Pagi yang sangat cerah. Seruni memulai harinya dengan sangat bersemangat. Tapi karena hari ini akhir pekan, dia tidak membuka praktek. Seruni hanya akan jalan-jalan sore bersama Shaka. Sekarang dia terlihat santai membaca buku di beranda rumah Pak Sajad.
Tidak berapa lama, Sayaka tampak mengeluarkan sepeda motor miliknya. Pria itu mengenakan pakaian yang cukup rapi. Bukan pakaian dinas yang selama ini dipakainya untuk merumput.
Melihat tampilan Sayaka membuat Seruni mendekati pria itu dan bertanya, "Abang, mau ke mana?"
"Mau ke pasar, Ndhuk." Sayaka menjawab sembari tersenyum.
"Aku ikut boleh tidak, Bang? Bosen nih." Seruni menampilkan wajah memelas.
"Tapi ini cuma ke pasar, Ndhuk. Mau cari pasangan buat ibunya Runi," jelasnya.
"Runi?" Perasaan Seruni sedikit tidak enak.
"Iya, anak Siti yang kamu bantu kelahirannya. Karena kamu yang nolongin jadi namanya Seruni. Tapi manggilnya Runi saja supaya enak."
Jawaban Sayaka yang polos tanpa beban, membuat Seruni mengelus dadanya. Mengingat jasa orang yang menolong memang sangat penting, tapi sampai menjadikan namanya untuk seekor satwa, entahlah harus bahagia atau merana. mungkin akan sangat mengharukan jika itu anak manusia.
"Ndhuk? Jadi ikut tidak?" tanya Sayaka, menyadari Seruni yang sedang melamun.
"Iya, Bang. Aku ikut."
Keduanya lalu berangkat ke pasar hewan di daerah perbatasan yang tidak terlalu jauh dari dusun di mana Seruni berada. Daerah perbatasan tidak semenyeramkan yang ada dibayangan. Tempat jual beli berbagai barang kebutuhan yang Seruni lewati tadi nampak seperti pasar besar di daerah pinggiran kota besar.
Beberapa saat kemudian, tibalah keduanya di tempat yang memiliki bau yang khas. Apalagi kalau bukan bau kotoran sapi dan kambing. Hampir semua yang ada di sana, mencuri pandang pada arah Seruni. Keberadaan Seruni tentu sangat mencolok di antara para pedagang dan pembeli hewan yang hampir semuanya lelaki. Sayaka yang menyadari itu, terpaksa menggandeng tangan Seruni dengan posesif.
"Abang Sayaka, mau nyari yang bagaimana untuk pasangan siti? Perasaan dari tadi muter mulu?" Seruni bertanya karena sudah 30 menit waktu berjalan, mereka hanya berkeliling dari satu pedagang ternak ke pedagang lainnya tanpa melihat lebih dekat kambing yang mau dibeli.
"Sebentar, Ndhuk. Milih kambing itu juga butuh perasaan. Tidak perlu menyentuh, saat kita melihat pada pandangan pertama langsung tertarik, bisa jadi itulah jodohnya. Mungkin sama seperti saat kita mencari pasangan. Eh, tapi sayangnya aku tidak tahu, apakah kalau cari jodoh manusia juga begitu?" Sayaka pura-pura bertanya, padahal dia sudah merasakan seperti itu saat bertemu dengan Seruni.
"Bisa jadi seperti itu," sahut Seruni dengan cepat.
Sayaka tidak lagi menimpali ucapan Seruni. Matanya sedang berbinar dan terkesima dengan makhluk berkaki empat dengan brewok putih yang sangat gagah. Seolah lupa keberadaan Seruni, dia melepas genggaman tangannya begitu saja, lalu berjalan tanpa menoleh ke belakang mendekati kambing jantan hampir setinggi pinggul Seruni.
Pria itu langsung menanyakan harga pada si penjual. Setelah bernegosiasi akhirnya keduanya menemukan kesepakatan. Pria itu membayar dengan uang yang ada di kantong celananya.
"Astaga, pas!" gumamnya sembari mencoba mencari-cari keberadaan selembar alat tukar berharga di dalam kantong yang lain. Ternyata memang tidak ada.
"Kurang ya, Bang?" tanya Seruni.
Sayaka baru ingat kalau dia tadi memang datang bersama Seruni. "Eh, tidak, Ndhuk. Hanya saja, uangnya pas sekali. Padahal tadi pulangnya pengen ngajak kamu makan." Sayaka menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Owh, kalau Bang Sayaka mau makan dulu, aku ada kok. Abang santai saja." Seruni menepuk bahu Sayaka dengan santai.
"Nggak, Ndhuk. Tidak enak. Nanti malam saja kita jalan-jalan. Mumpung malam minggu," ajak Sayaka, bersemangat.
Seruni ingin sekali mengiyakan, tapi dia sudah terlanjur janji dengan Shaka. Seruni bukan tipikal orang yang mengingkari janji demi sesuatu yang tidak mendesak.
"Nanti aku sudah ada janji sama Bang Shaka, Bang. Lain kali saja," tolak Seruni dengan halus.
Sayaka terlihat kecewa, tapi dia buru-buru tersenyum. Tidak mau sampai Seruni tahu perasaannya yang sesungguhnya.
"Ya Sudah. Kita pulang, yuk!" ajak Seruni.
"Sebentar, kamu tunggu di sini, aku ambil motor dulu, biar jalannya tidak terlalu jauh." Ucapan Sayaka seketika membuat Seruni senyum-senyum sendiri. Merasa sangat diperhatikan, sampai berjalan jauh saja tidak diperbolehkan.
Tidak terlalu lama menunggu, Sayaka nampak datang dengan motornya, Seruni pun segera menghampiri.
"Sebentar Ndhuk. Mau mengambil pasangannya Siti dulu." Seruni memelototkan matanya. Tidak paham sama sekali dengan maksud Sayaka.
Kambing jantan itu kakinya diikat. Lalu Sayaka menggendongnya dengan santai.
"Loh, Bang. Ini kambing tidak dikirim sama yang jual?" Seruni benar-benar heran dan tidak paham.
"Tidak, Ndhuk. Kalau kita beli, ya harus dibawa pulang sendiri. Kamu naik dulu, Ndhuk." Sayaka semakin membuat wajah Seruni kebingungan.
"Terus kambingnya ditaruh mana, Bang?" Seruni sambil duduk di atas jok sepeda motor.
"Tolong kamu pegangin ya. Dia dipangku juga diam, karena sudah kenyang dan kakinya ditali." Sayaka meletakkan kambing itu dengan santainya di pangkuan Seruni.
"Selalu pengalaman yang tidak terduga. Menolak sudah tidak mungkin, menerima sungguh terlalu," gerutu Seruni di dalam hatinya.
Akhirnya motor itu pun bergerak meninggalkan pasar hewan. Kambing jantan yang menurut Sayaka sangat tampan itu tampak tenang di pangkuan Seruni. Bau khas kambing yang menyengat seketika menutup wangi di tubuh dokter cantik itu.
Perjalanan masih 10 menit lagi, tiba-tiba rasa hangat dan basah terasa di paha Seruni. "Bang, dalam perjalanan begini, kambing bisa pup ya?"
"Tentu saja bisa. Kambing bukan kita, yang bisa menahan diri dan menunggu sampai bertemu dengan kamar mandi."
Bukan itu jawaban yang Seruni harapkan. Tentu saja dia tahu kalau seekor kambing sudah pasti tidak mempunyai akal pikiran. Seruni akhirnya hanya diam. Dia memilih untuk tidak berucap apapun lagi. Meski pahanya risih karena butiran kacang menempel di sana. Goncangan demi goncangan malah membuat butiran itu semakin menempel karena tekanan dari si kambing.
Sampai di depan halaman rumah Pak Camat, begitu Sayaka menurunkan kambing, Seruni segera berlari ke kamarnya. Mengambil baju ganti dan segera keluar lagi menuju kamar mandi. Sebagai seorang dokter, memang dia tidak ditakdirkan untuk mudah jijik, tapi pengalaman seperti yang baru saja dia alami, jelas membuatnya geli.
Sayaka duduk di samping Siti. Dia tampak melamun, baru menyadari setelah melihat Seruni buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Dia merasa berkecil hati, seorang dokter, tentu saja berpendidikan tinggi, cantik dan kaya raya. Sedangkan dia siapa?
Sebelumnya Sayaka ingin melakukan pendekatan, merasa usianya cukup untuk menikah. Tapi pantaskah mengejar cinta Seruni? Jika saingannya saja Mayor Shakala, apa yang bisa dibanggakan darinya?
"Sit, aku harus bagaimana, ya? Maju atau mundur?" tanyanya sembari mengelus bulu halus kambing betina kesayangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴
dicoba dulu Sayaka siapa tau seruni juga suka sama kamu
2023-01-14
0
🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴
lengkap sudah penderitaan kamu ser🤭🤣🤣
2023-01-14
0
🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴
ya ampun Sayaka ngajak seruni kepasar cuma disuruh mangku kambing🙈🤣🤣
2023-01-14
0