Beauty And Elf
Kopenhagen, Denmark 10 Januari 1990.
Author POV
"Papa dan Mama mau pergi kemana?" tanya seorang gadis kecil dengan sepasang netra sebiru samudra Atlantik.
James Winters, ayah dari sang gadis tersenyum manis lantas berderap menuju ambang pintu tempat anaknya berdiri.
"Kami harus pergi untuk mengurus bisnis di kota lain, sayang. Papa janji kami tidak akan pergi lama."
Sang gadis mendengus sebal. "lalu kalian akan meninggalkan Ada sendirian? Papa dan Mama ternyata sama saja teganya!"
Adeline Serendipity Winters, sang putri tunggal dari James dan Anne Winters itu memandang Papanya jengah.
"Kalian selalu saja mementingkan bisnis di atas segalanya, menyebalkan!"
Anne yang mendengar keributan antara sepasang Ayah dan Anak itu hanya bisa tersenyum geli. Untuk ukuran bocah lima tahun, agaknya Ada putri mereka itu terlampau pandai berbicara bahkan cenderung mirip dengan orang dewasa.
Ada bahkan tahan beradu argumen dengan kedua orang tuanya ketika anak lain lebih memilih menangis untuk menyelesaikan masalah mereka dengan orang tuanya.
Kedua kaki jenjang Anne melangkah turun dari tangga, membawa sebungkus besar coklat Belgia yang beberapa waktu lalu ia beli dari salah seorang pedagang coklat tersohor di kota mereka.
"Ada apa ini kenapa berisik sekali?" keluhnya, berjalan mendekat kepada suami dan anaknya.
"Sayang," panggil Anne pada putri semata wayangnya itu dengan begitu lembut. "Mama punya cokelat Belgia untukmu. Tapi kali ini tidak boleh ikut Papa dan Mama dulu ya, 'kan Ada sedang demam."
Ada bersedekap, memandang tajam sang Mama dengan mata birunya yang berkilat-kilat. "Kalau begitu cepatlah pulang. Kalau dalam empat hari kalian tidak pulang maka Ada akan mengunci semua pintu di rumah ini agar kalian tidak bisa pulang."
James terkekeh geli. "Sungguh ancaman yang menakutkan. Baiklah, kami akan pulang sebelum empat hari."
Merasa negosiasi dengan anak mereka telah selesai, Anne memberikan bungkusan besar berisi coklatnya kepada Ada.
"Kalau begitu kamu boleh makan coklatnya tapi jangan lupa untuk sikat gigi ya, sayang."
"Baiklah," Ada mengangguk patuh.
"Liana, kami titip Adaline ya. Tolong berikan dia makan dan susu tepat waktu," imbau Anne tegas kepada Liana, pengasuh Ada.
Liana merangkul Ada. "Anda tidak perlu khawatir, Nyonya Winters."
Setelah bercakap-cakap ringan, Tuan dan Nyonya Winters beringsut menuju mobil mereka untuk berangkat ke kota tujuan mereka guna mengurus kantor cabang bisnis yang baru akan mereka bangun.
Sebagai sepasang suami istri muda dengan bisnis yang begitu cemerlang membuat pasangan Winters menjadi salah satu pasangan yang sangat disegani oleh orang-orang.
"Mama dan Papa berangkat dulu ya, sayang!"
"Hati-hati di jalan!" Ada menyahuti ucapan sang Mama dengan senyuman lebar.
James membunyikan klaksonnya tanda berpamitan, Ada melambaikan tangannya hingga mobil sedan mewah milik orang tuanya itu menghilang ditelan belokan.
"Bibi Liana, kenapa Mama dan Papa sibuk sekali? Mereka bahkan sering melewatkan waktu makan," tanya Ada polos dengan bibir merahnya yang melengkung ke bawah.
Liana tersenyum, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang bocah.
"Tuan dan Nyonya Winters sedang berusaha memberikan masa depan yang terbaik untuk kamu, Ada. Jadi sebagai anaknya kamu harus terus mendoakan agar mereka senantiasa baik-baik saja dan sehat."
"Hmm... Begitu ya?"
"Iya. Jadi Ada harus menjadi anak yang pintar dan mandiri ya."
Liana yang sudah bekerja sebagai pengasuh Ada sejak anak itu lahir entah kenapa kali ini merasakan firasat yang sangat tidak enak.
Wanita berusia hampir separuh abad itu menggeleng cepat berusaha menghilangkan perasaan tak nyamannya itu.
"Semoga Tuan dan Nyonya Winters selalu dalam perlindungan Tuhan," gumamnya dengan tangan terkepal di depan dada.
...****************...
"Ada! Ada! Bangun, nak!"
Pukul satu dini hari, Liana dengan tangan bergetar serta wajah yang sudah basah oleh air mata berlari secepat yang ia bisa menuju kamar Ada di lantai dua.
Mendengar suara berisik Liana dari luar kamar, Ada mengucek matanya berusaha mengumpulkan semua kesadarannya segera untuk membuka pintu kamar.
Sepasang kaki kecil Ada berjalan menuju pintu kamar, memutar kenop pintunya hingga kunci pintu kamar bernuansa pink itu terbuka lebar.
Mendapati Liana yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan penampilan yang kacau, Ada yang masih sangat lugu jelas bingung apa yang membuat Liana menangis seperti itu tengah malam begini.
"Kenapa Bibi Liana menangis malam-malam begini? Ada apa?" tanya Ada bingung yang semakin membuat hati Liana sakit.
"Tuan dan Nyonya Winters...."
"Apa yang terjadi pada Papa dan Mama, Bi? Katakan padaku!"
"Mereka... Mereka tidak selamat..."
"Maksudnya apa, Bibi? Cepat katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi!"
"Ada... Tuan dan Nyonya Winters mengalami kecelakaan, mereka tidak selamat..."
Bagai ditusuk oleh ribuan belati, dada Ada terasa sangat sakit hingga air matanya meluruh begitu saja dengan begitu deras. Sesak pun dirasa oleh gadis mungil itu, dadanya bak ditimpa oleh sebongkah batu gunung besar.
Orang tuanya, yang tadi ia pesankan untuk segera pulang malah tidak akan pernah kembali pulang ke rumah untuk selamanya.
Kenyataan pahit yang begitu memusingkan itu membuat lutut Ada lemas, jatuh meluruh begitu saja di atas lantai marmer putih rumah mewah keluarga Winters.
Menyadari mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menangis, Liana meraih tubuh mungil Ada ke dalam gendongannya lantas berderap keluar rumah menuju garasi guna mengambil mobil untuk pergi ke rumah sakit.
"Kita harus segera ke rumah sakit, Papa dan Mamamu pasti sudah menunggu."
Liana mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya yang lengang mengingat sekarang sudah dini hari.
Jemarinya menggenggam erat setir hingga mobil sedan yang mereka kendarai sampai akhirnya tiba di pelataran rumah sakit yang terletak di pusat kota Kopenhagen.
"Dimana jasad Tuan dan Nyonya Winters berada?" tanya Liana kepada suster yang berjaga di loket administrasi.
"Mereka sudah dibersihkan dan sekarang ada di kamar jenazah. Kalau begitu mari saya antar ke sana."
Ada yang sejak tadi menangis sesenggukan hanya bisa pasrah dalam gendongan Liana. Gadis malang itu bahkan kini bagai tak mampu menggerakkan kakinya karena tubuhnya seolah kehilangan semua tenaganya.
Lorong-lorong sepi rumah sakit satu demi satu mereka lewati sampai akhirnya ketiganya berhasil tiba di depan pintu kamar jenazah.
Suster itu masuk ke dalam memimpin jalan, diikuti Liana serta Ada menuju lemari penyimpanan jenazah tempat jasad James dan Anne Winters berada.
"Apa benar ini adalah Tuan dan Nyonya Winters yang kalian cari?" tanya sang suster setelah membuka kain putih yang menutupi wajah jenazah keduanya.
Bagai tersambar petir di siang bolong, dada Ada terasa benar-benar sakit tatkala harapannya mengenai kedua orang tuanya yang masih dapat selamat telah pupus.
...****************...
Suasana pemakaman ramai memenuhi pemakaman Vestre, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi James dan Anne Winters sesuai surat wasiat yang mereka titipkan kepada sang pengacara beberapa bulan lalu. Surat wasiat itu ternyata betul-betul menjadi kenyataan dalam waktu yang tak seberapa lama membuat banyak pihak terkejut.
"Apa yang akan aku lakukan setelah Papa dan Mama tidak ada, Bibi Liana?" tanya Ada dengan matanya yang sangat sembab.
Liana menghela panjang, mengusap puncak kepala sang gadis mungil penuh sayang.
"Ingat kalau Papa dan Mama pernah bilang kepadamu untuk menjadi anak yang pintar? Bukannya Ada ingin menjadi seorang dokter? Maka wujudkanlah itu, sayang."
Air muka murung Ada makin terlihat jelas membuat siapa pun yang melihatnya menjadi iba. Anak malang yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tuanya itu malah harus kehilangan keduanya sekaligus.
"Semoga saja Ada mampu mewujudkannya," balas Ada sedih.
Setelah prosesi pemakaman pasangan Winters selesai, para pelayat satu demi satu beringsut pergi meninggalkan area pemakaman menyisakan Ada, Liana, serta Josh dan Jocelyn Winters yang merupakan Paman dan Bibi kandungan Ada.
"Mama, Papa... titip salam untuk Tuhan dari surga ya." ucap Ada pilu di atas pusara kedua orang tuanya yang masih basah dan ditaburi dengan banyak bunga.
Josh dan Jocelyn Winters adalah pasangan yang sudah menikah lama namun belum mempunyai anak. Mereka tinggal di sudut kota Kopenhagen karena tidak memiliki harta sebanyak milik James Winters. Josh hanya memiliki usaha toko kelontong kecil, berbanding terbalik dengan adiknya yang kaya raya sejak sejak menikah.
Tanpa banyak bicara mereka lantas meninggalkan area pemakaman hendak pulang.
...****************...
"Surat wasiat dari Tuan James Arion Winters dan Anne Hathaway Winters menyebutkan jika keduanya meninggal, semua harta tanpa terkecuali menjadi hak putri mereka Adeline Serendipity Winters secara mutlak. Dan kalian Josh serta Jocelyn Winters adalah wali sah dari Adeline Serendipity Winters," terang Rudolf Eugene, pengacara dari James dan Anne.
Josh dan Jocelyn yang mendengar penuturan itu jelas merasa tak puas sebab nama mereka tidak tercantum sebagai ahli waris.
Diskusi malam itu berakhir tidak sesuai dengan keinginan pasangan suami istri tersebut. Sepeninggal Rudolf Eugene si pengacara, Josh serta Jocelyn naik menuju lantai dua menuju kamar Ada.
Keinginan mereka untuk menguasai harta kekayaan milik Ada semakin bergejolak terlebih setelah mereka memecat Liana dengan cara mengancam wanita itu. Tentunya, keberadaan Liana akan mempersulit mereka untuk menyingkirkan Ada.
"Ada, keluar kamu!" teriak Jocelyn sambil menggedor-gedor pintu kamar Ada.
Ada yang badannya lemas karena belum makan sejak pagi itu berjalan lunglai menuju pintu kamarnya.
"Paman dan Bibi ada perlu apa?"
Bukannya jawaban yang didapatkan oleh Ada, tetapi sebuah tamparan keras di pipinya yang tanpa rasa belas kasih diberikan oleh Josh.
"Apa salahku? Kenapa Paman menamparku?"
Ada memegang pipinya yang terasa begitu panas serta nyeri dan perih. Rasa berkedut juga menjalari pipi putih gadis malang itu namun hebatnya ia tidak menangis walau mendapatkan tamparan sekeras itu.
"Karena kau, kami jadi tidak mendapatkan sepeserpun warisan tetap malah harus mengurus anak tak berguna sepertimu!" pekik Josh dengan mata penuh kebencian.
Ada kecil sudah menduga ini sebelumnya, dia tahu kalau paman dan bibinya itu bahkan memiliki rasa iri hati serta dengki kepada keluarga tanpa alasan yang jelas.
"Pergi dari rumah ini sekarang juga, kami tidak mau mengurus anak manja sepertimu!" tukas Jocelyn.
Ada tersenyum getir. "baiklah mungkin sekarang karena aku masih anak-anak sehingga kalian bisa memperlakukan aku sesuka hati kalian aku akan terima. tapi suatu saat nanti aku jamin kalian akan membayar semuanya!"
Ada masuk ke dalam kamarnya, mengambil pakaian seadanya lalu memasukkannya ke dalam ransel sedang berwarna biru langit.
"Tuhan tidak pernah tidur, Paman dan Bibiku tersayang. Kalian akan mendapatkan apa yang pantas kalian dapatkan," ucap Ada dengan seulas senyum dingin yang sulit diartikan. Anak itu sungguh bukan anak kecil biasa yang tak bisa dianggap remeh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments