Zayn masih menatapku lekat-lekat, nampak sibuk membaca apa yang sedang ada dalam pikiranku ditengah derasnya guyuran hujan.
Suara gemuruh guntur yang bersahut-sahutan seolah dapat mengetahui isi hatiku malam ini.
Kesunyian menyelimuti kami berdua kali ini, Zayn terlihat tak tahu harus berkata apa setelah melihat reaksiku beberapa saat lalu setelah ia membeberkan kejadian di balik hilangnya nyawa Papa dan Mama waktu itu.
Aku tak menyangka sekaligus kaget apa yang dulu pernah Bibi Liana katakan padaku saat masih kecil benar-benar menjadi kenyataan, namun aku masih perlu mencari bukti lebih lanjut untuk menjebloskan pelaku yang dengan keji menghilangkan nyawa kedua orang tuaku ke dalam penjara.
"Dulu mendiang pengasuhku pernah berkata seperti itu, tapi aku yang masih kecil kala itu tak lantas mempercayainya..." rintihku seraya berusaha menghapus air mataku yang terus saja mengalir sama derasnya dengan guyuran hujan di luar mansion.
"Beliau pasti tahu banyak, jika saja beliau masih hidup kita bisa mencari lebih banyak informasi darinya," Zayn berandai.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku frustasi.
Zayn merengkuh tubuh mungilku erat-erat, berusaha memberikan ketenangan setelah badai hebat sukses membuat hatiku kacau balau.
Luka di dalam hati yang selama ini berusaha aku tutupi tak juga kunjung sembuh karena memang belum menemukan penyelesaian yang mampu membuatku bisa merelakan kematian orang tuaku dengan lapang dada.
"Kita harus mengumpulkan semua buktinya pelan-pelan," gumam Zayn di samping telinga kananku.
Aku memejamkan mata, membiarkan dadaku yang sedang berdebar kencang itu beradu dengan denyut jantung Zayn yang sedang merengkuh diriku. Rasa hangat perlahan menjalari sekujur tubuhku, lambat laun membuat diriku merasa lebih tenang hingga tangisku berhenti dengan sendirinya.
"Kau sudah merasa lebih baik?" Zayn bertanya dengan lembut, merenggangkan pelukannya menciptakan sedikit jarak di antara kami.
Aku mengangguk lesu. "terima kasih, Zayn."
Zayn menghapus jejak air mataku dengan kedua ibu jarinya, senyum lembutnya terpatri sempurna.
"kalau begitu mari makan malam, bukankah berpikir juga memerlukan energi?"
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, mengikuti langkah Zayn yang beranjak dari ruang tamu menuju dapur.
"Apa yang akan kita makan malam ini, Zayn?" tanyaku sambil mendudukkan diri di atas kursi, memandangi punggung Zayn yang masih sibuk melihat isi kulkas.
Zayn meringis sambil menoleh padaku.
"berhubung kita sudah dua hari tidak berburu maka satu-satunya yang bisa kita makan hanyalah telur dan bawang-bawang ini."
Aku tersenyum masam. "lakukanlah apa saja yang bisa kau lakukan dengan keduanya."
Zayn meletakkan dua butir telur tadi di samping kompor lantas mengambil mangkok serta penggorengan untuk mulai mengolah dua butir telur tadi menjadi makan malam yang nikmat.
Suara merdu Zayn bersenandung kecil, membuatku terpana bagai mendengarkan nyanyian dari surga.
Tangan Zayn dengan terampil mulai meracik bahan-bahan yang ada untuk dimasak, menumis bumbu ala kadarnya yang tersedia dengan sigap membuat aroma yang menggugah selera menguar di segala penjuru dapur.
"Kau yakin aku tidak bisa memasak makan malam yang nikmat hanya bermodalkan dua butir telur?"
"Bagaimana bisa kau tahu?"
Zayn tersenyum miring. "apa kau lupa dengan siapa kau berhadapan sekarang?"
Aku hanya berdeham, salah tingkah memperhatikan Zayn yang sibuk dengan penggorengannya.
Aroma masakan Zayn begitu menggugah selera, membuat perutku seketika terasa kosong.
"Makanlah. kau butuh banyak tenaga karena setelah ini kau akan sangat sibuk demi menegakkan keadilan," ucap Zayn sambil menyajikan masakan buatannya di atas meja.
"Terima kasih sekali lagi, Zayn."
...****************...
Gelas porselen berwarna hitam di hadapanku nampak mengeluarkan asap tipis transparan, pertanda bahwa teh yang ada di dalamnya dalam keadaan masih cukup panas.
"Suhu udara di luar masih sangat rendah, menghangatkan tubuh dengan segelas teh buatan Elf berwajah super tampan sepertiku sama sekali tidak ada salahnya," celoteh Zayn, sekonyong-konyong datang dengan satu toples kaca berisi penuh kukis almond.
Kukis almond? hey, aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku memakannya tapi yang jelas rasanya sangat lezat terlebih saat dipadukan dengan teh hangat. Zayn sepertinya membaca selera orang lain dengan sangat baik.
"Kau suka kukis almond bukan? aku membelinya kemarin sebelum menjemputmu," ungkap Zayn sambil mengambil posisi duduk di seberangku.
Akibat derasnya hujan yang mengguyur sepanjang malam, tanah di sekitar mansion Zayn nampak tergenang oleh air. Rumput serta daun-daun yang ada di dahan pohon yang tinggi juga tak luput dari guyuran hujan semalam, semuanya terlihat basah.
Sinar mentari pagi yang mulai menyingsing dari ufuk timur rasanya belum cukup menghangatkan setelah dinginnya air hujan yang turun dengab brutalnya tadi malam.
"Aku sudah tidak terkejut kau menebaknya dengan sangat tepat," sahutku, membuka tutup toples kaca itu untuk mengambil kukis almond yang sudah sangat lama aku rindukan.
"Selera makananmu memang selalu bagus," Zayn memujiku lantas menyesap teh chamomile buatannya.
Aku mengunyah kukis almond itu dengan nikmat hingga habis satu keping dengan pandangan sepasang obsidian karamel milik Zayn yang terpaku sepenuhnya kepadaku. Merasa kurang nyaman, aku buru-buru meminum teh di hadapanku hingga tersisa setengah gelas.
"Apa kau ingin mengatakan sesuatu?" tuntutku pada Zayn, oknum yang membuat makanku jadi tidak tenang.
"Tidak sebelum kau merasa cukup dengan sarapanmu," balas Zayn dengan suara rendahnya.
"Jadi aku boleh makan lebih dari satu potong?" tanyaku masih tak dapat percaya akan kebaikan Zayn yang belakangan ini bertambah berkali lipat.
Zayn menatapku lurus. "aku memang membelinya untukmu."
Kupu-kupu di dalam perutku seolah berterbangan bebas, membuat perasaanku sangat asing namun ini terasa menyenangkan. Perutku terasa melilit, namun itu sama sekali tidak menyakitkan seperti saat sedang menderita diare.
Sepasang netra karamel jernih milik Zayn sangat mengagumkan, selalu berhasil membuat dadaku berdebar kencang seperti baru selesai lari maraton ratusan kilometer.
Aku memakan beberapa keping biskuit lagi tanpa menjawab Zayn, tak lupa menikmati teh chamomile buatannya yang juga terasa begitu nikmat serta harum memanjakan mulut dan tenggorokanku.
"Jadi apa yang mau kau katakan, Zayn?"
Zayn menghela. "seharusnya aku tidak mengatakan hal ini disaat kau sedang menikmati kukis almond kesukaanmu."
Aku mengedikan bahu acuh. "apa boleh buat? kau sudah membuatku penasaran."
"Kau boleh mempertimbangkan saranku ini, mau kau lakukan atau tidak nanti," sepasang mata indah Zayn kembali menatapku. "apa mobil orang tuamu yang mereka pakai waktu itu masih ada?"
Aku berdeham, berpikir sejenak mengingat informasi itu tak banyak aku dapatkan terlebih kala itu aku masih terlalu kecil untuk tahu detail kecelakaan yang menewaskan Papa dan Mama.
"sepertinya masih ada di kantor polisi Kopenhagen, kenapa?"
"Kalau begitu carilah mobil itu. tapi kau harus mempertimbangkannya lagi matang-matang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments