Baru beberapa hari di tempat dinas, Seruni sudah merasakan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Menghadapi masyarakat yang lebih percaya hal-hal selain dari ilmu kedokteran memang sulit.
Sesampainya di rumah dinas sementaranya, Seruni langsung bercerita pada Pak Sajad dan bu Sajad. Kedua sosok penting di desa itu pun langsung ke tempat kejadian sekaligus untuk takziah. Pak Camat berusaha meluruskan isu yang juga di dengarnya langsung di sana. Namun, warga tetap bersikeras agar Seruni tetap dibawa ke persidangan adat. Mereka meyakini tangan Seruni mendapat kutukan, persis seperti ucapan nenek Sari.
Itulah mengapa, pagi ini, semua sudah bersiap untuk mendatangi rumah kepala adat. Seruni sama sekali tidak gentar. Perempuan tersebut malah senang mendapatkan kesempatan untuk diuji kebenarannya akan kesialannya.
"Ser, sudah siap?" Bu Sajad mengetuk pintu kamar Seruni.
"Sudah, Bu!" Seruni menjawab sembari membuka pintu.
"Ya sudah, Ayo! lebih cepat lebih baik, Itu Sayaka juga sudah siap."
Seruni, pak Sajad, bu Sajad dan juga Sayaka langsung berangkat menuju rumah kepala adat. Warga yang percaya pada ucapan Nenek Sari, beberapa juga sudah berangkat lebih dulu ke sana.
Rumah ketua adat berada di desa sebelah. Meski menaiki motor, mereka tetap harus menyebrangi sungai yang dangkal dengan bebatuan kali yang lumayan membuat perut teraduk-aduk sempurna.
Seruni lebih memilih turun dari boncengan dan membantu Sayaka mendorong motornya, Sungguh pengalaman yang menyenangkan sekaligus mendebarkan. Dalam hati, Seruni berjanji akan menjelajah desa jika peralatan, obat dan semua yang dia butuhkan sudah siap. Alam di tempatnya berada sekarang sungguh masih natural dan indah. Sungainya jernih, hingga kecebong-kecebong kecil yang ada di sana pun terlihat dengan jelas.
"Bang Sayaka, nanti setelah dari sini ke kebun tidak? Atau mau cari rumput lagi mungkin?" tanya Seruni memecah keheningan di sela-sela mendorong motor.
Bu Sajad dan Pak Sajad masih agak jauh di belakang mereka. Kedua orang itu lebih menikmati perjalanannya. Sedangkan Sayaka terkesan ingin cepat sampai. Bahkan kini mereka sudah berada di tepian sungai untuk menunggu Pak Sajad dan istrinya yang masih separuh jalan.
"Iya, Dok. Nanti ke kebun, sekalian merumput juga. Sama seperti kita, Sapi dan kambing juga makan tiga kali sehari," jawab Sayaka.
Seruni memijat pangkal hidungnya, bersama Sayaka persamaan yang sering didengarnya, tidak jauh dari Fauna.
"Bang, boleh tidak manggilnya jangan Dokter begitu. Saya pengen kita tidak seformal ini. Panggil saja Seruni. Abang kan lebih tua dari saya." Seruni menatap dan tersenyum lembut pada Sayaka yang sedang merona karena merasa diperhatikan.
"Aduh, bagaimana ya Dok. Rasanya nanti kurang sopan. Saya tidak enak," jawabnya.
Seruni merasa gemas dengan Sayaka, tampilannya yang macho, wajahnya tampan rupawan, tangannya kekar, dan dadanya bidang. Tapi saat bicara dengannya, lebih sering menunduk, malu-malu dan salah tingkah.
"Tidak mengapa, Bang. Kalau tidak enak tambahin depannya, Dek. Pasti lebih manis," sahut Seruni.
"Aduh, jangan Dok. Ada tetangga manggilnya abang dan Adek, itu karena mereka suami istri. Nanti tidak enak di dengar orang," kilah Sayaka.
Seruni berpikir sebentar, mencari panggilan yang mungkin tidak akan dipahami oleh Sayaka. "Panggil saja, Ndhuk. Itu panggilan hormat untuk perempuan jawa. Yang memanggil seperti itu berarti sangat menghormati yang dipanggil," bohong Seruni.
Ndhuk atau Gendhuk, identik untuk panggilan sayang pada perempuan yang lebih muda. Biasanya dari orangtua ke anak, kakak ke adik, atau beberapa suami pada istrinya. Panggilan itu lebih membuat yang dipanggil merasa disayangi dan dilindungi.
"Ndhuk? begitu? Ndhuk Dokter?" Sayaka bertanya karena ragu.
"Ndhuk Seruni atau Ndhuk saja. Mengerti, Bang?" tanya Seruni sembari tersenyum pada Pak Sajad dan Bu Sajad yang akhirnya sampai di tepian yang sama dengannya.
Setelah melanjutkan perjalanan kembali selama lima belas menit, akhirnya mereka pun sampai di rumah ketua adat.
"Akhirnya, Dokter pembunuh itu datang juga!" seru salah seorang warga.
Tidak terlalu banyak, mungkin di bawah dua puluhan orang yang ada di sana, tentu saja ada Sabri di sana. Yang Seruni herankan Suga juga berdiri di tengah-tengah mereka.
Tapi pak Sajad tidak kaget jika Suga ada di sana. Jelas dia mempunyai dendam pada Seruni, karena membuatnya gagal menikahi Shanum secara paksa.
Ketua adat rupanya seorang yang sangat bijaksana. Beliau tidak menelan mentah-mentah semua aduan yang dibuat oleh masyarakatnya. Suara kasak kusuk masih terdengar, mereka saling berbisik dan saling mempengaruhi pikiran satu sama lain dengan ujaran kebencian.
Suga menatap Seruni dengan angkuh, seolah sedang berada di atas angin, karena selain dirinya, ternyata banyak juga yang tidak menyukai kehadiran Seruni. Mereka semua berdiri, mengelilingi Kepala Adat yang tidak mengenakan baju. Beliau duduk bersila di atas dipan terbuat dari eratan bambu.
Kepala Adat mempersilahkan Pak Sajad dan Bu Sajad untuk berdiri tidak jauh dari dipan tempatnya berada. Seperti biasa, jika ada warga yang sedang diduga bermasalah dengan adat. Pak Camat dan istrinya itu hanya akan diam dan menyaksikan tanpa berbicara apapun sebelum diijinkan.
"Saya sudah mendengar penjelasan dari pak Sabir dan nenek Sari. Di sini, saya tidak ingin langsung mengambil kesimpulan, apalagi langsung menjatuhkan hukuman. Bagaimana pun, saat kejadian juga ada Sayaka dan Dokter yang ada di sana. Saya persilahkan, kalian berdua untuk menjelaskan kepada saya." Kepala adat menatap Sayaka dan Seruni bergantian.
Saat beliau berbicara, mendadak semua menjadi hening. Di sini, kepala adat lebih dihargai ketimbang pak Camat. Bisa dikatakan, kedudukan kepala adat lebih tinggi dari jabatan formal seorang pak Sajad.
Seruni dan Sayaka pun bergantian menjelaskan kronologi kejadian dengan sejujur-jujurnya. Tidak dilebihkan juga tidak dikurangi.
"Jika ingin membuktikan tangan saya ini memang kutukan atau bukan, bagaimana kalau saya menyentuh Bang Sayaka? Jika Bang Sayaka kenapa-kenapa setelah saya sentuh. Berarti apa yang dituduhkan pada Saya memang benar adanya."
Tanpa persetujuan Sayaka dan yang lain. Seruni langsung menggenggam erat pergelangan tangan Sayaka. Saat pria itu menoleh ke arahnya, Seruni malah melemparkan senyuman yang paling mempesona.
Sayaka buru-buru menunduk. "Tidak mati, Ndhuk. Malah ada yang bangun perlahan. Jantungku juga berdetak semakin cepat. Jangan lama-lama. Bisa pingsan beneran ini aku nanti," batin Sayaka.
Keringat keluar dari keningnya, tubuh Sayaka sedikit gemetar. Sudah berumur 35 tahun, tapi baru kali ini dia disentuh oleh perempuan.
"Halah! ini tidak bisa dijadiakan pembuktian. Sayaka sudah sering bersama Dokter ini. Pasti dia sudah dikasih mantra agar tubuhnya kebal." Suga berkacak pinggang, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pembenaran.
"Benar, pasti sudah diberi Mantra. Bagaimana kalau Suga saja yang disentuh sama Dokter!" teriak seseorang dari arah belakang.
"Iya Suga dan Pak Sabir. Ayo Dokter sentuh, ini bukan hanya masalah mati. Karena kesialan bukan hanya perkara kematian. Kalau keduanya mengalami keanehan berarti memang benar Dokter itu memang membawa kutukan," timpal seorang warga yang berdiri tidak jauh dari Seruni.
Tanpa ada keraguan, Seruni berucap, "Dua orang yang disebutkan namanya tadi, silahkan maju. Saya akan menyentuh kalian lebih lama. Berdoalah, supaya kutukan itu salah. Jika benar, hari ini kalian harus mempersiapkan dua liang kubur."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩
Penduduk pedalaman memang selalu patuh pada perkataan ketua adat dibanding orang pemerintahan
2023-01-02
1
рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩
Sayaka masih polos, masih malu-malu kalau berdekatan dengan orang yang di sukai 🤭
2023-01-02
1
🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴
itu warga pemikirannya masih kuno banget yah..
2022-12-24
1