Seruni Bab 17

Keesokan harinya, sebelum membuka pelayanan kesehatan untuk masyarakat, Seruni dan Shanum menata obat-obatan dan alat medis di lemari-lemari perkakas yang sudah dibersihkan beberapa hari yang lalu. Keduanya begitu bersemangat memulai hari baru mereka. Setelah sekian lama puskesmas itu tidak berfungsi, akhirnya hari ini dapat di buka kembali untuk membantu mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Meski tempatnya lebih layak disebut posyandu daripada puskesmas. Setidaknya sekarang jauh lebih nyaman dan bersih dari sebelumnya.

Shanum sudah bersiap di depan, duduk di belakang meja yang akan digunakannya untuk mendata pasien yang akan berobat. Seruni sudah memberikan arahan dengan jelas. Shanum termasuk gadis yang lumayan cerdas. Dia bisa belajar dengan cepat.

Di hari pertama mereka membuka layanan puskesmas, hanya dua orang saja yang datang untuk berobat. Itu pun karena keduanya adik beradik yang sedang menderita flu secara bersamaan.

"Num, hari ini, sampai jam 10 saja, ya. Aku mau keliling pelosok sama bang Shaka." Seruni berbicara pada Shanum sembari melepas stetoskop yang sedari tadi mengalung di lehernya.

"Baik, Kak." Shanum menjawab dengan singkat.

"Oh ya, Num. Ini ada buku panduan cara penggunaan alat untuk mengukur tensi darah dan suhu. Kamu bisa pelajari di rumah sambil santai-santai." Seruni memberikan sebuah buku bersampul putih pada Shanum.

Gadis itu menerima dengan wajah yang sangat sumringah. Shanum sangat senang bisa bekerja bersama Seruni. Selain mendapat gaji yang sangat pantas, Dokter cantik itu sangat tidak pelit ilmu dan telaten mengajarinya apa saja.

Kini, waktu sudah menunjukkan pukul 10.15 waktu setempat. Seruni padahal sudah menambah waktu buka layanan, tapi memang tidak ada warga yang datang untuk berobat ke sana. Merasa sudah telat 15 menit, Seruni pun segera bersiap untuk pulang. Dia membonceng Shanum menaiki motor matic hitam keluaran terbaru.

"Jangan lupa dipelajari buku tadi ya, Num. Sampai ketemu besok," ingat Seruni sesaat setelah Shanum turun dari boncengannya.

"Iya, Kak. Pasti Shanum baca."

Seruni segera melanjutkan perjalanan menuju rumah pak Sajad. Sampai di sana, dia sudah melihat Shaka duduk di beranda rumah sembari bermain ponsel. Sebuah motor Trail KLX terparkir di halaman.

"Maaf, Bang. Aku telat. Aku ganti baju dulu, cepat kok, gak pakai lama," Seruni berjalan setengah berlari masuk ke dalam rumah.

Shaka tersenyum melihat polah perempuan yang kini sering mengusik pikirannya itu. Dia pernah jatuh cinta, dua kali malah. Tapi kali ini, dia merasa sangat berbeda. Dia ingin mengejar, tapi masih ada rasa segan.

Tidak sampai 10 menit, Seruni kembali muncul dengan tampilan yang berbeda. Celana soft jeans model pensil warna beige, dipadu kemeja flanel garis-garis. Sepatu kets yang dipakainya memiliki kesamaan warna dengan yang dipakai Shaka.

"Sudah siap? Perlengkapannya tidak lupa kan?" tanya Shaka.

"Tidak dong,!" Seruni menjawab sembari menunjuk tas ransel yang ada di balik punggungnya.

"Baguslah! Hari ini, pasti tidak akan pernah kamu lupakan. Karena kita akan mendatangi tempat yang sangat indah," Shaka mengatakan sembari memberikan helm pada Seruni.

Setelah itu, keduanya berpamitan terlebih dahulu kepada bu Sajad.

"Kalian, hati-hati! Ingat, aturan adat di sana sangat banyak. Jangan bergandengan tangan dengan lawan jenis yang bukan suami istri di sana. Nanti mereka bisa-bisa menikahkan kalian," pesan bu Sajad.

"Baik, Bu. Akan selalu Saya ingat," jawab Seruni.

Seruni dan Shaka pun segera berjalan keluar rumah. Sungguh perjalanan berdua mereka kali pertama akan menjadi kenangan pada diri masing-masing. Setelah memakai helm hingga mengeluarkan bunyi klik. Keduanya pun naik bergantian ke atas motor.

Seruni merasa sedikit tidak enak, karena sungguh tipe sepeda motor ini memang tidak nyaman untuk dibuat berboncengan. Posisi badannya dengan Shaka kini sudah hampir menempel tanpa jarak.

Saat hendak berangkat, Seruni melihat Sayaka datang membawa rumput di kepala. "Bang, Aku berangkat dulu, Ya," pamit Seruni seraya melambaikan tangan pada Sayaka.

"Iya, Ndhuk, hati-hati." Sayaka menjawab dengan suara dan wajah yang sama-sama tidak terlalu ikhlas.

.

.

Seruni dan Shaka pun memulai perjalanannya. Sepanjang jalan keduanya saling bertukar cerita. Jalanan yang mereka lalui tidak hanya bergelombang, tapi ada kalanya becek dan berlumpur. Mau tidak mau, tangan Seruni harus melingkari pinggang Shaka yang sepertinya tidak menyimpan lemak sama sekali. Mempertahankan diri agar tidak jatuh jauh lebih penting ketimbang menjaga gengsi.

Sejauh mata memandang, Yang terlihat adalah keindahan alam yang luar biasa. Pohon-pohon berderet, hamparan kebun jagung dan hewan ternak yang sedang digembalakan pemiliknya. Di tambah lagi dengan suara alami kicauan burung yang bersahutan bebas. Sungguh hal yang tidak ditemui Seruni di kota.

"Pegangan yang kuat Ser… takutnya kamu jatuh. Kalau jatuhnya itu jatuh cinta sih enak, tidak bakalan sakit." Shaka kembali mengajak Seruni bercanda.

"Siapa bilang jatuh cinta itu tidak sakit? Kalau cintanya ditolak bagaimana? Kalau orang yang kita cintai lebih memilih kambing bagaimana?" tanya Seruni dengan gaya ceplas ceplosnya dan agak sedikit berteriak karena hembusan angin, suara motor dan helm yang dikenakannya sedikit menurunkan kemampuan pendengarannya.

"Makanya jangan jatuh cinta sama orang yang salah," sahut Shaka.

"Pemandangannya indah ya, Bang. Hidup di sini enak. Kalau mau hiburan, tidak melulu ke mall." Seruni mengalihkan topik pembicaraan sambil terus mengedarkan pandangan kekiri kanan jalan yang tengah dilalui.

"Sama cantiknya dengan yang ngomong ...." Shaka melirik Seruni dari spion motornya. Yang dilirik tidak mendengar, karena Shaka sengaja memelankan suaranya.

"Setelah ini, kita akan melewati jalan agak ekstrim. Jembatan hanya terbuat dari beberapa kayu log yang diikat dengan pemandangan kiri kanan jurang. Tapi tenang, jembatan itu sangat kuat. Setelah melewati satu sungai, sampailah kita di desa Wiu." Shaka menjelaskan rute yang sebentar lagi akan mereka lewati.

Benar yang dikatakan Shaka, Rute yang dilalui membuat nyali Seruni sedikit menciut. Sepanjang jembatan dia terus memejamkan mata dengan tangan semakin erat di pinggang Shaka. Tidak peduli lagi dadanya menempel tanpa jarak dengan punggung Shaka.

"Ser... ini sudah sampai, kamu mau sampai kapan bikin aku sesak napas begini? Sebentar lagi kayaknya aku mau pingsan dan butuh napas buatan?" Shaka menepuk punggung tangan Seruni begitu di depannya nampak sungai yang dangkal.

Seruni pun segera membuka mata dan menarik tangannya. Sedikit malu, menyadari kebodohan sendiri. Bisa-bisanya tidak merasa kalau motor sudah berhenti.

Seketika mata Seruni dibuat takjub dengan aliran sungai yang sangat jernih di depannya. Tidak terdapat batu-batu besar di sana. Di seberang sungai juga sudah nampak rumah-rumah penduduk.

"Mau naik motor? atau jalan kaki saja," tawar Shaka.

"Jalan kaki saja. Ini keren banget!" Pekik Seruni, terlihat sangat bahagia seraya turun dari boncengan. Seruni melepas jaket dan juga helmnya, sepatu yang dikenakannya pun kini dijinjingnya di tangan.

"Kerennnnnnn!" teriak kegirangan Seruni, lagi dan lagi.

"Ser, sini helm sama jaketnya." Shaka langsung ikut turun dari motornya. Memasukkan jaket ke dalam helm, lalu menaruhnya di stang motor.

"Sepatunya?" tanya Shaka.

"Enggak usah. Tidak enak sama Bang Shaka," sahut Seruni dengan cepat. Kebahagiaan sedang melanda Seruni besar-besaran. Sekarang dia mulai memahami kenapa Sayaka begitu setia pada Siti dan kawan-kawan. Alam sanggup memberi kebahagiaan tanpa menuntut balas. Menyatu dengan alam, menyadarkan kita betapa kenikmatan dunia tidak hanya selebar pusat perbelanjaan.

Shaka meninggalkan motornya begitu saja. Karena di sana sangat aman. Apalagi jika plat yang digunakan ada lambang instansi tempatnya dinas. Tidak akan ada warga yang berani menyentuh benda tersebut.

Pria berpangkat Mayor itu membawakan tas yang berisi obat-obatan dan alat periksa sederhana yang sudah disiapkan Seruni.

Layaknya anak-anak yang bertemu dengan air, Seruni langsung menceburkan kaki setelah menaikkan celananya hingga sebatas lutut. Sungai selebar 12 meter itu terasa terlalu pendek bagi Seruni. Tidak sampai 10 menit, keduanya sudah sampai di tepian sungai.

Seruni dan Shaka langsung melihat penduduk yang berbondong-bondong menuju suatu tempat.

"Mau ke mana, Pak?" tanya Shaka pada seorang warga.

"Eh, Pak Mayor. Itu, Pak. Istri Sardi mau melahirkan." Laki-laki itu menjawab sembari terus berjalan.

"Ayo kita lihat!" Shaka tanpa sadar menggandeng tangan Seruni.

Terpopuler

Comments

рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩

рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩

terlalu nyaman merem 🤭

2023-01-14

0

рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩

рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩

Ternyata Seruni suka sama Sayaka

2023-01-14

0

рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩

рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩

sambil jalan-jalan, tetap membawa perlengkapan dokternya ya.

2023-01-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!