Ada POV
Aku terbangun karena merasakan tubuhku terguncang pelan. Mataku menyerjap perlahan guna membiasakan cahaya yang masuk hingga akhirnya sepasang netraku mendapati seorang ibu serta anak laki-laki tampan bermata biru kehijauan tengah memandangku.
"Nama kamu siapa, nak?" tanya ibu berambut cokelat terang itu dengan seulas senyum lembut.
Aku lalu mendudukkan diri, bersandar pada rolling door toko yang belum buka.
Sudah berbulan-bulan lamanya aku hidup luntang-lantung tidak jelas di jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal untuk makan pun aku kerap kali mengandalkan belas kasihan dari orang lain.
"Eum, namaku Adaline..." aku menjawab takut-takut, memandang dua orang itu bergantian dengan tatapan malu-malu.
"Nama yang indah, kenalkan namaku Louis!" anak laki-laki yang nampaknya beberapa tahun lebih tua dariku itu membalas ucapanku dengan begitu antusias.
"Kenapa kamu tidur disini, nak? Kenapa tidak pulang ke rumah?" tanya sang wanita dewasa.
"Orang tuaku sudah meninggal, Ibu. Aku diusir oleh paman dan bibiku sendiri dari rumah orang tuaku," tuturku apa adanya sambil memeluk lutut.
Keadaanku tidak jauh lebih baik dari kata memprihatinkan dengan pakaianku yang sudah menjadi sangat lusuh dan kotor. Rambutku sudah tidak dapat disisir sebab sudah menjadi lengket satu sama lain, kulitku yang biasanya putih bersih pun kini sangat kotor dan tak jarang terasa gatal.
Kehidupan yang sangat jauh dari kata layak.
"Bagaimana kalau kamu ikut kami untuk tinggal di panti asuhan kecil milik Bunda Anna? Disana kamu akan mempunyai banyak saudara yang menyayangi kamu," tawar Bunda Anna dengan senyuman yang begitu tulus.
"Kebetulan kami belum punya adik perempuan," timpal Louis sambil meringis lucu.
Aku menimbang sejenak.
Oh, kurasa ini adalah pilihan yang sangat bagus agar aku bisa hidup dengan lebih layak setelah berbulan-bulan menderita sendirian di jalanan lagi pula aku sudah tak sanggup.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk setuju, mengikuti langkah Bunda Anna dan Loius menuju stasiun kereta api agar bisa sampai ke panti asuhan.
...****************...
"Bagaimana rasa masakanku?" Liam bertanya dengan air muka berseri-seri setelah aku memakan spaghetti bolognese buatannya usai mandi dan berganti baju setibanya di panti asuhan. Liam adalah adiknya Louis, keduanya berbeda dua tahun dan sama-sama memiliki kepribadian yang manis serta ramah.
Aku mengangguk dengan senyuman lebar.
"masakan Kak Liam sangat enak seperti rasa masakan dari restoran bintang lima."
Liam tersenyum puas, diikuti oleh tepuk tangan meriah dari Louis dan Bunda Anna.
"Kalau begitu, mulai hari ini kamu akan sering dimanjakan oleh masakan lezat Chef Liam!" seru Liam penuh semangat membuat hatiku terasa menghangat.
Panti asuhan milik Bunda Anna memang kecil namun sangat nyaman dengan lingkungan sudut kota yang tenang serta polusi yang lebih minim. Beberapa ratus meter dari panti asuhan terdapat sebuah peternakan sapi yang cukup besar, menurut penuturan Bunda Anna peternakan sapi itu kerap kali memberikan susu gratis untuk panti asuhan.
"Terima kasih untuk kebaikan kalian semua," balasku sungkan.
"Tidak usah sungkan begitu," Louis menggerakkan jari telunjuknya cepat. "Ingat, kita adalah keluarga jadi satu sama lain harus saling menyayangi."
"Louis benar, sayang. Kalian adalah saudara yang harus saling menjaga," timpal Bunda Anna dengan senyuman lembut.
"Susu segar dari peternakan Horan telah tiba!"
Dari luar rumah terdengar suara dua orang anak laki-laki yang membangkitkan rasa penasaranku. Oh, apakah mereka adalah anak-anak dari pemilik peternakan sapi?
"Silakan masuk, anak-anak manis," panggil Bunda Anna setengah berteriak, meminta anak-anak itu masuk ke dalam rumah.
"Halo, Bunda Anna serta Kak Louis dan Kak Liam. Lalu, siapa gadis mungil yang sangat cantik itu?" ujar anak laki-laki berambut ikal dengan mata hijau kebiruan.
"Hai, Harry dan Niall, perkenalkan namanya Adaline," sahut Liam sambil membantuku turun dari kursi. "Dia adalah adik bungsu kami."
"Senang bertemu denganmu Adaline, namaku Niall," sang anak laki-laki dengan rambut pirang serta mata biru mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku menyambut uluran tangan Niall dengan senyuman kikuk. "Adaline. Senang bertemu denganmu, Kakak."
"Apa kamu tidak mau berkenalan denganku?" tanya anak satunya lagi yang aku yakini bernama Harry.
"Dia sudah namamu kurasa," ejek Liam.
"Senang bertemu denganmu juga, Kak Harry," ucapku sambil tersenyum.
"Anak bungsu Bunda Anna memang sangat cantik kurasa nanti dia akan menjadi seorang primadona," ucap Niall diselingi kekehan.
Harry membantu Bunda Anna membawa masuk ember susu yang mereka bawa ke dalam dalam dapur, membantu sang wanita dewasa memindahkan minuman penuh nutrisi itu ke dalam botol.
"Berhenti menggoda Adaline, Niall! Kita harus segera kembali kalau tidak ayah akan menyuruh kita membersihkan kandang sapi lagi!"
Niall bergidik ngeri, sementara aku serta Louis dan Liam hanya bisa tergelak.
Tidak kusangka kalau kehidupan di dalam panti asuhan ternyata sehangat ini.
...****************...
Tahun demi tahun telah berlalu begitu saja hingga akhirnya tanpa terasa kini aku sudah berusia 18 tahun. Dua tahun belakangan panti asuhan mengalami penurunan pendapatan secara drastis yang membuatnya harus berhenti beroperasi mau tidak mau.
Tidak ingin menyusahkan Bunda Anna terus menerus, aku memutuskan untuk keluar dari panti asuhan dengan dalih agar bisa hidup mandiri --terlebih setelah Louis dan Liam sudah melakukannya lebih dulu beberapa tahun yang lalu-- meski dengan berat hati.
"Maafkan Bunda karena tidak bisa memberikan hidup yang layak untuk kamu, anak bungsuku," lirih Bunda Anna dengan pelupuk matanya yang sudah basah oleh air mata yang sejak tadi mengalir deras.
Aku yang sedang sibuk mengemasi pakaian kedalam ransel pun kondisinya tak berbeda jauh, wajahku basah oleh air mata.
Berat memang mengambil keputusan ini namun apa boleh buat, aku tidak mau terus menjadi beban bagi Bunda Anna yang bahkan kini sudah tidak muda lagi.
"Bunda sudah memberikan hidup yang sangat layak untukku selama ini, sungguh!" balasku sambil menghambur ke dalam pelukan tubuh sepuhnya. Bunda Anna balas memelukku erat, mengusap punggungku dengan begitu lembut.
"Aku harus pergi sekarang, Bunda. Jangan sampai ketinggalan kereta," ucapku seraya menghapus air mataku dengan punggung tangan buru-buru.
"Adaline, bawa ini." Bunda Anna membuka telapak tanganku lantas menaruh amplop coklat di atasnya. "Isinya memang jauh dari kata banyak tapi siapa tahu bisa banyak membantu kamu."
"Tapi-"
"Terimalah, Bunda mohon. Itu adalah hal terakhir yang bisa Bunda berikan untukmu."
Suasana panti asuhan kini sudah benar-benar sepi sebab sudah tidak ada anak lagi yang tinggal disini selama beberapa tahun.
Sepintas semua kenangan indah yang aku lalui bersama Louis, Liam, Niall dan Harry serta anak-anak panti asuhan yang lain memenuhi memoriku membuat hati ini semakin berat untuk beranjak.
"Terima kasih banyak untuk segala kebaikan Bunda kepadaku. Hanya Tuhan yang mampu membalaskan semuanya, aku sayang Bunda."
Bunda Anna mengecup singkat kedua belah pipiku sebagai tanda perpisahan.
"Hati-hati, jaga dirimu. Kalau ada waktu sempatkan untuk kemari."
Aku mengangguk kemudian meraih tasku.
"Sekali lagi terima kasih, Bunda."
Bunda Anna dan aku lantas berjalan bersama menuju pintu keluar rumah, saling melambaikan tangan setelahnya hingga aku benar-benar tak dapat dilihat lagi olehnya.
Napasku sungguh terasa berat, dadaku sesak luar biasa ketika harus menghadapi kenyataan bahwa kini aku kembali menjadi anak yang tidak memiliki rumah untuk pulang.
Langkah demi langkah aku tekuni hingga akhirnya aku tiba di stasiun kereta api guna berangkat menuju desa yang menjadi tujuanku setelah seminggu lalu melakukan survey agar memiliki tujuan hidup setelah ini.
Usai mendapatkan tiket dari loket, aku langsung naik ke dalam kereta seraya berusaha menyimpan segala kenangan indah di panti asuhan dalam benakku.
...****************...
Suasana pedesaan yang asri serta jauh dari hiruk pikuk seketika memenuhi indera penglihatanku, membuat perasaanku merasa sedikit lega walau setelah ini aku belum memiliki tujuan yang pasti.
Desa tujuanku ini bisa dikatakan sebagai salah satu desa yang sangat tradisional, yang sebagian besar hidup masyarakatnya bergantung pada hasil laut dan ladang.
Aku beringsut menjauh dari stasiun, bergerak masuk ke dalam desa yang jaraknya tidak begitu jauh mencoba mencari tempat tinggal terlebih dahulu agar bisa beristirahat dengan aman setelah ini.
"Permisi, Pak. Apa di desa ini ada rumah atau kamar yang disewakan?" tanyaku pada seorang pria paruh baya yang sedang memetik jagung di ladang.
Pria tua itu menggeleng. "Setahu saya di desa tidak ada yang menyewakan properti seperti itu. Apa kamu seorang pendatang?"
"Betul, Pak. Saya ingin memulai hidup baru di desa ini karena sudah tidak mampu hidup di kota," tuturku.
Wajah tua itu terlihat murung. "Sayang sekali desa ini tidak terlalu terbuka untuk seorang pendatang."
Mendengar jawaban itu lantas aku dirundung rasa bingung. Mau kemana aku setelah ini kalau tidak ada rumah atau kamar yang bisa aku sewa di desa ini?
Dengan pikiran kacau dan langkah lunglai aku terus melangkah tanpa tahu harus pergi kemana. Jika aku harus mati pun aku merasa sama sekali tidak keberatan sebab tak ada lagi yang mampu aku lakukan untuk bertahan hidup tanpa tempat tinggal di daerah yang terpencil seperti ini.
Waktu demi waktu berlalu, tanpa sadar aku akhirnya malah sampai di sebuah hutan belantara ketika langit sudah gelap.
"Tuhan, jika ini menjadi hari terakhirku hidup maka itu bukanlah masalah. Ambil saja nyawaku jika engkau berkenan."
Tubuhku yang sudah lemas karena kelelahan akhirnya jatuh terkapar di atas tanah.
Samar-samar aku mendengar suara sekawanan hewan datang mendekat hingga pandanganku benar-benar menggelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments