Steven dan Dikta Sama-sama bingung, pusing atas karena Dikta muntah-muntah. Dikta dan Steven tidak pernah memikirkan hingga sejauh ini, mereka hanya peduli untuk memuaskan nafsu mereka, akal logika sudah tidak dimiliki lagi.
"Sekarang fokus memikirkan, bagaimana cara untuk menggugurkan kandungan Dikta" gumam Steven dalam hati.
Setelah Heni pulang dari apotek, Heni menghampiri Putri kesayangannya, Dikta "Bagaimana keadaan kamu sayang apa sudah baikan?, atau selama mama pergi ke apotek apa kamu ada muntah?" tanya Heni.
Dikta pun mengangguk dan menunduk lemas "masih muntah ma" jawab Dikta lemas.
"Apa kamu ada makan, makanan yang sudah kadaluarsa?" tanya Heni penasaran, mana tahu penyebab Dikta muntah-muntah bisa jadi keracunan makanan, pikirnya dalam hati mencoba menebak.
"Tidak ada ma, Dikta makan, makanan yang mama masak setiap hari" ucap Dikta.
"Jadi gara-gara apa dong kamu muntah-muntah" tanya Heni kesal.
"Atau jangan-jangan kamu hamil" Heni asal ngomong.
"Iiihhhh ada-ada aja deh" Dikta mencoba menutupi.
"Barangkali aja, terus gara-gara apa dong" tanya Heni bingung dan pusing.
"Dikta kan dirumah terus ma" Dikta coba membela diri.
"Barangkali aja, kamu diam-diam pergi sama temen kamu, tanpa sepengetahuan mama" mama terus menebak-nebak mencoba mencandai putri kesayangannya.
"Mama nggak lucu deh" Dikta mengelak dan semakin gelagapan mendengar tuduhan-tuduhan Heni.
Setelah memberikan obat untuk meredakan masuk angin pada Dikta. Steven bermaksud untuk keluar rumah sebentar "Ma, Steven keluar dulu sebentar ya, ada yang mau Steven cari" Steven pamit.
"Ok, hati-hati di jalan ya, jangan ngebut dijalan" nasehat Heni kepada anak sulungnya, Steven.
Steven bermaksud untuk membeli testpack untuk memeriksa kehamilan, apakah Dikta benar-benar hamil.
"Iya ma" teriak Steven sembari mengambil kunci sepeda motor yang diletakkan mama ketika pulang dari apotek.
"Ma, Dikta istirahat di kamar dulu ya, badan Dikta lemas, pengen rebahan aja" Dikta pamit ingin segera istirahat dikamarnya.
Heni pun lalu meneruskan pekerjaannya mencuci piring setelah sarapan tadi dan segera masuk juga ke kamar ingin istirahat atau sekedar nonton sambil rebahan, karena masing-masing kamar mempunyai Televisi.
Tidak beberapa lama Steven pun kembali dengan membawa testpack yang dibelinya dari apotek.
Pelan-pelan Steven melangkah menuju kamar Dikta, takut Heni kedengaran atas apa yang nantinya mereka bicarakan.
Tok...tok. .."Dikta...Dikta" panggil Steven dengan setengah suara agar tidak kedengaran berisik di telinga Heni.
Krek.... pintu dibuka.
"Ini alat testpack nya, coba kamu test, caranya celupin ke air seni yang sudah kamu tampung pada wadah atau botol" Steven menjelaskan aturan pemakaian nya kepada Dikta, maklum Dikta anaknya kurang bergaul dan terbiasa mengurung diri di rumah, hanya Steven tempat bermain Dikta, karena Dikta pun sering di bully teman-temannya.
"Baik kak" Dikta memperhatikan apa yang di jelaskan oleh Steven dan segera berlalu ke kamar mandi mempraktekkan aturan penggunaan testpack tersebut.
Setelah beberapa menit kemudian, muncul Dikta keluar dari arah kamar mandi dengan wajah tertunduk lemas "Ini artinya apa kak" tanya Dikta bingung.
Sebelumnya Steven sudah membaca segala aturan pemakaian dan arti petunjuk yang tertera dibungkus testpack. Kalau harus 1, artinya negatif, yang berarti tidak hamil, kalau harus 2, artinya positif, yang berarti hamil.
Testpack yang dipegang Dikta menunjukkan garis 2, itu tandanya Dikta sekarang sedang hamil.
Steven lemas tidak tahu harus bagaimana, sekarang Dikta hamil. "Sebelum perut Dikta makin membesar harus segera menggugurkan janin ini, agar mama tidak mengetahui nya" pikir Steven dalam hati, tetapi bagaimana caranya, Steven makin pusing memikirkan semuanya.
"Ahhh" teriak Steven sambil mengacak-acak rambutnya dan segera berlalu meninggalkan Dikta.
Dikta masuk ke kamar dengan wajah lemas dan sedih, tidak tahu harus berbuat apa. Dikta menangis, sekarang baru disadari Dikta bahwa masalah yang dihadapinya sekarang begitu berat.
"Kak Steven mungkin mau bertanggung jawab, tetapi Steven kan kakak kandung ku, hubungan kami sedarah, apa masyarakat bisa menerima kami, kami akan dikucilkan, kami akan diusir dari kota ini, bahkan tidak ada satu lembaga yang bisa mensahkan hubungan kami, bagaimana nasib anak-anak kami selanjutnya, apa kami bisa menutupi nya?" semua beban pikiran itu seperti menghimpit kepala Dikta, sehingga terasa berat.
"Begitu kotornya aku saat ini, aku juga nggak bisa membayangkan betapa marahnya mama bila tahu aku lagi hamil " pikir Dikta sambil menangis. Dikta ingin mandi membersihkan dirinya, mungkin dengan mandi Dikta bisa sedikit lega.
Steven pun tidak karu-karuan tingkah lakunya, mondar-mandir didepan cermin, sesekali menatap cermin, seolah bayangan yang ada dicermin mengejek dan menertawakan nya "Kamu sih, tidak mikirin bagaimana akibatnya di masa yang akan datang, semua karena nafsu, yang membuat kamu jadi buta" bayangan cermin itu seolah mengatai dan menertawakan Steven, dengan penuh emosi Steven lantas memukul cermin itu dengan kepalan tangan nya, sehingga tangan Steven sedikit berdarah, dan cermin itupun pecah berantakan di lantai.
"Ohhh, bodohnya aku, aku telah menghancurkan masa depanku sendiri dan masa depan adikku, kakak seperti apa aku ini" pikir Steven merasa bersalah.
Tidak lama kemudian Steven pun terlintas dipikirannya mencari informasi bagaimana caranya menggugurkan janin, Steven hanya punya cara itu, agar aibnya tidak diketahui mama dan orang lain.
Steven menarik bangkunya dan segera mengambil sikap duduk dan segera membuka laptop nya.
Informasi yang ada di laptop dicatat dan dibaca dengan seksama, dan akan segera memberitahu Dikta. Kemudian segera Steven tancap gas, melaju sepeda motornya untuk membeli obat-obatan sesuai dengan informasi yang Steven dapatkan dari laptopnya.
Setelah semua telah dibeli, Sekarang Steven kembali ke rumah dan segera dengan cepat mengetuk kamar Dikta, sebelum Heni bangun dan keluar dari kamar tidurnya.
tok...tok..tok ..
"Dikta...buka pintunya, ini kakak" teriak Steven dengan setengah suara agar tidak kedengaran Heni.
"Kakak, ada apa" jawab Dikta malas, barusan Dikta terlelap sebentar karena merasa enakan setelah mandi, beban pikirannya pun sedikit berkurang karena terbawa tidur.
"Ini ada obat kakak beli dari apotek, kamu minum secara rutin 3xsehari, jangan sampai tidak di minum. Kamu harus menggugurkan kandungan mu, agar tidak diketahui mama dan orang lain" Steven menjelaskan panjang lebar, Dikta mendengarkan nya dengan seksama.
"Sebenarnya Dikta takut kak menggugurkan nya, apa tidak mengancam nyawa Dikta nanti, terus bagaimana nanti kalau Dikta pendarahan terus, pasti mama juga akan tahu sendiri" ucap Dikta dengan ketakutan.
"Tidak apa-apa Dikta, kandunganmu masih muda, jadi kalau sudah gugur, hanya keluar seperti darah haid saja, begitu informasi yang saya dapat dari laptop " Steven memberikan penjelasan agar Dikta tidak merasa khawatir dan takut.
"Baiklah kak" ucap Dikta pelan.
Steven pun segera berlalu meninggalkanku Dikta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments