.

" Ibu saya, Bude! Ibu Sriyatun..."

Dahi Bude Ayu semakin berkerut karena bingung. Sungguh dia tidak mengenal kedua orang tua Nanik yang tinggal tiga desa jauhnya dari tempat mereka tinggal. Desa itu lebih ke arah selatan dari pasar kecamatan. Malah berbatasan ke arah Jawa Timur.

"Ibu dan ayah saya mengenal Pak Harjo Winangun almarhum. Tetapi tidak suka ketika bapak Mas Timbul menikahi Bude Ayu. Sebab nanti pembagian warisan untuk Mas Timbul berkurang karena ada tiga istri yang juga mendapat hak yang sama. Belum lagi dibagi empat orang adiknya!"

" Sebentar," sela Bude Ayu cepat.

"Kamu dan ibumu membicarakan warisan, sementara Pak Kushari sendiri masih hidup?"

Nani tertunduk malu. Padahal Nanik dan Timbul sudah menikah selama satu tahun ketika Bude Ayu datang ke rumah besar itu sebagai pengantin baru

" Serakah dan tamak" Ujar Bude pelan. " Terus kalian itu maunya apalagi ?"

" Tolong cabut laporan untuk Mas Timbul, De! Kami sudah nggak punya uang. Mas Timbul sudah sebulan lalu nggak pernah pulang dan nggak ngasih uang belanja."

" Nanik, saya nggak pernah ngelaporin suamimu itu ke polisi, ya! Berapa kali suamimu memaksa minta uang kepada saya. Tetapi perbuatan si Timbul pada Kusno sudah perkara kriminal. Penjara adalah tempat yang pantas untuk suamimu !"

Air mata Nanik menetes lebih deras lagi. Dia bisa melihat kalau rumah tua bergaya joglo ini dibangun dalam masa jayanya keluarga Bude Ayu sebelumnya, yaitu Kakeknya Saridin Yosafat Winangun.

Rumah bernuansa Jawa kental ini mempunyai ruangan yang sangat luas untuk menerima tamu dan keluarga. lantainya diberi keramik hijau , sementara di teras depan adalah lantai yang terdiri dari tegel motif bunga - bunga merah dan hijau. Model lantai jaman dulu yang kini kembali trend sekarang.

Sebagian besar perabotannya terbuat dari kayu jati utama dengan berbagai ukiran yang rumit. Mulai dari seperangkat kursi dan meja tamu, lemari pajangan besar dan beberapa lemari kaca dengan beberapa hiasan antik.

Di ruangan tengah ada gebyok besar menuju ruang dalam yang menghubungkan beberapa kamar tidur, ruang makan dan dapur. Di pintu belakang ada lahan terbuka luas yang dipenuhi berbagai tanaman cabe, tomat dan rempah- rempah dalam pot hitam besar. Juga tanaman sayu- sayuran.

Selain ada atap belakang rumah Lek No yang menjadi pemandangan di belakang rumah . Dari belakang rumah itu terdapat pemandangan hamparan sawah hijau yang luas. Belum lagi berbagai tanaman keras selain kayu jati dan kelapa yang berada di pinggiran sawah itu.

" Maafkan kami, Bude! Ibu selama ini terus menghasut Mas Timbul. Saya juga heran kenapa Bude mau saja jadi istri ketiga pak Kushari sedangkan Orang tua Bude Ayu orang kaya dan terpandang di desa Sendang Mulyo?"

"Saya juga nggak ngerti dengan kemauan ibumu. Padahal sebagai anak pertama dan anak laki- laki Mas Timbul itu sudah mendapat bagian yang lebih besar daripada adik- adiknya." Ujar Bude Ayu kesal. Dia paling tidak suka berbicara harta atau warisan.

"Saya tak pernah melarang Pak Kushari memberi rumahnya yang di dekat pasar untukmu, memberi anak sulungnya itu mobil. Belum lagi berkali- kali minta modal usaha. Mungkin nilainya sampai puluhan juta. Mana usahanya? Bangkrut kan? "

Mbak Nanik menengadahkan wajahnya. Mukanya yang dulu cantik dan bersinar cerah itu sudah menjadi kusam dan mempunyai flek dan jerawat. Tubuh yang dulu padat dan berisi kini sangat kurus, seakan hanya tulang belulang saja.

Bahkan gaun gamis yang dikenakannya itu dulu mungkin bisa berharga ratusan ribu rupiah, sekarang lebih mirip kain lap di dapur saking seringnya dicuci lalu dipakai

"Kami harus membiayai Ibu berobat , Bude. Ibu dirawat di Solo karena ginjalnya bermasalah."

" Apakah ibumu dulu bersekolah di SMPN dekat terminal pinggir kota?"

Nanik mengangguk pelan."Suami ibu saya adalah Pak Junaidi. Dulu bapak sewaktu muda pernah melamar Bude Ayu. Tetapi ditolak Pak Harjo Winangun"

" Saya tahu, sebab waktu itu saya sudah terikat janji dengan pria lain. Calon suami saya itu sedang menjalani pendidikannya di Magelang selama dua tahun. Nggak mungkin juga saya menerima lamaran pria lain."

" Selama menikah dengan Bapak, ibu merasa tidak dicintai. Sebab ibu hanya menjadi pilihan kedua di kehidupan bapak."

Sedikit demi sedikit Bude Ayu mulai dapat menarik benang merah dari berbagai persoalan dalam hidupnya . Ya Tuhan, setitik iri dan kebencian ini telah menimbulkan badai amarah yang menyebabkan semua kerusakan!

Alangkah kebencian Ibu Sriyatun itu tidak hanya merusak hidup Timbul sehingga menjadi buronan. Malah anak dan istrinya sekarang terlantar karena tidak adanya kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah di keluarga mereka

Dulu sekali, Bude Ayu adalah Kembang Desa Sendang Mulyo. Dia hanya dapat menamatkan pendidikannya sampai SMP. Itupun sudah merupakan prestasi tersendiri bagi warga desa mereka. Karena zaman itu pendidikan agak mahal. Hanya orang- orang yang cukup berada mau menyekolahkan anak mereka.

Banyak pemuda yang melamarnya, tetapi Pak Harjo sangat ketat untuk memilih calon suami terbaik bagi anaknya. Hati Bude Ayu Sulaksmi terpaut pada Rahmat Sodiq.

Pria itu telah bertahun- tahun meninggalkan desanya untuk bersekolah SMA di kota. Pria itu juga terpilih saat mendaftar menjadi tentara di sebuah kesatuan. Saat melamar Bude Ayu, pria itu juga harus menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun . Jadi Bude Ayu harus sabar menunggu.

Mbak Nani akhirnya pamit pulang saat hari sudah mulai sore. Tadi dia menolak Bude Ayu yang memberinya beras, lauk pauk kering dan mie instan. Malah Bude Ayu itu menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke tangannya. Uang itu diterima Nanik seperti orang yang kehausan di padang pasir dan diberi air segelas.

Bab 4 . Jalan Terjal dan Berliku

Sebenarnya Pak Haji Anwar sering sekali membahas tentang kutukan dari hutan bambu di desa mereka itu hanya mitos. Setiap pria itu mengisi acara ceramah di mushola atau masjid besar dekat kantor Kecamatan setempat. Mungkin itu pesan dari nenek moyang agar para penduduk desa tetap menjaga lingkungan dan kelestarian desa mereka.

Sedangkan berbagai peristiwa yang dialami Bude Ayu dan Keponakan nya Asti, adalah siklus hidup.

Dalam ajaran agama Islam tidak ada namanya Karma. Manusia menjalani kehidupan secara Qada dan Qodar.

Jadi semua manusia yang hidup suatu saat juga akan menghadapi kematian. Terkadang batas umur itu milik Allah. Tak Ada seorang manusia pun yang tahu rahasia hidup itu

Tampaknya Bude Ayu yang agak terpukul melihat keberadaan orang tua Nanik. Asti mendengar hal itu dari cerita Bulek Ratih.

Sepertinya Ibu Sriyatun dan Pak Junaidi itu bermaksud menemui Bude Ayu untuk minta maaf. Mereka baru menyadari kesalahannya setelah didera sakit berkepanjangan dan harta yang ludes tak bersisa.

Bahkan Bude hampir saja menertawakan rumah besar yang dulu menjadi kebanggaan Nanik karena merasa menjadi gadis tercantik dan terkaya di desanya. Sehingga menuntut mas kawin yang tinggi dan mahal saat dilamar Hardiman Juwono alias Timbul.

Segala rasa amarah, kecewa juga sakit hati, yang membuat Bude Ayu tak mempedulikan pasangan orang tua Nanik tadi yang bersusah payah menghampirinya. Dia langsung segera pergi meninggalkan kedua orang tua Nanik tanpa berbicara sepatah kata pun. Masa bodoh dengan etika dan sopan santun!

Apa mereka pikir dengan hanya minta maaf segala hasutan yang diterima Bude Ayu bertahun- tahun akan hilang? Hatinya terlanjur sakit dan tubuhnya teraniaya oleh Timbul.

Mungkin saking cintanya kepada Nanik, segala omongan dan permintaan itu ditelannya bulat- bulat. Mungkin juga Timbul yang bodoh tanpa berpikir dulu kalau dia sudah direkayasa oleh mertuanya yang gila harta.

Sedapat mungkin, Asti berusaha menguatkan hati Bude Ayu. Kata sabar dan tawakal adalah kuncinya. Buktinya mereka selalu diberkahi rezeki dan dijaga oleh para tetangga yang menghargai mereka.

Lek No dibantu dua orang saudaranya yang mengatur penggunaan sawah bagi hasil milik Bude Ayu. Tanah milik keluarga Harjo Winangun ini yang paling subur karena menjaga sendang atau telaga dari mata air yang ada di tengah- tengah kebun mereka.

Dulu Sendang atau telaga kecil ini digunakan para warga desa untuk keperluan sehari- hari dari mandi sampai mencuci pakaian dan mengambilnya untuk persediaan air bersih di rumah.

Setelah banyak warga yang membuat sumur dan kamar mandi di rumah masing- masing, Sendang itu terlupakan. Namun Pak Harjo Winangun selalu menjaga Sendang itu. Malah memberinya pembatas beton dan lantainya yang landai dengan plester semen.

Biasanya hanya orang- orang yang baru pulang dari sawah yang mengunakan sendang itu untuk bersih- bersih. Sisanya dipakai mandi oleh anak- anak yang sedang menggembalakan kambing atau sapi.

Lek No akan memakai air sendang ini untuk menyirami bibit palawija yang baru ditanam setelah lahan sawah selesai panen sebelumnya. Sedangkan para petani lain harus membuat sumur pompa di dekat ladang mereka dengan biaya yang tinggi untuk menyirami tanaman mereka. Kalau tidak mau gagal karena bibit mereka mati. Sebab bertanam palawija itu biasanya di musim kemarau dan kering, jadi tanaman itu membutuhkan penyiraman yang rutin agar tumbuh dan berhasil saat panen.

Kini berbelanja pun Asti masih dikawal Lek No atau Bulek Ratih. Malah Asti langsung membawa barang belanjaannya itu tanpa memerlukan jasa pengiriman. Biasanya Asti menyewa mobil milik tetangganya sekaligus dengan supirnya.

Ninuk tampak lebih mandiri dan dewasa setelah naik ke kelas 10. Tentu dia dapat belajar dari keadaan keluarganya. Sebab tidak semua temannya di SMP dulu, dapat melanjutkan pendidikannya. Walaupun biaya sekolah SMA atau SMK negeri di daerahnya banyak mendapat bantuan dari pemerintah, namun bagi masyarakat tetap saja mahal . Apalagi buat para penduduk di pedesaan, mereka memerlukan biaya transportasi dan biaya lain untuk menyekolahkan anaknya tersebut.

Ninuk jadi lebih kalem dari yang sebelumnya. Asti dan Bulek Ratih terkadang menengok Ninuk di tempat kostnya walau sebentar, sebab mereka melakukan hal itu setelah pulang belanja dari kota.

Banyak barang yang diberikan Asti untuk Ninuk . Biasanya adalah mie instan, makanan dan minuman yang dapat disimpan agak lama sebab kamar kostnya Ninuk tidak ada kulkas.

Sikap Asti juga biasa- biasa saja saat bertemu atau berpapasan dengan Mas Kusno di pasar.

Mungkin pria itu telah mendengar rumor yang disandang Asti sehingga pria itu mundur secara teratur.

Bu Haji Anissa selalu membesarkan hati Asti.Katanya setiap manusia itu ada jodohnya masing- masing, jadi Asti diharapkan lebih bersabar menunggu jodoh itu.

Berita- berita kehidupan sebagian masyarakat di desa itu berseliweran. Kadang fakta kadang hanya obrolan tak jelas. Maklum sehari- hari Bude Ayu dan Asti berada di pasar. Jadi mereka tidak hanya bertransaksi dalam hal jual - beli, juga ada ngobrol ngalor - idul tentang keseharian mereka.

" Eh, Bu! Ada lho orang di desaku yang pernah ketemu si Timbul."

Ibu Pawit yang berjualan es cendol menghampiri Bude Ayu yang saat itu sedang selesai sholat Dzuhur di mushola kecil di dalam pasar tersebut.

" Masak, Yu? Kapan itu?"

" Kalau nggak salah dua hari lalu.."

" Yu Pawit tinggal di mana, toh?"

Ibu Pawit yang baru mendapat bergelar Mbah Uti, karena anak perempuannya yang tinggal di Purwodadi bulan lalu melahirkan putra pertamanya.

" Desa Sendang Kanti, Bude Ayu . Nggak jauh dari rumah mertuanya Timbul."

Bu Pawit berpikir sejenak. " Apa dia mau ke makam si Uci ya? Sebab saat anaknya meninggal dua bulan lalu, dia kan nggak datang?"

Akhirnya Bu Pawit menceritakan hal itu kepada Mas Kusno. Sebab lelaki itu susah dicari jejaknya dalam enam bulan ini setelah buron. Petugas kepolisian pun sudah mengejar ke Jakarta. Tetap saja tidak menemukan jejak laki- laki itu

Tampak Mas Kusno terburu- buru mengambil motornya dari tempat parkir. Untungnya Asti tadi pulang ke rumah karena mau bantu- bantu Ibu Haji Anissa yang akan mengadakan hajatan kecil karena putranya yang mondok di Boyolali akan pulang, lalu melanjutkan pendidikannya ke Mesir. Jadi tidak mengetahui isu Bu Pawit Cendol itu yang mulai menimbulkan spekulasi besar di pasar tersebut.

Asti datang tak lama kemudian. Dia juga membawa sebuah kresek yang berisi kotak kardus yang berisi nasi, sambel goreng kentang, bihun goreng, beserta ayam bumbu kecap dan satu boks kue jajanan pasar

" Nih, De. Titipan Bu Haji Anissa buat Budeku tersayang.."

" Waduh enak ini. Tapi aku tadi sudah makan bakso,lho? Masih kenyang, Asti."

" Bude ini! Kalau jam makan siang itu makan yang bener. Nasi gitu. Nanti maag-nya kumat, lagi!"

Wajah Bude Ayu tersipu- sipu, " Tadi aku pengen makan yang seger-seger, Ya, sudah makan bakso jadinya!"

Mereka dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil bak terbuka dari polsek. Beberapa orang petugas turun dari mobil itu bersamaan dengan kedatangan Mas Kusno bersama motor ninja hijaunya.

Asti mendekati Budenya yang masih berdiri di depan toko. Ternyata rombongan itu bergerak mendekati gerobak es cendol milik Bu Pawit . Tampak mereka bercakap- cakap sebentar. Seorang petugas yang menjadi pemimpin polisi itu segera menghubungi seseorang dengan HP-nya.

" Tadi Bu Pawit bilang ada orang di desanya yang lihat Timbul ." Terang Bude Ayu melihat Wajah Asti yang bingung.

"Masya Allah! Lek No tadi di rumah juga cerita, kalau malam Minggu lalu rumah Juragan Acmad di perempat desa Sendang Biru dibobol rampok . Nggak sempat masuk rumah, tetapi motor tamunya di teras depan diambil, De"

" Apa itu komplotan Timbul ya?. Mudah- mudahan si Timbul ini ketangkep, dari preman kok jadi begal. Walah makin salah itu, bocah..." Seru Bude Ayu kesal.

Asti segera menutup tokonya setelah menyelesaikan sholat Asar. Bude Ayu sempat keliling pasar untuk membeli berbagai kebutuhan dapur. Dari minyak goreng, garam sampai bumbu kering dalam sachet. Padahal sebelumya dia sudah membeli telur satu kg, tempe dan tahu.

Lek No keluar rumah setelah Magrib . Dia berkumpul di depan rumah Pak Haji Anwar bersama bapak - bapak lain. Tadi Bude sempat membuat tempe goreng mendoan agak banyak sehingga dibawa keluar untuk dapat menemani para bapak yang sedang minum wedang kopi yang dibuat Mbak Ipah, ART Bu Haji Anissa.

Berkali- kali Asih mendengar suara sandal Bude yang keluar dari kamarnya. Asti berusaha memejamkan matanya . Walaupun sudah capek. Mungkin rasa penasaran dengan kelanjutan penangkapan Mas Timbul membuatnya tidak dapat tidur nyenyak.

Apalagi Bude Ayu yang sudah dimusuhi anak sulung suaminya almarhum itu dengan alasan yang tak masuk akal. Berkali- kali Asti melihat waktu di HP, tetap saja menit- menit berlalu dengan sangat lambat.

Setiap kali menguap, Asti berusaha memejamkan matanya. Keadaan ini lebih menegangkan daripada menonton film- film aksi produser buatan Hollywood. Sampai agak lama baru matanya terasa semakin berat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!