Asti sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit setelah menghabiskan satu botol infus. Untunglah Bu Haji Anissa sangat telaten merawatnya. Tadi mereka makan nasi Padang yang dibelikan Satrio di kantin rumah sakit.
Dalam keheningan di ruang tunggu itulah, pintu ruang perawatan UGD dibuka oleh seorang perawat bermasker dan memakai sarung kepala. Satrio mendekat saat namanya dipanggil.
Dalam jarak sekian meter dari ruang tunggu tersebut, lamat- lamat dia mendengar orang - orang itu bersahut- sahutan mengucapkan kata "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un"
Air mata dan hanya air mata. Asti hanya merasakan tubuhnya melayang saat dipapah menuju halaman luar rumah sakit. Satrio malah mengangkat tubuh ringan istrinya itu ke dalam mobil.
Ada banyak orang- orang berkerumun di depan sebuah lorong. Tampak sebuah ambulan mendekat dan mendorong masuk sebuah brangkar di belakangnya. Di kursi belakang ada suara tangis Bulek Ratih. Juga suara Ninuk.
Sepanjang perjalanan Asti hanya tercenung menatap jalan di depannya yang mulai sepi menjelang tengah malam. Sirene ambulans yang ada di depannya terasa membelah kesunyian malam.
Sesampai di rumah Bude Ayu sudah banyak tetangga yang berkumpul, terutama para bapak.
Mereka sudah merapikan ruang tengah menjadi kosong dan diberi alas tikar. Di dipan kecil itu jenazah Bude Ayu disemayamkan dengan kain batik tulis kesayangannya. Tepat di tengah ruangan.
Di atas ranjang di dalam kamarnya itulah Asti dibaringkan Satrio.Dengan lembut dikecup bibir istrinya itu.
"Tidurlah sebentar, Kita akan menguburkan Bude Ayu besok siang sebelum Dhuhur. Mbah Sanjaya sama Bude dari Sendang Kanti akan datang sebentar lagi. Bapak sama Ibu masih dalam perjalanan!,"
Terdengar suara - suara kesibukan dari rumah Bulek Ratih. Mungkin karena pengaruh obat yang tadi diberikan dokter yang menanganinya Asti dapat tertidur sejenak.
" Asti! " Panggil Bude Diah, Anak Mbah Sanjaya. Wanita itu tadi melihat Asti yang terbangun . Sejak dia datang bersama orang tua dan suaminya, rumah ini sudah ramai.
Pak Haji dan Lek No berusaha menjelaskan peristiwa yang dialami Bude Ayu pada malam sebelumnya. Di Jendela kamar Bude masih diberi tanda garis kuning, Satrio mempercayakan kasus ini sepenuhnya di tangan Herlambang, sahabat yang menjadi pemimpin di Polsek setempat.
Wanita itu menyodorkan segelas teh hangat yang banyak di sediakan di beberapa meja yang diletakkan di teras depan dan ruang tamu.
"Dia kurang sehat, Lek. Kata dokter tekanan darahnya agak rendah."
Pria muda itu memeluk tubuh istrinya yang masih memakai jaket bomber biru dongker miliknya." Mau mandi, Dek ? aku sudah siapkan air panas."
Dalam keremangan cahaya fajar di ruang tengah terdengar suara merdu Asti yang sedang membacakan Al-Qur'an untuk terakhir kalinya di hadapan Bude Ayu. Wajah budenya tampak bersih, ada sekilas senyum lembut dalam kebisuannya yang abadi.
Para ibu sudah menyiapkan beberapa rangkaian bunga yang diambil dari beberapa halaman tetangga. Dengan cepat halaman samping diberi tutupan dengan lembaran kain dan jarik milik Bude Ayu. Tempat itu akan digunakan untuk memandikan jenazah. Sebab sudah datang dua wanita dari desa tetangga yang pekerjaan sampingan mereka adalah memandikan dan pengurusan jenazah sebelum dikebumikan.
Di ruang tengah itu juga, tubuh Bude Ayu mulai dibungkus kain kafan, setelah selesai dimandikan. Asti duduk lemah di pelukan Ibu mertuanya yang datang tepat pukul 07.00. Para wanita duduk mengelilingi dalam diam. Satu atau dua diantaranya membantu apa yang diminta oleh pengurus jenazah tersebut.
Semakin siang pelayat semakin banyak berdatangan dari beberapa warga di sebelah desa, para pedagang di pasar juga keluarga Koh Edy tanpa Mas Kusno. Rumah itu semakin ramai Dengan berbagai persiapan untuk sholat jenazah di mushola dan persiapan penguburan
Jenazah Bude Ayu sudah diberangkatkan menuju ke pemakaman dengan digotong oleh beberapa perangkat desa secara bergantian. Satrio tetap berada diantara orang- orang itu bersama Lek No.
Mereka semua berjalan kaki, karena letak pemakaman itu itu hanya di belakang desa yang berbatasan dengan kerimbunan hutan bambu. Tetapi Satrio meminta Ninuk untuk membawa motor, takut Asti tak kuat dan pingsan di pemakaman yang jaraknya lebih dari 400 meter. Asti tetap memaksa untuk ikut untuk mengantar jenazah Bude Ayu sampai ke pemakaman.
Tetap ditunggui Satrio, Asti terus terduduk di depan nisan Bude Ayu sambil melantunkan doa- doa. Sampai makam itu kembali sepi setelah para pengantar kembali ke rumah masing- masing.
Beberapa kerabat, sanak saudara dan teman yang mengenal Asti dan Bude Ayu terus berdatangan. Asti diantar Satrio bersih- bersih dan berganti baju. Sebelum menemui para tamu.
Bulek Ratih malah sibuk di dapur sejak pagi tadi bersama ibu- ibu yang lain menyiapkan makan siang untuk orang- orang yang kembali dari pemakaman.
Orang - orang yang baru pulang dari makam bersih- bersih di kamar mandi mushola dan tempat wudhu. Tetapi Lek No dan Pak RT mengiring para bapak itu makan siang yang sudah disiapkan di rumah Lek No.
Berita meninggalnya Bude Ayu disampaikan orang dari mulut ke mulut. Atau melalui postingan dari pak RT, teman- teman semasa sekolah Asti yang tinggal di beberapa desa lain berkat kemajuan komunikasi terutama HP.
Setelah kedatangan teman-teman sekolah Asti yang berasal dari SMP dan SMK, ada rombongan dari rekan kerja Satrio dari kota. Ada lima mobil berbagai jenis yang berlogo kesatuan dinas tempat Satrio bertugas dan dua Pajero yang terparkir di jalan sepanjang rumah duka. Sebuah pemandangan yang sangat berbeda dari rumah duka warga desa kebanyakan.
Asti didampingi kedua mertuanya dan Satrio menyambut kedatangan rombongan itu. Hampir semuanya berbaju dinas hari itu. Dia juga menyambut teman- teman dari sekolahnya dulu
Para pelayat itu membentuk kelompok- kelompok tersendiri di halaman rumah maupun di teras. Sekilas terdengar sindiran dari dua sahabat Asti untuk teman- temannya yang dulu menghujat dan menjatuhkan mental Asti dengan kutukan itu.
" Lihat Asti lebih baik dari kita- kita, kan? Ada suami yang baik, mapan dan berpangkat di sisinya. Itu yang dimaksud perempuan pembawa kutukan?"
Beberapa teman lain berusaha menenangkan. Setidaknya sahabat- sahabat baik Asti dapat mengeyam pendidikan di bangku kuliah. Malah ada yang bekerja di Jakarta. Justru teman- teman dekat Fahira hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Sebab ada dari mereka hanya sekolah sampai lulus SMP- saja. Sedangkan beberapa sahabat Fahira yang sekolah di SMK terpaksa bekerja sesuai dengan lowongan pekerjaan di daerah itu yang sangat terbatas. Kalau tidak menjadi karyawan pabrik, penjaga toko atau buruh kasar di beberapa usaha industri rumahan.
Rombongan teman- teman Asti hampir berbarengan pamit pulang dengan para polisi tersebut. Satrio ikut mengantar rekan - rekannya itu sampai ke mobil masing- masing.Termasuk menunggui pimpinannya yang mengendarai Pajero putih.
"Bulek Ratih?" panggil Asti saat melewati pintu penghubung rumah mereka. Wanita itu masih sibuk mengatur teman- teman Ninuk yang sedang menata bermacam kue di piring- piring untuk para tetangga yang datang setelah Magrib untuk tahlilan di rumah Bude Ayu.
Segera digiringnya Asti menuju. ruangan tengahnya." Makan, ya? Atau Mau dibeliin sate Bu As di dekat perempatan desa sebelah?"
" Jangan, Bu! Mbak Asti lagi hamil nggak boleh makan daging kambing!" Larang Ninuk kaget mendengar tawaran itu.
