Heni masuk ke kamarnya dan meninggalkan Steven dan Dikta di ruang makan.
Heni diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Mengetahui Dikta hamil dan yang menghamilinya adalah Steven, yang merupakan saudara kandungnya sendiri, Heni merasa seluruh badannya terasa lemah tidak berdaya, tidak ada semangat hidup rasanya bagi Heni.
Pindah dari kota ini sementara waktu sudah keputusan yang tepat", pikir Heni di benaknya. Heni menangis dan miris melihat sikap anak-anaknya, tadinya Heni sempat berbangga diri.
Kehidupan yang susah dan menderita telah mereka lalui, sekarang kehidupannya, sudah jauh dari cukup, karena kesuksesan dan kerja keras dari anaknya Steven.
"Tetapi mengapa lah aib ini harus mereka lakukan" Heni tidak habis pikir dan sedikit putus asa.
Apa yang harus kuperbuat" bathinnya dalam hati.
Kandungan Dikta sudah menginjak hampir 3 bulan dan pastinya segala obat-obatan pun sudah di konsumsi Dikta, tetapi kandungan nya tidak juga gugur, ini berarti anak yang ada dalam kandungan Dikta memang harus lahir ke dunia ini, pikir Heni dalam benaknya.
Hingga sore, Heni terus di kamar tidak keluar, bahkan untuk minum sekalipun. Hingga malam Heni tetap tidak keluar.
Tanpa dikomandoi Dikta mengambil kerjaan bagian memasak, karena perutnya pun perlu untuk diisi, Dikta memasak apa saja, sesuai dengan bahan yang tersedia di kulkas, ada ikan nila, cumi-cumi dan sayur kangkung.
"Aku akan masak makanan kesukaan mama, nila goreng dan tumis kangkung cumi", pikir Dikta dalam benaknya.
Setelah makanan selesai di masak tibalah waktunya untuk makan malam, makanan sudah tersaji di meja makan.
"Bang Steven ayo kita makan" ajak Dikta setelah mengetok pintu kamar Steven berulang kali, Steven pun keluar dari kamarnya dan langsung menyusul Dikta menuju ruang makan.
"Bang, tolong panggil mama untuk makan bang, karena sedari tadi mama belum keluar dari kamarnya" perintah Dikta kepada Steven.
Steven pun mencoba mengetuk pintu kamar Heni, karena kebetulan kamar Heni dekat dengan ruang makan. "Ma...makan yuk, Dikta sudah masak ni, masakan kesukaan mama" bujuk Steven agar Heni mau keluar dari kamar nya.
Heni pun belum keluar dari kamarnya. Kembali Steven mencoba mengetuk kamar Heni, "ma...mama..ma... mama" teriak Steven pelan, belum juga Heni keluar, atau sekedar sahutan yang menyatakan bahwa Heni tidak mau makan juga tidak ada terdengar dari balik pintu kamar Heni.
Sedikit khawatir perasaan Steven dan Heni, "jangan-jangan mamanya nekat bunuh diri karena tidak terima tingkah laku dari anak-anak nya," Steven berpikir yang tidak-tidak. Steven pun bermaksud untuk mendobrak pintu, agar segera mengetahui keadaan Heni sebelum terlambat.
Steven pun melangkah mundur ke arah gudang, bermaksud untuk mencari obeng dan palu untuk mencongkel kunci pintu kamar Heni. Sebelum niat Steven terlaksana, Heni pun keluar dari kamarnya. Steven dan Dikta pun langsung memeluk erat mamanya sambil menangis.
"Mama, kami khawatir sekali mama akan pergi meninggalkan kami, kami tidak punya siapa-siapa di dunia ini, mama jangan pernah tinggalkan kami ya" bujuk Steven dan Dikta.
Heni pun tersadar, atas perkataan anak-anaknya, dan langsung ikut menitikkan air mata, bagaimana pun mereka adalah anak-anak ku, Steven dan Dikta masih dalam tanggungjawab ku", bathin Heni dalam hati, seolah luluh segala kemarahan Heni atas tingkah laku anak-anak nya, Heni pun mau ikut bergabung untuk makan malam bersama.
Tanpa basa-basi, dan memang suasana rumah saat ini sangat dingin. Tidak ada yang berani untuk membuka topik pembicaraan, termasuk Steven dan Dikta, sikapnya hanya tunduk sambil mengunyah makanannya dengan pelan, sesekali melihat ke arah Heni, tetapi Heni pun hanya diam seribu bahasa.
Untuk membuat suatu lelucon atau candaan tidak cocok untuk saat ini.
Dikta memberanikan diri untuk membuka topik pembicaraan "Ma, Bagaimana masakan Dikta, enak tidak ma" tanya Dikta takut-takut.
Heni pun hanya diam, terus melahap makanan yang ada di piringnya dengan lahap, karena itu adalah makanan kesukaannya, dan memang Heni tidak sempat untuk makan siang tadi, karena terjadi perselisihan, karena Heni langsung masuk ke kamar dan mengunci diri hingga malam.
"lumayan juga masakan Dikta ini" pikir Heni di benaknya, tetapi Heni tidak mengungkapkan itu, karena Heni masih marah kepada Dikta.
Tidak beberapa lama kemudian Heni berkata dan mengumumkan kepada anak-anak nya "2hari lagi, kita akan pindah ke Tanjung karang, mudah2an disana tidak ada yang mengenal kita, barang-barang kalian yang perlu dibawa, segera paking dan kemasi sendiri" ucap Heni tegas.
Tidak ada yang berani membantah perintah Heni, Steven dan Dikta pun hanya tunduk saja, ibu pun sudah mengungkapkan keputusan itu, untuk menghindari gunjingan tetangga, Steven dan Dikta serentak menyetujui perkataan Heni "Baik ma"
Setelah selesai makan, tanpa basa-basi, Heni langsung meninggalkan meja makan, langsung pergi ke kamar nya.
Suasana hati Heni tidak bisa diungkapkan, begitu putus asa rasanya, serasa hidup tidak ada gunanya.
Apakah bisa diperbaiki?, bagaimana cara memperbaikinya?, Apakah bisa hidup normal seperti biasanya?. Bagaimana kandungan Dikta, kalau dipaksa di gugurkan pasti akan mengancam nyawa Dikta!, Bagaimana kalau anak yang dalam kandungan Dikta lahir, siapa yang jadi ayahnya?, Bagaimana Identitas kependudukan nya?, itu sangat diperlukan ketika anak itu lahir!. Apakah aku harus mengawinkan Dikta dan Steven?.
Pertanyaan itu terus kepikiran diotaknya, seperti tidak ada solusinya, bingung dan putus asa Heni memikirkan nya. "Bagaimanapun aku harus bertanggung jawab dan segera mengambil solusi dan keputusan untuk anak-anak ku" pikir Heni dalam benaknya.
Terlintas dipikiran Heni ingin mengawinkan Steven dengan Dikta, toh kami juga sudah digunjingkan orang-orang dari dulu, orang-orang tidak pernah peduli kepada kami karena kemiskinan dan ketidakpunyaan kami, sekarang setelah keadaan ekonomi kami mapan orang-orang ingin berbalik mau bergaul dengan kami, tetapi kami tidak butuh itu, toh kami bisa berdiri sendiri, pikir Heni dalam hati.
Daripada kesuksesan Steven di rasakan dan dinikmati oleh perempuan lain, biarlah kesuksesan Steven dinikmati oleh adiknya sendiri.
Istilahnya seperti kata pepatah, daripada untuk orang lain mendingan untuk keluarga sendiri, begitu prinsip yang Heni pegang.
"Iya, aku harus mengawinkan Steven dan Dikta, seluruh surat-surat atau berkas-berkas untuk data kependudukan harus di palsukan, ditempat baru aku harus mengatakan bahwa Dikta adalah istrinya Steven.
Tetapi harus butuh surat nikah" pikir Heni dalam hati, pikiran Heni mentok memikirkan solusinya, berarti harus ada yang kawin dari salah satunya, tidak mungkin Dikta, Dikta tidak pernah bergaul keluar atau dengan orang lain, oh iya, bukan kah kemarin Steven mempunyai pacar?" Segala ide telah Heni susun, dan sekarang perasaan Heni sedikit lega dan longgar, karena telah mempunyai solusi untuk masalah Dikta dan Steven. Dadanya tidak terasa sesak lagi, sekarang Heni bisa bernafas lega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments