Kehidupan di Tanjung Karang sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan pada waktu di Pekanbaru. Di Pekanbaru Heni begitu tertutup tidak ada bergaul dengan para tetangga.
Di Tanjung Karang, tetangga berdatangan ingin tahu dan kenal dengan warga yang baru datang, silaturahmi sungguh sangat kompak dan terjaga, para tetangga peduli dan saling tolong menolong, sebenarnya Heni ingin menutup diri dengan para tetangga, karena bila mereka datang pun berkunjung ke rumah pasti akan banyak bertanya, ini siapa?, anak nya berapa?, pekerjaan nya apa?, banyak pertanyaan lagi.
Tetapi karena tetangga sendiri yang berinisiatif datang ke rumah Heni, mau tidak mau terpaksa Heni, Steven dan Dikta harus meladeni, dan menjawab dengan baik segala pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
To...tokk..tokkk...
Pintu diketuk.
Agak kesal Heni beranjak dari tempat tidur nya, karena ini sudah kesekian kalinya tamunya datang tidak habis-habis datang untuk bersilaturahmi sekedar berkenalan karena ingin tahu tamu yang baru datang yang tinggal dekat dengan mereka, sebenarnya sih bagus, karena mungkin mereka takut apabila orang baru yang tinggal dekat rumah mereka seorang *******, sungguh akan menggangu kenyamanan mereka.
Tetapi karena tamunya terkadang tidak melihat kebutuhan Heni, ingin sekali beristirahat dengan total karena telah lelah dengan kondisi yang tidak nyaman tidur selama 3hari dalam perjalanan.
Dengan keadaan terpaksa dan berat hati Heni membukakan pintu dan menyapa siapa tamu yang datang mengunjunginya.
Sekali lagi pintu diketuk
tok....tok ..tok ...
"Iya.. sebentar" sahut Heni.
Dengan setengah berlari Heni pun membukakan pintu.
krek...pintu dibuka.
"Ada apa Bu?" sapa Heni dengan senyuman.
"Iya Bu, saya tetangga ibu yang berada 3rumah dari sebelah kiri rumah ibu" jawaban ibu baju merah tersebut.
"Oh iya, salam kenal ya Bu, saya Heni, dengan ibu siapa ini?" tanya Heni dengan ramah dan penuh senyuman manis sambil mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menjabat tangan .
"Oh iya, saya Ibu Dina Bu" ucap Dina memperkenalkan dirinya dan meraih tangan Heni.
"Oh ya ibu, sendirian tinggal disini?" tanya Bu Dina ingin tahu.
"Saya tinggal bersama anak dan menantu saya Bu" jawab Heni.
"Oh iya Bu, ini ada sedikit makanan mana tahu ibu belum sempat belanja karena masih repot untuk bersih-bersih dan berbenah" Bu Dina menyodorkan sebuah rantang kecil berisi lauk dan sayur.
"Oh, terimakasih banyak ya Bu, jadi merepotkan ibu" Heni senang menerima rantang tersebut, sangat lumayan, pikirnya.
Heni memang belum sempat memasak, karena belum belanja peralatan dan perlengkapan memasak.
"Oh ya Bu, jangan sungkan-sungkan ya Bu, apabila ada sesuatu yang dibutuhkan" Bu Dina menawarkan.
"Oh iya Bu, terimakasih banyak Bu atas perhatiannya kepada keluarga kami" ucap Heni.
Bu Dina pun segera pamit untuk permisi karena "memang ini adalah jam tidur siang, mungkin Bu Heni ingin beristirahat karena masih lelah dan letih selama masa perjalanan berhari-hari", pikirnya dalam hati.
"Saya pamit pulang ya Bu" ucap Bu Dina sambil berlalu meninggalkan Heni.
Heni pun masuk ke rumah, dan meletakkan rantang itu diatas meja makan dan segera kembali ke kamar nya untuk beristirahat.
Enam bulan berlalu, tibalah saatnya bagi Dikta untuk melahirkan anaknya.
...****************...
Segala perlengkapan bayi dan keperluan untuk kebutuhan Dikta dan bayinya sudah di lengkapi.
Hari ini proses lahiran telah direncanakan dan ditetapkan, karena Dikta akan melahirkan secara operasi.
Sehari sebelum operasi, Dikta sudah dibawa ke rumah sakit, termasuk Heni dan Steven selalu siaga menemani Dikta dan memenuhi kebutuhan Dikta selama di rumah sakit.
Sebelum operasi Dikta masih diperbolehkan untuk makan dan minum, terkadang Dikta begitu manja kepada Steven, ini kesempatan baginya untuk bisa diladeni dan diperhatikan Steven, pikirnya.
Dikta pun merengek minta disuapi,
"Kak, tolong bantu Dikta makan dong, Dikta kepayahan megang sendoknya karena tangan Dikta di infus, lagian Dikta susah untuk duduk tegak, hanya bisa duduk setengah rebahan", pinta Dikta manja.
Steven menurut saja apa yang diperintahkan Dikta. Dikta pun lahap bila ada Steven di sampingnya. Kalau Heni yang menjaga Dikta, Dikta tidak berani lagi bermanja-manja dan merengek minta ini atau minta itu, sejak Heni tahu Dikta hamil, Heni dingin dan sekedarnya saja menyapa Dikta.
Tok..tokkk ketuk suster dan langsung masuk memberitahu.
"Selamat pagi Bu, Pasien sudah tidak boleh makan dan minum ya, sekarang sudah memasuki masa puasa" ucap suster jaga memberi tahu keluarga pasien.
"Baik suster" jawab Heni.
Mendengar itu Dikta sedikit khawatir dan ketakutan, "Ma.. Dikta takut ma" ucap Dikta pelan, sebenarnya Dikta ingin sekali memeluk mamanya, Dikta rindu bermanja dan merengek-rengek di depan mamanya, karena kesalahannya, Heni menjadi cuek.
" Sudahlah jangan cengeng" jawab Heni ketus. Heni pura-pura cuek kepada Dikta, Sebenarnya Heni juga kasihan melihat Dikta, diusia muda Dikta sudah hamil. Wajar sekali Dikta takut karena ini awal pertama Dikta operasi, dan memang putri kesayangannya itu memang orang nya penakut.
"Ma, maafkan Dikta ya ma, sudah membuat mama kecewa, Dikta minta maaf mana tahu ini saat terakhir Dikta, mama mau kan maafin Dikta?" ucap Dikta sedih sambil meneteskan air matanya, Dikta ingin minta maaf, karena ruang operasi itu adalah taruhan hidup dan mati.
Mendengar perkataan Dikta seperti itu, Heni pun jadi luluh. Heni sadar kalau tidak ingin kehilangan anak-anaknya, anak-anak nya adalah harta terakhir miliknya. Tidak ada seorang ibu yang menelantarkan anaknya, sebesar apapun kesalahan anak nya, ibu selalu memaafkan kesalahannya.
Heni pun lantas memeluk Dikta " Mama sudah memaafkan kamu, kamu jangan mikir yang aneh-aneh ya, tetap semangat dalam menjalani, tidak akan terjadi apa-apa, kamu akan baik-baik saja kok" ucap Heni menyemangati Dikta sambil memeluk erat putrinya .
Dikta senang sudah di peluk Heni, begitu erat Dikta memeluknya dan menciumi ibunya sambil tersenyum bahagia " Terima kasih ma, atas kasih sayang mama selama ini" ucap Dikta tersenyum.
Heni tidak ingin ini adalah momen terakhir dia bertemu dengan Dikta, Heni berdoa dalam hati "Tuhan jangan kau ambil putriku, aku menyayangi nya Tuhan".
Dikta pun semakin lama semakin lemas dan akhirnya tertidur pulas, karena bius telah berfungsi, waktunya Dikta akan di bawa ke ruang operasi.
Steven dan Dikta menunggu di luar kamar operasi dengan perasaan yang tidak menentu, ada takut, khawatir bercampur sehingga untuk makan pun Heni dan Steven tidak berselera, mereka tidak sabar menunggu kabar dari ruang operasi.
Heni ingat Saat melahirkan Steven dan Dikta, tidak pernah melalui operasi, selalu dilakukan Heni dengan cara normal, karena usia Heni memasuki usia normal ketika menikah dan melahirkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments