Asti cukup bahagia melihat kesembuhan Bude Ayu. Tak peduli kalau wanita itu hanya dapat duduk- duduk saja di dalam toko. Segera saja Asti mulai membongkar belanjaan yang ada di dalam tiga kardus besar. Kehadiran Budenya itu memberi semangat tersendiri.
Sampai gadis itu menyadari kalau sejak pagi tidak melihat Mas Kusno. Di toko emas yang terbilang paling lengkap itu, hanya dijaga oleh Mbak Ruminah dan Mbak Mus . Mau menanyakan keberadaan Mas Kusno pada mereka , Asti malu. Takut sok dibilang perhatian!
Yu Yemi datang membawa nampan yang berisi dua piring nasi dan dua gelas teh manis hangat. Tadi Asti sempat mampir sebentar ke warung nasi itu dan memesannya. Di warung itu ada suami dan anak perempuan Yu Yemi yang masih mengolah makanan untuk mereka jual hari ini. Mereka satu keluarga bekerja bahu membahu demi tercukupinya kebutuhan sandang dan pangan.
Satu dua orang pembeli masih datang ke toko Asti. Sebagian barang dagangan yang baru sudah dipajang dan digantung dengan hanger di depan toko. Bude Ayu menikmati sarapannya. Pasar lebih sepi dari hari kemarin. Jadi suasana lebih lengang, rapi dan teratur.
Bude Ayu beranjak dari duduknya dan keluar toko karena tertarik dengan pembicaraan para tukang becak yang parkir di dekat toko mereka.
" Kusno, kenapa Pakde Kromo?"
Pakde Kromo adalah tukang becak yang paling tua di antara puluhan tukang becak yang biasa mangkal dan mencari penumpang di pasar itu. Dia bahkan diperbolehkan tinggal di sebuah ruangan kosong, yang ada di dekat gudang pasar. Kadang Pakde Kromo juga diminta bantuannya untuk menjadi penjaga malam di pasar itu .
" Dicegat orang , Bu! Hampir kena sabet pisau dari begal itu. Untung di dekat rumah Koh Edy masih banyak orang yang ngumpul, jadi banyak yang menolong!"
" Astagfirullah!" Seru Bude Ayu terkejut.
Beberapa ibu- ibu yang berjualan di sekitar tempat itu pun ramai berkomentar. Sebenarnya jarang ada kejadian pembegalan atau pengeroyokan seperti ini daerah mereka. Biasanya di setiap desa selalu ada kegiatan siskamling secara swadaya. Apalagi ini menimpa Mas Kusno yang notabene hanya menjaga toko emas milik saudaranya. Segala perhiasan emas itu sudah disimpan di brangkas toko dengan pengamanan ganda.
Peristiwa yang dialami Mas Kusno itu ternyata juga sudah didengar oleh orang- orang yang ada di pasar itu. Mulai dari petugas keamanan, para supir pengantar barang sampai beberapa pemilik toko dan pedagang lainnya. Belum lagi para tukang beca dan tukang parkir.
Dua hari kemudian Mas Kusno terlihat kembali ada di belakang etalase toko emas " Gemilang". Tampaknya pria itu mengalami cedera di wajah dan bibirnya, ada bekas memar yang mulai matang membiru. Namun secara umum, pria muda itu baik- baik saja.
Sampai suasana di sana tambah memanas ketika salah satu supir Ibu Fatma melihat kejadian itu. Ibu Fatma membuka toko sembako yang letak tokonya ada di sebelah pasar. Pria paruh baya itu sedang membawa barang dari gudang yang lokasinya dekat dengan rumah Koh Edi.
Beberapa pedagang besar yang bukan asli warga desa setempat, biasanya tinggal di perumahan itu. Perumahan itu jaraknya tidak jauh dari pasar kecamatan itu, bahkan belum seluruhnya lahannya dibangun rumah - rumah pesanan.
Masih ada lahan yang kosong. Biasanya rumah- rumah itu dihuni oleh orang- orang pendatang yang mempunyai usaha atau pekerjaan daerah itu. Oleh karena itu, rumah- rumahnya itu dibangun secara modern dan menarik. Hanya saja, jalan penghubung ke perumahan itu dari jalan raya masih kosong dan sepi. Maklum karena dulunya adalah tanah bekas persawahan. Jadi kalau malam jalan itu agak gelap karena jauh dari pemukiman warga desa.
Pak Prayoga, supir ibu Fatma diminta melapor ke kantor pasar. Mas Kusno yang pernah mahir ilmu bela diri pun masih babak belur dihajar para begal itu. Apalagi kalau orang awam, bisa mati di tempat.
Ternyata begal itu dipimpin oleh Mas Timbul. Dia hanya bermaksud mengintimidasi Mas Kusno yang dinilai turut campur dengan semua permasalahannya. Termasuk membela Bude Ayu.
Pria itu diantar Pak Kholik, si pemimpin pasar dan Mas Kusno yang membawa motor sendiri, melapor ke kantor polsek yang letak kantornya tidak jauh dari kantor Kecamatan. Kira- kira dua km dari pasar.
Asti hanya dapat memeluk Bude Ayu erat- erat. Mata Mas Timbul sudah dibutakan dengan dendam. Semua orang yang menurutnya menghalangi jalan dan rencananya akan dilibas. Tetapi Mas Timbul salah orang!
Mas Kusno yang baru dua tahun ini mengelola toko saudaranya itu bukanlah pemuda kebanyakan. Dia berani melawan para begal itu yang jumlahnya hampir lima orang dan satu orangnya malah membawa pisau. Bahkan Mas Kusno siap membawa persoalan itu ke ranah hukum.
Heboh soal Mas Timbul masih menjadi pembicaraan orang- orang di pasar. Sedangkan memar di wajah Mas Kusno juga sudah mulai memudar. Katanya, dia mendapat kiriman ramuan obat cina dari keluarganya di Madiun.
Asti mendengar kalau Mas Timbul sudah kabur. Saat dicari polisi ke rumahnya. Di sana hanya ada istri dan dua anaknya yang ketakutan saat didatangi petugas.
Pak Haji Anwar dan Pak Kades mulai memperketat keamanan wilayah desa mereka. Malah di rumah Pak Haji ada dua saudaranya yang mempunyai kemampuan bela diri handal ikut berpartisipasi. Mereka juga membantu menjaga keselamatan rumah Asti dan Bude Ayu
Zaman kakek Asti masih menjabat sebagai kades pun, sudah digiatkan kegiatan siskamling mandiri itu. Walaupun kehidupan mereka sederhana, tetapi para warga desa mempunyai banyak harta berupa ternak sapi, hasil kebun dan palawija yang melimpah.
Saat masa - masa sulit kadang ada gerombolan orang - orang dari luar desa datang untuk merampok atau menjarah beberapa rumah penduduk.
Biasanya hal ini terjadi bila terjadi apabila kemarau yang datang berkepanjangan atau gagal panen karena terserang hama wereng dan tikus. Selebihnya karena perbedaan pendapat antara penduduk terutama saat pemilihan kepala desa yang menggunakan politik uang.
Asti patuh saja, saat dilarang berbelanja kebutuhan toko sendirian ke kota terdekat oleh beberapa sesepuh desa. Termasuk dari wejangan Pak Haji Anwar. Lek No dan Ninuk pun jadi pengawalnya. Gadis berusia 15 tahun itu sangat menikmati acara mengantar Mbak Asti berbelanja, sebagai jalan- jalan.
Justru Lek No yang lebih waspada selama dalam perjalanan mengawal Asti. Teleponnya selalu ada di saku dan dalam keadaan hidup. Nanti dia akan menghubungi Pak Haji Anwar dan orang- orang terdekat bila ada kejadian penting yang tak bisa ditanganinya sendiri.
Pada Minggu sore, di rumah Bude Ayu ada tamu seorang perempuan muda yang membawa motor matik yang sudah sangat tua.
Ninuk berlari - lari mencari Bude Ayu dan Asti yang sedang ada di kebun Kelapa. Ternyata Lek No mendapat borongan untuk panen kelapa dari pedagang dari desa lain. Mereka sedang tawar - menawar harga untuk mencapai kesepakatan bersama.
"Bude Ayu, Mbak Asti. Dicari sama Mbak Nani !" teriak Ninuk terengah-engah.
Jarak rumah mereka ke kebun kelapa di belakang rumah sebenarnya tidak terlalu jauh. Tetapi untuk mencapai tempat ini, harus melewati pematang sawah yang licin, semak- semak dengan pohon kacang Koro yang merambat di pagar- pagar bambu sebagai pembatas tanah antara sawah milik Bude Ayu dengan tanah warga lain.
Mendengar berita anaknya, Lek No segera siap siaga. Dia segera berjalan cepat menghampiri Ninuk yang masih perlu berbelok lagi karena ada sendang di dekat kebun itu.
" Nggak apa- apa, Pak! Mbak Nani datang sendirian, katanya perlu menemui Bude Ayu! "
Bude Ayu malah bertatapan dengan Asti dan Lek No. Dia agak bingung.
Mau apa isteri di Timbul mencarinya? Apa mau menambah masalah lagi? Sebenarnya wanita itu sudah cukup lelah menghadapi sikap dan perilaku dari para anggota keluarga mantan suaminya itu!
Kalau dulu tidak ada paksaan dari almarhum ayahnya untuk menerima lamaran pak Kushari itu, malas dia menikah lagi. Oleh karena itu, dia hanya menikah secara agama saja agar tidak berbelit- belit, bila ada masalah di pernikahannya nanti. Apalagi statusnya hanya istri ketiga dari Pak Kushari yang berniat mencalonkan dirinya kembali menjadi jadi kades di desa sebelahnya dengan modal kekayaan yang cukup banyak.
Ternyata almarhum ayahnya dulu, merasa berhutang budi dengan kebaikan pria terkaya di desa sebelah. Almarhum Harjo Winangun itu juga tidak terlalu suka dengan status janda yang disandang anak perempuan sulungnya itu. Setelah Ayu Sulaksmi bercerai dengan suaminya pertamanya yang masih bertugas di ketentaraan.
" Bude. Maafkan, Nani!"
Terdengar suara wanita yang tadi duduk di teras depan sambil menunggu kedatangan Bude Ayu.
Asti terkejut melihat penampakan istri dari Mas Timbul itu. Dia berlari menyambut kedatangan Bude Ayu yang muncul lebih dulu dari samping rumah. Sementara Asti dan Ninuk berjalan lebih cepat di belakang Bude Ayu
" Nani, Ayok kita ngobrol di dalam saja! Nggak enak di sini! Nanti, jadi tontonan orang banyak."
Bude Ayu dengan hangat menarik bahu Nanik untuk masuk ke dalam ruang tamu . Dia segera menyalakan lampu ruang tamu agar lebih nyaman berbicara di tempat itu.
Ninuk menatap Asti bertanya- tanya. " Itu istrinya Mas Timbul kan?
Katanya bunga desa Sendang Ranti? Kurus kering kayak kayak gitu. Mirip orang nggak makan sebulan."
" Sst! " Asti menyuruh Ninuk diam.
Segera ditariknya tangan gadis remaja itu menuju dapur. " Buat teh manis tiga gelas. Nah, itu kuenya."
" Hum, enaknya, tinggal nyuruh aja!"
Tampaknya Ninuk mau menolak permintaan Asti. Sebab Asti mau ke kamar tamu juga , selain mendengar permasalahan Mbak Nanik, juga untuk berjaga- jaga.
" Ya, Udah. Minggu depan nggak usah ikut ke Yogyakarta, ya?"
Bibir Ninuk langsung mencebik kesal " Ih, Mbak Asti nggak adil..."
" Biarin... Bulek Ratih nggak nolak, kok kalau diajak plesiran ke sana. .."
Ninuk berbalik ke dapur sambil menghentak- hentakkan kakinya. Ternyata dia mau tahu juga berita ini. Awas saja kalau sampai hal ini dijadikan bahan gosip dengan temen - temen satu gennya!
Kata Joko sih teman- teman kumpul adiknya itu disebutnya gen nggak jelas! Atau kelompok remaja labil. Maklum kalau Ninuk sudah ngumpul dengan temanya itu selalu saja heboh dan ramai.
Mbak Nani sambil menangis tergugu sambil terus mengucapkan beberapa kali kata maaf. Dia menceritakan keadaan hidupnya dengan kedua anaknya yang sudah tak punya apa- apa lagi.
Mas Timbul kabur dari rumah setelah ada temannya yang bekerja di polsek memberitahu kalau dia akan ditangkap karena terlibat pengeroyokan dan perampokan.
Ternyata pada peristiwa pembegalan dan pengeroyokan itu, dipimpin oleh Mas Timbul . Dia juga berhasil merampas HP dan dompet Mas Kusno. Sehingga permasalahannya menjadi lebih berat karena termasuk tindakan kriminal.
" Maaf, Bude Ayu! Ibu yang selalu menghasut Mas Timbul agar menolak saat Bude masuk dalam keluarga Pak Kushari."
"Maksud kamu, Ibu Ratmi atau Ibu Condro?"
Asti tahu, Bude Ayu menyebutkan kedua nama kakak madunya itu. Tetapi Nanik menggeleng lemah. Buru- buru wanita itu menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya.
" Ibu saya, Bude! Ibu Sriyatun..."
Dahi Bude Ayu semakin berkerut karena bingung. Sungguh dia tidak mengenal kedua orang tua Nanik yang tinggal tiga desa jauhnya dari tempat mereka tinggal. Desa itu lebih ke arah selatan dari pasar kecamatan. Malah berbatasan ke arah Jawa Timur.
"Ibu dan ayah saya mengenal Pak Harjo Winangun almarhum. Tetapi tidak suka ketika bapak Mas Timbul menikahi Bude Ayu. Sebab nanti pembagian warisan untuk Mas Timbul berkurang karena ada tiga istri yang juga mendapat hak yang sama. Belum lagi dibagi empat orang adiknya!"
" Sebentar," sela Bude Ayu cepat.
"Kamu dan ibumu membicarakan warisan, sementara Pak Kushari sendiri masih hidup?"
Nani tertunduk malu. Padahal Nanik dan Timbul sudah menikah selama satu tahun ketika Bude Ayu datang ke rumah besar itu sebagai pengantin baru
" Serakah dan tamak" Ujar Bude pelan. " Terus kalian itu maunya apalagi ?"
" Tolong cabut laporan untuk Mas Timbul, De! Kami sudah nggak punya uang. Mas Timbul sudah sebulan lalu nggak pernah pulang dan nggak ngasih uang belanja."
" Nanik, saya nggak pernah ngelaporin suamimu itu ke polisi, ya! Berapa kali suamimu memaksa minta uang kepada saya. Tetapi perbuatan si Timbul pada Kusno sudah perkara kriminal. Penjara adalah tempat yang pantas untuk suamimu !"
Air mata Nanik menetes lebih deras lagi. Dia bisa melihat kalau rumah tua bergaya joglo ini dibangun dalam masa jayanya keluarga Bude Ayu sebelumnya, yaitu Kakeknya Saridin Yosafat Winangun.
Rumah bernuansa Jawa kental ini mempunyai ruangan yang sangat luas untuk menerima tamu dan keluarga. lantainya diberi keramik hijau , sementara di teras depan adalah lantai yang terdiri dari tegel motif bunga - bunga merah dan hijau. Model lantai jaman dulu yang kini kembali trend sekarang.
Sebagian besar perabotannya terbuat dari kayu jati utama dengan berbagai ukiran yang rumit. Mulai dari seperangkat kursi dan meja tamu, lemari pajangan besar dan beberapa lemari kaca dengan beberapa hiasan antik.
Di ruangan tengah ada gebyok besar menuju ruang dalam yang menghubungkan beberapa kamar tidur, ruang makan dan dapur. Di pintu belakang ada lahan terbuka luas yang dipenuhi berbagai tanaman cabe, tomat dan rempah- rempah dalam pot hitam besar. Juga tanaman sayu- sayuran.
Selain ada atap belakang rumah Lek No yang menjadi pemandangan di belakang rumah . Dari belakang rumah itu terdapat pemandangan hamparan sawah hijau yang luas. Belum lagi berbagai tanaman keras selain kayu jati dan kelapa yang berada di pinggiran sawah itu.
" Maafkan kami, Bude! Ibu selama ini terus menghasut Mas Timbul. Saya juga heran kenapa Bude mau saja jadi istri ketiga pak Kushari sedangkan Orang tua Bude Ayu orang kaya dan terpandang di desa Sendang Mulyo?"
"Saya juga nggak ngerti dengan kemauan ibumu. Padahal sebagai anak pertama dan anak laki- laki Mas Timbul itu sudah mendapat bagian yang lebih besar daripada adik- adiknya." Ujar Bude Ayu kesal. Dia paling tidak suka berbicara harta atau warisan.
"Saya tak pernah melarang Pak Kushari memberi rumahnya yang di dekat pasar untukmu, memberi anak sulungnya itu mobil. Belum lagi berkali- kali minta modal usaha. Mungkin nilainya sampai puluhan juta. Mana usahanya? Bangkrut kan? "
Mbak Nanik menengadahkan wajahnya. Mukanya yang dulu cantik dan bersinar cerah itu sudah menjadi kusam dan mempunyai flek dan jerawat. Tubuh yang dulu padat dan berisi kini sangat kurus, seakan hanya tulang belulang saja.
Bahkan gaun gamis yang dikenakannya itu dulu mungkin bisa berharga ratusan ribu rupiah, sekarang lebih mirip kain lap di dapur saking seringnya dicuci lalu dipakai
"Kami harus membiayai Ibu berobat , Bude. Ibu dirawat di Solo karena ginjalnya bermasalah."
" Apakah ibumu dulu bersekolah di SMPN dekat terminal pinggir kota?"
Nanik mengangguk pelan."Suami ibu saya adalah Pak Junaidi. Dulu bapak sewaktu muda pernah melamar Bude Ayu. Tetapi ditolak Pak Harjo Winangun"
" Saya tahu, sebab waktu itu saya sudah terikat janji dengan pria lain. Calon suami saya itu sedang menjalani pendidikannya di Magelang selama dua tahun. Nggak mungkin juga saya menerima lamaran pria lain."
" Selama menikah dengan Bapak, ibu merasa tidak dicintai. Sebab ibu hanya menjadi pilihan kedua di kehidupan bapak."
Sedikit demi sedikit Bude Ayu mulai dapat menarik benang merah dari berbagai persoalan dalam hidupnya . Ya Tuhan, setitik iri dan kebencian ini telah menimbulkan badai amarah yang menyebabkan semua kerusakan!
Alangkah kebencian Ibu Sriyatun itu tidak hanya merusak hidup Timbul sehingga menjadi buronan. Malah anak dan istrinya sekarang terlantar karena tidak adanya kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah di keluarga mereka
Dulu sekali, Bude Ayu adalah Kembang Desa Sendang Mulyo. Dia hanya dapat menamatkan pendidikannya sampai SMP. Itupun sudah merupakan prestasi tersendiri bagi warga desa mereka. Karena zaman itu pendidikan agak mahal. Hanya orang- orang yang cukup berada mau menyekolahkan anak mereka.
Banyak pemuda yang melamarnya, tetapi Pak Harjo sangat ketat untuk memilih calon suami terbaik bagi anaknya. Hati Bude Ayu Sulaksmi terpaut pada Rahmat Sodiq.
Pria itu telah bertahun- tahun meninggalkan desanya untuk bersekolah SMA di kota. Pria itu juga terpilih saat mendaftar menjadi tentara di sebuah kesatuan. Saat melamar Bude Ayu, pria itu juga harus menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun . Jadi Bude Ayu harus sabar menunggu.
Mbak Nani akhirnya pamit pulang saat hari sudah mulai sore. Tadi dia menolak Bude Ayu yang memberinya beras, lauk pauk kering dan mie instan. Malah Bude Ayu itu menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke tangannya. Uang itu diterima Nanik seperti orang yang kehausan di padang pasir dan diberi air segelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 442 Episodes
Comments