Seruni Bab 19

Shaka dengan sigap memberikan air mineral pada Seruni. "Minum dulu Ser."

Seruni pun menerima dan meneguk habis isinya. "Terimakasih, Bang."

Rasa lapar yang tadinya melanda, mendadak hilang. Mie instant yang tadinya nikmat, kini terasa hambar. Tapi demi tetap menghargai Shaka, Seruni tetap memakannya hingga habis.

"Maaf ya, Ser kalau kejujuranku ini terlalu cepat. Membuat kamu kaget dan mungkin juga terganggu," ucap Shaka, sedikit menyesali ketidaksabarannya. Sekarang yang terlintas dibenaknya bukanlah takut ditolak, melainkan takut dijauhi oleh Seruni.

"Tidak mengapa, Bang. Mengungkapkan perasaan dan isi hati adalah hak semua orang, termasuk Bang Shaka." Seruni tersenyum tulus pada Shaka. Seperti sedikit memberi kelegaan. Setidaknya, Seruni tidak marah atau kesal pada pria itu.

"Kita nunggu maghrib sekalian saja,ya, nanggung. Cuman kurang 15 menit lagi. Nanti kita memutar jalan sedikit, biar tidak menyebrangi sungai. Ada jembatan bambu di ujung sana" Shaka menunjuk jembatan yang tidak jauh dari tempatnya duduk sekarang. Jembatan dari dua bambu yang berjejer-jejer dan disambung secara tradisional dengan tampar sintetis.

Setelah menyelesaikan makannya, Seruni berdiri melemparkan batu kerikil kecil ke sungai.

"Bang Shaka mau mendengar jawabanku sekarang?" tanya Seruni sembari menatap Shaka dengan lembut tapi tegas.

"Terserah kamu, Ser. Aku berhak mengungkapkan isi hatiku, tapi kamu pun berhak memendam jawabanmu." Shaka membalas tatapan lembut Seruni dengan tatapan penuh kekaguman.

"Saat ini, aku masih nyaman kita berteman, Bang. Pernikahan itu bukan perkara gampang, apalagi bagi kita yang sama-sama abdi negara. Sewaktu-waktu, negara bisa memanggil kita untuk datang ke daerah-daerah lain yang membutuhkan kita. Aku masih ingin mengabdi, karena suatu saat jika waktunya memang harus menikah. Aku akan mengundurkan diri. Aku sepenuhnya akan mengabdi untuk suami dan keluarga." Seruni menolak halus dengan alasan yang sangat masuk akal dan bisa diterima.

Shaka tersenyum mendengar jawaban Seruni. Meski tidak diterima, ini bukanlah akhir baginya. Karena ungkapan perasaannya memang terlalu cepat. Pertemuan mereka belum genap satu bulan. Tentu akan sangat aneh kalau Seruni malah menerimanya.

"Abang, tidak marah kan? Tidak akan pernah ada yang berubah. Kita berteman seperti biasa, Aku anggap tidak mendengar apa-apa tadi. Bang Shaka bisa menyimpan pernyataan itu untuk lain kali. Mungkin diwaktu, tempat dan suasana yang lebih tepat." Seruni menepuk pundak Shaka tanpa ragu.

Ditolak seorang Seruni seperti ini, justru membuat Shaka tidak sakit hati, sedih atau pun galau. Dia malah merasakan cinta dan kekaguman yang semakin bertambah dalam.

"Sudah Adzan, kita sholat di tepian sungai ini saja." ajak Shaka.

Seruni mengangguk dengan senang hati. Semua hal yang dialaminya hari ini, sungguh pengalaman yang indah dan tidak akan dia lupakan.

Dunia memang tidak pernah berhenti berputar, meski Satria sudah sempat membuat hatinya remuk luar biasa. Ternyata, tidak butuh lama untuk membuat hatinya membaik. Tuhan menunjukkan banyak hal yang bisa disyukuri. Dari hal yang kecil hingga hal yang besar. Kesedihan dan sakit hatinya, tidak seberapa dibanding nikmat yang sudah Tuhan berikan sekarang.

.

.

Sementara itu, setelah menunaikan sholat maghrib, seperti biasanya, Sayaka memberi makan malam pada hewan-hewan ternak peliharaannya. Setelah selesai meletakkan rumput di tempat makan hewan peliharaannya, Sayaka duduk bersandar di tiang bambu sembari memangku kelinci miliknya yang bernama Sisi.

"Sis, Ndhuk Seruni sampai jam segini kok belum pulang juga, ya? Ke mana saja Mayor Shaka membawanya." Sayaka mengelus-elus bulu lembut Sisi dengan tatapan menerawang jauh.

"Aku ini khawatir, Sis, Kakinya kan baru saja sembuh." Sayaka menurunkan Sisi dari pangkuannya.

"Sayaka... kenapa kamu di belakang terus malam-malam begini? Jodoh kamu lari baru tahu rasa," tegur bu Sajad, sembari menyalakan lampu belakang agar lebih terang.

"Jodohnya memang sudah di ambil orang, Ua. Sayaka bisa apa? Kalau saingan sama Mayor, sepertinya Sayaka tidak mampu. Pak Mayor bawaannya pistol. Sayaka punyanya selurit," cuhat Sayaka pada Bu Sajad.

Istri pak Camat itu ingin tertawa melihat raut wajah Sayaka. "Kamu juga punya pistol yang nyelip, Sayaka. Tapi sayangnya, kamu belum pernah memakainya. Tapi hati-hati, jangan sembarangan keluarin pistol itu, sekali menembak, bisa bunting anak orang," canda bu Sajad, membuat pipi Sayaka seketika merona merah.

Bu Sajad hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak sedikit gadis di desa ini yang ingin menjadi istri Sayaka. Tapi tidak ada satu pun yang membuat hati pria itu bergetar. Shanum misalnya, gadis itu tidak hanya cantik dan baik, segala usaha juga sudah dia lakukan untuk menarik perhatian Sayaka. Namun, semuanya sia-sia. Jangankan cinta, dilirik saja tidak.

"Jangan menyerah karena tidak memiliki banyak pistol, Sayaka, percayalah! Sebagus apa pun pistol pak Mayor, kalau pistolmu itu berfungsi dengan baik, kamu tetap bisa bersaing dengannya. Jangan menyerah! Menghadapi perempuan itu tidak butuh pistol aneh-aneh. Cukup pistol yang kamu buat buang air kecil tiap hari." Bu Sajad kembali masuk ke dalam rumah dengan suara cekikikan yang ditahan. Sungguh antara kasihan dan ingin tertawa melihat wajah khawatir Sayaka menanti kedatangan Seruni.

Suara motor yang terdengar berhenti di halaman rumah bu Sajad, seketika membuat Sayaka beranjak dari duduknya, melewati jalan di samping rumah, dia mengintip di balik pohon mangga besar yang berada di antara rumah Pak Sajad dan Mushola.

"Astaga! Senyumnya cantik sekali, apa Mayor Shaka tidak gemetaran di senyumin begitu." Gumam Sayaka begitu lirih. Hingga nyamuk di lengannya pun tidak mendengar.

"Terimakasih ya, Bang. Jangan kapok ngajak aku." Seruni melepaskan helm dan memberikannya pada Shaka.

"Tentu saja tidak. Besok kita ke perbatasan. Kalau besok, pakai baju cantik dan rapi tidak masalah, Ser. Kita tidak akan menyebrang sungai. Di sana juga sudah lumayan maju." Shaka mengingatkan akan rencananya esok hari pada Seruni.

"Siap, Pak! Ikut ke mana pun di ajak pergi. Asal pulang pergi harus utuh," canda Seruni.

"Ya sudah. Aku pulang dulu, sampai ketemu besok sore. Selamat istirahat." Shaka langsung pamit menuju tempat dinas rekannya di perbatasan.

''Kalau diajak janjian sama pak Mayor terus, kapan waktunya buat aku, Ndhuk. Aku kan juga pengen ngajak kamu memandikan Suli ke sungai,'' batin Sayaka sedikit sendu, sembari mengelus-eles batang pohon mangga tempatnya bersembunyi.

Saat Seruni hendak masuk ke dalam rumah, dia melihat bayangan Sayaka. Terlanjur ketahuan, pria itu pun terpaksa keluar dari persembunyiannya.

"Baru datang, Ndhuk?" tanyanya basa-basi.

"Iya, Bang, kok abang di bawah pohon mangga? memangnya ada yang berbuah ya?"

"Tidak ada. Tadi cuma lihat semut berbaris. Kenapa bisa serapi itu. Kalah Pak Tentara kita sama mereka." Seruni menelan ludahnya kasar ketika mendengar jawaban Sayaka.

"Semut berbaris, astagahhh... apa lagi besok?'' batin Seruni. Masih tidak berhenti dibuat heran dengan setiap ucapan Sayaka.

Terpopuler

Comments

🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴

🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴

Sayaka selalu saja yg dibicarakan dunia binatang 🤣🤣🤣

2023-01-02

1

🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴

🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴

Bu sajad ngomongnya ada ada saja 🤭🤣🤣🤣

2023-01-02

1

🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴

🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴

Sayaka bilang saja cemburu bukan khawatir 🤭🤭

2023-01-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!