"Apa? Aku hamil?" bisik Asti bingung.
Bulek kembali memeluk Asti erat- erat. " Satrio belum ngasih tahu, ya? sudah tua juga suamimu, itu!"
" Sudahlah, Asti! Budemu sudah tenang di sana. Sekarang pikirkan dirimu dan anak yang ada di perutmu itu. Jaga dengan benar!" Ujar Lek No mengingatkan.
Suaranya agak bergetar. Menahan rasa sedih dan tak percaya kalau jalan kepergian saudara perempuan yang akan selalu menjadi kakaknya dengan kekerasan dan perampokan.
" Lek, kalau perlu uang bilang aku , berapa butuhnya! Jangan pake uang Lek pribadi. Aku kan keponakannya ya keluarganya juga.!"
" Asti, justru Bude Ayu nitip uang yang cukup besar tiga hari yang lalu sama Bulek. Tadinya mau dipake kemarin untuk beli pupuk di sawah Utara desa. Sebab Lek No nggak sempet ke bank setelah kamu transfer."
" Memang berapa uang yang Bude titip?"
" Hampir lima juta rupiah ..."
Ada helaan napas Asti. " Pake aja Lek, kalau kurang ngomong ke Aku atau ke Mas Satrio, ya. "
Wanita itu mempercayakan semua urusan ke Lek No. Juga saat penghitungan uang takziah tadi. Sebab berbagai pengurusan dari pemanggilan pemandi jenazah, orang yang menggali kubur dan segala macamnya itu perlu biaya atau uang. Belum lagi menyiapkan makan siang untuk puluhan orang. Juga untuk membeli kue- kue dan berbagai keperluan untuk tahlilan di hari pertama.
Asti menikmati sayur oseng kacang panjang dengan potongan tempe dan sambel terasi di meja makan rumah Lek No. Lek No ternyata belum sempat ke Bank sejak Asti mentransfer ke rekeningnya sejak dia menerima pembayaran panen kelapa.
Mungkin kalau dia sudah mengambil uang itu, pasti dini hari Lek No tak ada di rumah. Karena sibuk mengurus sawah untuk musim tanam tahun ini. Mungkin juga berhari - hari kemudian tidak akan mengetahui keadaan Bude Ayu dalam peristiwa itu karena dilakukan secara rapi dan terencana.
Tak lama Satrio menyusul ke rumah Lek No sekaligus memberitahu para tetangga sudah datang untuk acara tahlilan malam ini. Kegiatan itu akan berlangsung sampai malam ketujuh dengan acara terakhir adalah memberikan berkat yaitu nasi yang dimasukan ke dalam kotak lengkap dengan sayur, lauk pauk dan buah.
Masing- masing orang yang ikut acara tahlilan itu membawa berkat saat pulang ke rumah. Sedangkan setelah tahlilan mereka disediakan kue- kue, teh manis hangat kadang rokok kretek .
Reaksi Bude Widyati lain lagi. Dipukuli dada putra bungsunya itu berkali- kali karena menyembunyikan kehamilan menantunya itu. Satrio berkilah takut Asti tak siap menerima berita itu di tengah rasa duka dan kesedihan.
Malam itu rumah sudah sepi dari kunjungan tetangga. Namun Asti berniat tinggal lebih lama ditemani Ibu mertuanya. Semua orang berpendapat kalau Bude Ayu sudah memberi firasat akan umurnya yang tak lama. Lek No yang bersyukur karena dia dan keluarga menjadi bagian dari keluarga Asti.
Tak lama kemudian terungkap motif perampokan yang di alami Bude di rumahnya ini. Ternyata mereka mendengar tentang hasil panen kebun kelapa yang dibayar dengan uang yang cukup besar. Tetapi para perampok kurang jeli. Hasil penjualan zaman sekarang tidak lagi dengan memberi tumpukan uang tunai berjumlah puluhan juta dan disimpan di rumah.
Jendela kamar Bude dibobol dari depan dengan linggis. Padahal jendela kamar Bude itu adalah bentuk jendela kuno dengan kayu jati tebal dan teralis besi rapat.
Tak ada uang di lemari yang disimpan Bude Ayu kecuali di dompet yang hanya berisi uang satu juta rupiah. Tak ada ratusan gram emas millik janda kaya itu, yang mempunyai warisan kebun kelapa dan hektaran sawah yang mengelilingi desa Sendang Mulyo
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 442 Episodes
Comments