Seruni menerima ponsel dari Shaka, lalu mengetikkan sepuluh digit angka di sana. "Nih, Bang ... tinggal kasih nama saja. Abang miscall atau ping nomerku. Biar aku kirim list belanja. Sekalian kasih nomer rekening abang, uangnya aku transfer saja." Seruni mengulurkan kembali ponsel pada Shaka.
"Siap, Laksanakan, Bu!" canda Shaka, mengambil posisi tegap dan hormat.
"Makasih ya bang. Maaf baru kenal langsung ngerepotin. Habis nggak tau lagi meski ngerepoti siapa." Seruni sedikit berbasa-basi.
Shaka hanya tersenyum. Seruni benar-benar berbeda, sangat apa adanya. "Ser, aku mau pamit dulu, ya. Besok aku ada urusan dinas. Ini aku langsung balik. Kamu jaga diri baik-baik. Semangat dan selamat bertugas Bu Dokter cantik." Shaka berdiri, tangannya mengulur sempurna untuk menjabat tangan Seruni.
"Terimakasih ya, Bng, jangan bosen-bosen direpotin." Seruni membalas uluran tangan Shaka dengan erat dan mantab.
Shaka merasakan tangan Seruni tidak sehalus tangan perempuan-perempuan yang dikenalnya. Menyadari Shaka sedang menilai tangannya, Seruni buru- buru melepas jabatan tangan mereka.
Setelah itu, Seruni, Pak Sajad dan Bu Sajad melepas kepulangan Shaka sampai mobil yang dikendarai Shaka tidak terlihat lagi dari pandangan mereka.
"Cocok, Ser sama kamu," goda bu Sajad.
"Apanya bu?" tanya Seruni memang tidak mengerti maksud bu Sajad.
"Tuh ... yang baru pulang. Pak Mayor ganteng lho, Ser. Kalau belum jadi Bu Sajad, ibu rela jadi Bu Shaka," bisik bu Sajad, tapi terdengar samar di telinga pak Sajad.
"Ibu mau, Pak Shaka-nya yang nggak mau. Yang ganteng begitu pilih-pilih, Bu," sahut Pak Sajad.
"Ish, Bapak ni. Waktu muda, Ibu elok juga parasnya, nggak kalah sama Seruni." Bu Sajad membela diri dan pak Sajad hanya terkekeh. Seruni pun hanya menyumbangkan senyum manisnya.
Mereka bertiga kembali masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Seruni mendapati sayaka, sabri dan Safri sedang berbincang hangat di sana. Seruni menundukkan kepalanya saat melewati mereka, sampai sekarang Seruni belum bisa memastikan siapa sang empunya benda pusaka yang dilihatnya. Seruni juga ingin memastikan siapapun itu bisa melupakan kejadian memalukan itu. Saling menjaga aib, pura-pura tidak terjadi apa-apa---pasti lebih baik.
Seruni segera masuk ke kamarnya, membuka sedikit tirai yang bisa melihat ke arah luar. Ia mengambil bangku dan duduk di sana. Perempuan tersebut ingin memastikan siapa yang akan masuk ke dalam kamar yang tadi salah dimasukinya.
Hampir satu jam berlalu, seperempat halaman buku sudah habis Seruni baca. Belum ada tanda-tanda Sayaka, Sabri dan Safri masuk ke kamarnya masing-masing. Seruni pun melanjutkan bacaannya kembali. Menajamkan indera pendengarannya agar tidak terlewatkan jikalau ada suara derap langkah kaki menghampiri dan memasuki kamar keramat di seberang kamarnya.
Telinga Seruni sayup-sayup menangkap suara langkah kaki yang semakin mendekat. Seruni membuka sedikit tirai jendela kamarnya. Tidak lebar, hanya cukup ruang untuk mengintip dengan satu mata saja.
"Safri?" tanya Seruni dalam hati. "Pantesan dia senyum-senyum terus. Aduh berarti dia tahu dong kalau aku lihat jantung pahanya. Astaghfirullah ... Ini kenapa pula anunya kembali bergelantungan di kepala." umpat Seruni, sembari menepuk-nepuk pelan kepalanya sendiri. Seakan ingin mengeluarkan sesuatu yang mengotori isi pikirannya.
Belum selesai dengan salah tingkahnya sendiri, mata Seruni kembali melihat seseorang memasuki kamar yang kini disebutnya kamar keramat itu.
"Sayaka," gumam Seruni, lirih sekali. "Aduh, kok makin pusing ya. Jadi siapa pemiliknya? Nggak jelas banget ini. Apa sebaiknya aku lupakan saja? Tapi bagaimana mau lupa kalau ontongnya saja masih menggantung di pikiran. Eh, tapi apa iya semua cowok gedenya segitu ya? Kayaknya enggak ah ... ish ngeres banget." Seruni lagi-lagi menepuk isi kepalanya yang sedang tercemar.
Seruni yang lelah menduga-duga, sementara memilih pasrah. Biarlah nanti kenyataaan akan terbuka dengan sendirinya. Begitulah pikiran Seruni saat ini. Hingga dia pun tertidur, lelapnya menyatu dengan malam yang dingin.
Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya, menerobos masuk di celah-celah papan yang mengelilingi rumah. Pagi pertama di desa, Seruni buru-buru beringsut ke kamar mandi. Penghuni rumah yang lain, rupanya juga sudah beraktivitas. Mereka baru pulang dari mushola. Seruni tidak ikut, dia memilih melakukan dua rakaat di dalam kamarnya sendiri.
Seluruh penghuni rumah kini kembali berkumpul di meja makan untuk makan pagi. Safri begitu sering curi-curi pandang dan tersenyum pada Seruni. Membuat Seruni memun ulang kembali dugaannya. Dengan melihat ketidakpedulian dari dua laki-laki yang lain, Seruni memastikan si pemilik benda pusaka yang dilihatnya pastilah Safri.
Seruni menarik kesimpulan sendiri dan bertekad untuk melupakan kejadian itu. Meskipun kadang bayangan benda pusaka itu begitu menggantung di pikirannya. Namun perempuan tersebut tidak mau terus membebani pikirannya dengan satu hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Seusai sarapan Seruni memutuskan untuk ke puskesmas desa. Perempuan tersebut di antar oleh pak Sajad dengan menaiki motor. Tidak membutuhkan waktu yang lama, tepatnya hanya sepuluh menit, dia pun tiba di sana. Seruni langsung membuka pintu yang terkunci dengan gembok berkarat itu.
"Hari ini saya mau bersih-bersih dulu, Pak. Oh, ya, pak, kalau ada yang mau membantu menjadi asisten saya selama di sini, saya akan senang sekali. Saya akan memberi gaji padanya." Seruni mendorong pintu hingga terbuka.
"Mau perempuan atau lelaki Ser?" tanya pak Sajad.
"Perempuan saja pak," jawab Seruni.
Masuk ke dalam ruangan, pengab dan debu langsung menyambutnya, membuat Seruni seketika terbatuk-batuk. Pak Sajad, membuka semua jendela yang ada di dalam.
"Biar udaranya ketuker, kamu jangan masuk dulu. Bapak tinggal ya Ser, kalau ada apa-apa kamu hubungi bapak. Sepertinya bapak tahu siapa yang cocok membantu kamu. Anaknya pun pasti mau. Bapak akan menemui dan menyuruhnya kemari. Kamu pasti butuh alat kebersihan, nanti bapak akan suruh orang kecamatan membawakan ke sini juga." Pak Sajad begitu ramah dan baik pada Seruni.
"Baik, Pak, terimakasih atas semuanya. Saya akan melakukan yang terbaik selama di sini. Semoga dengan kehadiran saya, bisa sedikit memberikan manfaat," harap Seruni, terdengar sangat tulus.
"Insya Allah. Tidak ada yang mau dinas menetap di sini, Ser. Semoga kamu betah. Kami pasti akan merasa terbantu. Tapi kamu harus sabar. Tidak semua orang mau menerima dan menggunakan fasilitas kesehatan saat sakit bahkan saat melahirkan. Tidak sedikit warga di sini yang masih percaya kekuatan alam di atas segalanya." Pak Sajad seperti sedang menaruh harapan besar di pundak Seruni. Setelah itu beliau langsung menyalakan sepeda motor dan meninggalkan Seruni sendiri di sana.
Seruni mengedarkan pandang ke sekeliling. Tidak satu hal pun yang menegaskan identitas tempat itu dulunya adalah puskesmas ataupun posyandu. Hanya ada timbangan usang yang jelas tidak mungkin terpakai lagi. Sepertinya, Seruni harus menyisihkan waktunya lebih banyak untuk menyulap tempat tersebut agar pantas disebut rumah untuk berobat.
Mengetahui kondisi tempat kerjanya secara langsung, membuat list belanja yang dikirimnya pada Shaka tadi pagi masih banyak yang kurang. Rupanya, Seruni harus merogoh tabungan pribadi lebih dalam untuk menjadikan tempat kerjanya tersebut lebih ideal dan layak untuk dijadikan sebagai pusat layanan kesehatan masyarakat.
Seruni belum masuk ruangan. Dia masih menyandarkan badannya di salah satu tiang bambu yang menyangga bangunan rumah panggung itu dengan tatapan mata sedikit melamun.
"Permisi bu dokter, saya di suruh Pak camat datang kemari untuk membantu bu dokter," sapa suara seorang perempuan membuyarkan lamunan Seruni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴
tambah bingung lagi deh seruni safri apa Sayaka 🤣🤣
2022-12-15
0
🦂⃟ғᴀᷤᴛᷤᴍᷫᴀ 🕊️⃝ᥴͨᏼᷛN⃟ʲᵃᵃ࿐📴
sampai satu jam loh seruni nungguin siapa pemilik sebenarnya yg ia lihat..🤭🤭
2022-12-15
0
рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩
Dokter seruni kayaknya baru pertama kali lihat ya, sampai terbayang-bayang dan penasaran siapa pemiliknya
2022-12-02
0