Tibalah waktunya keluarga Steven harus pindah ke luar kota, sebelum perut Dikta membuncit semakin membesar dan diketahui oleh para tetangga.
Waktu untuk pindah ke daerah yang di tuju telah di tetapkan oleh Heni, bahwa mereka akan pindah ke Tanjung karang, karena Heni merasa di daerah tersebut tidak ada sanak saudara yang akan mengenali mereka.
Dari rumah mereka berangkat menuju terminal, ada ketakutan bagi Heni, karena dia sama sekali tidak pernah ke daerah itu, sangat berlawanan bagi Steven dan Dikta, mereka merasa ibunya, Heni telah mengetahui seluk beluk daerah tersebut, dan bahkan tempat tinggal disanapun sudah jelas.
Sampailah mereka di terminal, tiket bus yang menuju daerah tersebut telah diambil. Steven dan Dikta duduk berbarengan, sedangkan Heni memilih untuk 1 bangku berada di belakang anak-anaknya.
Heni merasa ingin sendiri, merancang segala sesuatu, membayangkan di otaknya apa-apa kira-kira yang perlu dibenahi.
Datang seorang wanita separuh baya duduk di samping Heni, sambil mencocokkan no bangku dari tiket yang dipegangnya bertanya kepada Heni "Bu, Apa benar ini no bangku 24-25?" tanya wanita itu sambil menunjuk no yang tertulis di dinding bus. kepada Heni, Heni yang tadinya sedang menyandarkan kepalanya dan menutup matanya seolah tertidur, padahal ingin sedikit membuang rasa ketakutan dan stress dalam pikirannya.
Henipun terperanjat, mendengar ada suara memanggil kearah dirinya dan melihat siapa yang telah memanggil dirinya tersebut "Benar Bu" Heni mantap menganggukkan bahwa pernyataannya benar. Wanita separuh baya tersebut pun langsung duduk disebelah Heni.
"Mau berangkat kemana Bu?" tanya Heni penasaran, "barangkali satu tujuan aku bisa menanyakan rumah yang akan di kontrakkan kepada wanita ini", pikir Heni dalam hati.
"Mau ke Tanjung Karang Bu" wanita itu menjawab dengan senyuman.
"Saya mau ke Tanjung Karang juga Bu" tanya Heni tersenyum bahagia. "Ternyata satu tujuan, baguslah", pikirnya girang.
"Ibu tinggal di jalan apa?" tanya balik wanita itu.
Heni pun diam tidak bisa menjawab pertanyaan wanita tersebut.
"Saya tidak tahu Bu, sebenarnya sesampainya disana saya mau langsung mencari rumah kontrakan, ibu ada tahu rumah kontrakan sekitaran rumah ibu?" tanya Heni berharap.
"Oh, Kebetulan memang dekat rumahku ada rumah yang di kontrakkan, tetapi maaf kalau boleh tahu mengapa tiba-tiba ke Tanjung Karang Bu?" tanya wanita itu ingin tahu.
"Anak saya ada proyek tiba-tiba ke Tanjung Karang, maksudnya membantu mencari tempat tinggal nya Bu" jawab Heni mencari alasan, agar tidak dicurigai yang tidak-tidak.
Takut wanita itu banyak bertanya lagi, buru-buru Heni memotong memberi pertanyaan.
"Oh ya lupa, ternyata kita belum berkenalan nama saya Heni Bu, nama ibu siapa?" tanya Heni mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Nama saya Tari" jawab wanita itu menjabat tangan tari sambil tersenyum.
"Ibu Tari ke Pekanbaru ada urusan apa? tanya Heni menghindari keheningan.
"Anak saya ada tinggal di Pekanbaru, saya nengokin karena cucu lahir, sekalian nungguin sampe aqiqah" jawab Tari antusias.
"Enak dong Bu, sudah punya cucu" ucap Heni menambahi obrolan.
Tari hanya senyum-senyum bahagia, Memang kalau sudah punya cucu, rasa tanggung jawab kepada anak serasa sudah selesai.
"Kalau ibu Heni, ke Tanjung Karang sendiri?" tanya nya ingin tahu, karena kelihatan nya memang sendiri, pikir Tari.
Agak lama Heni terdiam dan berpikir, "Kalau mengatakan yang sebenarnya, bukan kah Bu tari akan menjadi tetangga nya nanti, jadi harus membohongi Bu tari", pikir Heni di benaknya.
"Aku bersama anak dan menantuku, menantu ku sekarang sedang mengandung, yang kandungannya berusia 3 bulan.
"O.oh. Sebentar lagi akan menimang cucu dong" ucap Bu tari senang.
Heni pun membalas senyuman itu. dengan senyum-senyum
"Masih lama kita nanti tiba di Tanjung Karang Bu? tanya Heni ingin tahu.
"Masih lama Bu, Tanjung Karang kalau tidak ada kendala mungkin 2-3 hari nyampe" ucap Tari yakin.
Heni pun manggut- manggut mengiyakan perkataan Bu Tari.
Heni dan Tari ternyata cocok, perkataan mereka saling yambung, dan percakapan mereka jadi meluas dari pembicaraan anak hingga ke presiden.
Tidak habis-habis topiknya, terkadang mereka saling tertawa, sangat bertolak belakang dengan Steven dan Dikta.
Mereka saling diam tidak ada topik yang menjadi perbincangan mereka, Dikta yang sedang hamil, terkadang mengeluh ingin muntah dan perutnya sedikit mules. Sesekali Steven mengusap pundak Dikta dengan minyak angin, agar rasa ingin muntah nya bisa hilang. Karena merasa lemas, Dikta pun menyandarkan kepalanya di pundak Steven.
Steven membiarkan saja, Steven ingin mencoba terlelap tetapi tidak bisa, rasa kantuknya ada, tetapi mata tidak bisa terpejam, hanya bisa memandangi dari samping jendela bus, pemandangan gunung, bahkan jalanan yang mereka lalui, matanya tidak bisa terpejam, pikiran nya tertuju kepada Angelica, rindu yang mendalam Steven rasakan saat ini, terkadang ditepisnya rindu itu, atas apa yang terjadi pada dirinya, "Masih bisakah aku bertemu dengan Angelica", pikirnya di benaknya
Setelah tidak ada lagi topik pembicaraan yang ingin diucapkan, Heni dan Tari tertidur pulas, terkadang kepala Heni bersandar ke pundak Tari, dan sebaliknya bergantian.
Hari ke 3 perjalanan mereka, Sampailah di Tanjung Karang, seluruh penumpang turun, termasuk Heni dan keluarganya, haanya menuruti Tari, dari belakang, karena Tari akan menunjukkan rumah sewaan untuk Heni dan anak-anaknya.
Mereka pun naik angkutan menuju rumah Tari. Tidak beberapa lama sampailah di rumah Tari, Sebentar di rumah Tari, kemudian Tari menunjukkan rumah yang akan dikontrak Heni dan anak-anaknya.
Melihat dari dalam hingga luar rumah, lumayan luas dan sedikit mewah, karena memiliki bak mandi dan shower untuk mandi, Heni pun setuju dan merasa tertarik untuk menempatinya, disepakatinya mengenai kebijakan dan pembayaran uang sewa.
Heni dan anak-anaknya bersyukur bisa ketemu dengan Tari, karena kalau Tari tidak ada mungkin mereka akan sementara tinggal di terminal, menunggu hingga dapat rumah kontrakan.
Kini Heni dan anak-anaknya sudah bisa menempati rumah kontrakan yang telah dibayar kan pembayaran uang sewanya, Heni pun juga tidak bingung mencari tempat belanja sembako dan keperluan lain,
karena bisa bertanya dengan Tari.
Dari pertemuan Heni dengan Tari, Heni belajar, ternyata begitu menyenangkan bila ada kenal dengan tetangga, selama ini Heni tidak pernah bergaul dengan tetangga karena merasa sakit hati dan dendam, karena keluarga Heni di sepelekan dan disisihkan karena miskin.
Karena akar kebencian dan sakit hati masih merasuki pikiran Heni, dalam benaknya Heni berburuk sangka "Mungkin karena aku terlihat seperti orang kaya, makanya Tari baik mau menolong aku, coba kalau aku berpakaian seperti gembel, mungkin Tari pun akan sama seperti yang lain, menyepelekan aku dan menyisihkan aku".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments