Kopenhagen, Denmark 10 Januari 1990.
Author POV
"Papa dan Mama mau pergi kemana?" tanya seorang gadis kecil dengan sepasang netra sebiru samudra Atlantik.
James Winters, ayah dari sang gadis tersenyum manis lantas berderap menuju ambang pintu tempat anaknya berdiri.
"Kami harus pergi untuk mengurus bisnis di kota lain, sayang. Papa janji kami tidak akan pergi lama."
Sang gadis mendengus sebal. "lalu kalian akan meninggalkan Ada sendirian? Papa dan Mama ternyata sama saja teganya!"
Adeline Serendipity Winters, sang putri tunggal dari James dan Anne Winters itu memandang Papanya jengah.
"Kalian selalu saja mementingkan bisnis di atas segalanya, menyebalkan!"
Anne yang mendengar keributan antara sepasang Ayah dan Anak itu hanya bisa tersenyum geli. Untuk ukuran bocah lima tahun, agaknya Ada putri mereka itu terlampau pandai berbicara bahkan cenderung mirip dengan orang dewasa.
Ada bahkan tahan beradu argumen dengan kedua orang tuanya ketika anak lain lebih memilih menangis untuk menyelesaikan masalah mereka dengan orang tuanya.
Kedua kaki jenjang Anne melangkah turun dari tangga, membawa sebungkus besar coklat Belgia yang beberapa waktu lalu ia beli dari salah seorang pedagang coklat tersohor di kota mereka.
"Ada apa ini kenapa berisik sekali?" keluhnya, berjalan mendekat kepada suami dan anaknya.
"Sayang," panggil Anne pada putri semata wayangnya itu dengan begitu lembut. "Mama punya cokelat Belgia untukmu. Tapi kali ini tidak boleh ikut Papa dan Mama dulu ya, 'kan Ada sedang demam."
Ada bersedekap, memandang tajam sang Mama dengan mata birunya yang berkilat-kilat. "Kalau begitu cepatlah pulang. Kalau dalam empat hari kalian tidak pulang maka Ada akan mengunci semua pintu di rumah ini agar kalian tidak bisa pulang."
James terkekeh geli. "Sungguh ancaman yang menakutkan. Baiklah, kami akan pulang sebelum empat hari."
Merasa negosiasi dengan anak mereka telah selesai, Anne memberikan bungkusan besar berisi coklatnya kepada Ada.
"Kalau begitu kamu boleh makan coklatnya tapi jangan lupa untuk sikat gigi ya, sayang."
"Baiklah," Ada mengangguk patuh.
"Liana, kami titip Adaline ya. Tolong berikan dia makan dan susu tepat waktu," imbau Anne tegas kepada Liana, pengasuh Ada.
Liana merangkul Ada. "Anda tidak perlu khawatir, Nyonya Winters."
Setelah bercakap-cakap ringan, Tuan dan Nyonya Winters beringsut menuju mobil mereka untuk berangkat ke kota tujuan mereka guna mengurus kantor cabang bisnis yang baru akan mereka bangun.
Sebagai sepasang suami istri muda dengan bisnis yang begitu cemerlang membuat pasangan Winters menjadi salah satu pasangan yang sangat disegani oleh orang-orang.
"Mama dan Papa berangkat dulu ya, sayang!"
"Hati-hati di jalan!" Ada menyahuti ucapan sang Mama dengan senyuman lebar.
James membunyikan klaksonnya tanda berpamitan, Ada melambaikan tangannya hingga mobil sedan mewah milik orang tuanya itu menghilang ditelan belokan.
"Bibi Liana, kenapa Mama dan Papa sibuk sekali? Mereka bahkan sering melewatkan waktu makan," tanya Ada polos dengan bibir merahnya yang melengkung ke bawah.
Liana tersenyum, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang bocah.
"Tuan dan Nyonya Winters sedang berusaha memberikan masa depan yang terbaik untuk kamu, Ada. Jadi sebagai anaknya kamu harus terus mendoakan agar mereka senantiasa baik-baik saja dan sehat."
"Hmm... Begitu ya?"
"Iya. Jadi Ada harus menjadi anak yang pintar dan mandiri ya."
Liana yang sudah bekerja sebagai pengasuh Ada sejak anak itu lahir entah kenapa kali ini merasakan firasat yang sangat tidak enak.
Wanita berusia hampir separuh abad itu menggeleng cepat berusaha menghilangkan perasaan tak nyamannya itu.
"Semoga Tuan dan Nyonya Winters selalu dalam perlindungan Tuhan," gumamnya dengan tangan terkepal di depan dada.
...****************...
"Ada! Ada! Bangun, nak!"
Pukul satu dini hari, Liana dengan tangan bergetar serta wajah yang sudah basah oleh air mata berlari secepat yang ia bisa menuju kamar Ada di lantai dua.
Mendengar suara berisik Liana dari luar kamar, Ada mengucek matanya berusaha mengumpulkan semua kesadarannya segera untuk membuka pintu kamar.
Sepasang kaki kecil Ada berjalan menuju pintu kamar, memutar kenop pintunya hingga kunci pintu kamar bernuansa pink itu terbuka lebar.
Mendapati Liana yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan penampilan yang kacau, Ada yang masih sangat lugu jelas bingung apa yang membuat Liana menangis seperti itu tengah malam begini.
"Kenapa Bibi Liana menangis malam-malam begini? Ada apa?" tanya Ada bingung yang semakin membuat hati Liana sakit.
"Tuan dan Nyonya Winters...."
"Apa yang terjadi pada Papa dan Mama, Bi? Katakan padaku!"
"Mereka... Mereka tidak selamat..."
"Maksudnya apa, Bibi? Cepat katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi!"
"Ada... Tuan dan Nyonya Winters mengalami kecelakaan, mereka tidak selamat..."
Bagai ditusuk oleh ribuan belati, dada Ada terasa sangat sakit hingga air matanya meluruh begitu saja dengan begitu deras. Sesak pun dirasa oleh gadis mungil itu, dadanya bak ditimpa oleh sebongkah batu gunung besar.
Orang tuanya, yang tadi ia pesankan untuk segera pulang malah tidak akan pernah kembali pulang ke rumah untuk selamanya.
Kenyataan pahit yang begitu memusingkan itu membuat lutut Ada lemas, jatuh meluruh begitu saja di atas lantai marmer putih rumah mewah keluarga Winters.
Menyadari mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menangis, Liana meraih tubuh mungil Ada ke dalam gendongannya lantas berderap keluar rumah menuju garasi guna mengambil mobil untuk pergi ke rumah sakit.
"Kita harus segera ke rumah sakit, Papa dan Mamamu pasti sudah menunggu."
Liana mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya yang lengang mengingat sekarang sudah dini hari.
Jemarinya menggenggam erat setir hingga mobil sedan yang mereka kendarai sampai akhirnya tiba di pelataran rumah sakit yang terletak di pusat kota Kopenhagen.
"Dimana jasad Tuan dan Nyonya Winters berada?" tanya Liana kepada suster yang berjaga di loket administrasi.
"Mereka sudah dibersihkan dan sekarang ada di kamar jenazah. Kalau begitu mari saya antar ke sana."
Ada yang sejak tadi menangis sesenggukan hanya bisa pasrah dalam gendongan Liana. Gadis malang itu bahkan kini bagai tak mampu menggerakkan kakinya karena tubuhnya seolah kehilangan semua tenaganya.
Lorong-lorong sepi rumah sakit satu demi satu mereka lewati sampai akhirnya ketiganya berhasil tiba di depan pintu kamar jenazah.
Suster itu masuk ke dalam memimpin jalan, diikuti Liana serta Ada menuju lemari penyimpanan jenazah tempat jasad James dan Anne Winters berada.
"Apa benar ini adalah Tuan dan Nyonya Winters yang kalian cari?" tanya sang suster setelah membuka kain putih yang menutupi wajah jenazah keduanya.
Bagai tersambar petir di siang bolong, dada Ada terasa benar-benar sakit tatkala harapannya mengenai kedua orang tuanya yang masih dapat selamat telah pupus.
...****************...
Suasana pemakaman ramai memenuhi pemakaman Vestre, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi James dan Anne Winters sesuai surat wasiat yang mereka titipkan kepada sang pengacara beberapa bulan lalu. Surat wasiat itu ternyata betul-betul menjadi kenyataan dalam waktu yang tak seberapa lama membuat banyak pihak terkejut.
"Apa yang akan aku lakukan setelah Papa dan Mama tidak ada, Bibi Liana?" tanya Ada dengan matanya yang sangat sembab.
Liana menghela panjang, mengusap puncak kepala sang gadis mungil penuh sayang.
"Ingat kalau Papa dan Mama pernah bilang kepadamu untuk menjadi anak yang pintar? Bukannya Ada ingin menjadi seorang dokter? Maka wujudkanlah itu, sayang."
Air muka murung Ada makin terlihat jelas membuat siapa pun yang melihatnya menjadi iba. Anak malang yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tuanya itu malah harus kehilangan keduanya sekaligus.
"Semoga saja Ada mampu mewujudkannya," balas Ada sedih.
Setelah prosesi pemakaman pasangan Winters selesai, para pelayat satu demi satu beringsut pergi meninggalkan area pemakaman menyisakan Ada, Liana, serta Josh dan Jocelyn Winters yang merupakan Paman dan Bibi kandungan Ada.
"Mama, Papa... titip salam untuk Tuhan dari surga ya." ucap Ada pilu di atas pusara kedua orang tuanya yang masih basah dan ditaburi dengan banyak bunga.
Josh dan Jocelyn Winters adalah pasangan yang sudah menikah lama namun belum mempunyai anak. Mereka tinggal di sudut kota Kopenhagen karena tidak memiliki harta sebanyak milik James Winters. Josh hanya memiliki usaha toko kelontong kecil, berbanding terbalik dengan adiknya yang kaya raya sejak sejak menikah.
Tanpa banyak bicara mereka lantas meninggalkan area pemakaman hendak pulang.
...****************...
"Surat wasiat dari Tuan James Arion Winters dan Anne Hathaway Winters menyebutkan jika keduanya meninggal, semua harta tanpa terkecuali menjadi hak putri mereka Adeline Serendipity Winters secara mutlak. Dan kalian Josh serta Jocelyn Winters adalah wali sah dari Adeline Serendipity Winters," terang Rudolf Eugene, pengacara dari James dan Anne.
Josh dan Jocelyn yang mendengar penuturan itu jelas merasa tak puas sebab nama mereka tidak tercantum sebagai ahli waris.
Diskusi malam itu berakhir tidak sesuai dengan keinginan pasangan suami istri tersebut. Sepeninggal Rudolf Eugene si pengacara, Josh serta Jocelyn naik menuju lantai dua menuju kamar Ada.
Keinginan mereka untuk menguasai harta kekayaan milik Ada semakin bergejolak terlebih setelah mereka memecat Liana dengan cara mengancam wanita itu. Tentunya, keberadaan Liana akan mempersulit mereka untuk menyingkirkan Ada.
"Ada, keluar kamu!" teriak Jocelyn sambil menggedor-gedor pintu kamar Ada.
Ada yang badannya lemas karena belum makan sejak pagi itu berjalan lunglai menuju pintu kamarnya.
"Paman dan Bibi ada perlu apa?"
Bukannya jawaban yang didapatkan oleh Ada, tetapi sebuah tamparan keras di pipinya yang tanpa rasa belas kasih diberikan oleh Josh.
"Apa salahku? Kenapa Paman menamparku?"
Ada memegang pipinya yang terasa begitu panas serta nyeri dan perih. Rasa berkedut juga menjalari pipi putih gadis malang itu namun hebatnya ia tidak menangis walau mendapatkan tamparan sekeras itu.
"Karena kau, kami jadi tidak mendapatkan sepeserpun warisan tetap malah harus mengurus anak tak berguna sepertimu!" pekik Josh dengan mata penuh kebencian.
Ada kecil sudah menduga ini sebelumnya, dia tahu kalau paman dan bibinya itu bahkan memiliki rasa iri hati serta dengki kepada keluarga tanpa alasan yang jelas.
"Pergi dari rumah ini sekarang juga, kami tidak mau mengurus anak manja sepertimu!" tukas Jocelyn.
Ada tersenyum getir. "baiklah mungkin sekarang karena aku masih anak-anak sehingga kalian bisa memperlakukan aku sesuka hati kalian aku akan terima. tapi suatu saat nanti aku jamin kalian akan membayar semuanya!"
Ada masuk ke dalam kamarnya, mengambil pakaian seadanya lalu memasukkannya ke dalam ransel sedang berwarna biru langit.
"Tuhan tidak pernah tidur, Paman dan Bibiku tersayang. Kalian akan mendapatkan apa yang pantas kalian dapatkan," ucap Ada dengan seulas senyum dingin yang sulit diartikan. Anak itu sungguh bukan anak kecil biasa yang tak bisa dianggap remeh.
Ada POV
Aku terbangun karena merasakan tubuhku terguncang pelan. Mataku menyerjap perlahan guna membiasakan cahaya yang masuk hingga akhirnya sepasang netraku mendapati seorang ibu serta anak laki-laki tampan bermata biru kehijauan tengah memandangku.
"Nama kamu siapa, nak?" tanya ibu berambut cokelat terang itu dengan seulas senyum lembut.
Aku lalu mendudukkan diri, bersandar pada rolling door toko yang belum buka.
Sudah berbulan-bulan lamanya aku hidup luntang-lantung tidak jelas di jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal untuk makan pun aku kerap kali mengandalkan belas kasihan dari orang lain.
"Eum, namaku Adaline..." aku menjawab takut-takut, memandang dua orang itu bergantian dengan tatapan malu-malu.
"Nama yang indah, kenalkan namaku Louis!" anak laki-laki yang nampaknya beberapa tahun lebih tua dariku itu membalas ucapanku dengan begitu antusias.
"Kenapa kamu tidur disini, nak? Kenapa tidak pulang ke rumah?" tanya sang wanita dewasa.
"Orang tuaku sudah meninggal, Ibu. Aku diusir oleh paman dan bibiku sendiri dari rumah orang tuaku," tuturku apa adanya sambil memeluk lutut.
Keadaanku tidak jauh lebih baik dari kata memprihatinkan dengan pakaianku yang sudah menjadi sangat lusuh dan kotor. Rambutku sudah tidak dapat disisir sebab sudah menjadi lengket satu sama lain, kulitku yang biasanya putih bersih pun kini sangat kotor dan tak jarang terasa gatal.
Kehidupan yang sangat jauh dari kata layak.
"Bagaimana kalau kamu ikut kami untuk tinggal di panti asuhan kecil milik Bunda Anna? Disana kamu akan mempunyai banyak saudara yang menyayangi kamu," tawar Bunda Anna dengan senyuman yang begitu tulus.
"Kebetulan kami belum punya adik perempuan," timpal Louis sambil meringis lucu.
Aku menimbang sejenak.
Oh, kurasa ini adalah pilihan yang sangat bagus agar aku bisa hidup dengan lebih layak setelah berbulan-bulan menderita sendirian di jalanan lagi pula aku sudah tak sanggup.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk setuju, mengikuti langkah Bunda Anna dan Loius menuju stasiun kereta api agar bisa sampai ke panti asuhan.
...****************...
"Bagaimana rasa masakanku?" Liam bertanya dengan air muka berseri-seri setelah aku memakan spaghetti bolognese buatannya usai mandi dan berganti baju setibanya di panti asuhan. Liam adalah adiknya Louis, keduanya berbeda dua tahun dan sama-sama memiliki kepribadian yang manis serta ramah.
Aku mengangguk dengan senyuman lebar.
"masakan Kak Liam sangat enak seperti rasa masakan dari restoran bintang lima."
Liam tersenyum puas, diikuti oleh tepuk tangan meriah dari Louis dan Bunda Anna.
"Kalau begitu, mulai hari ini kamu akan sering dimanjakan oleh masakan lezat Chef Liam!" seru Liam penuh semangat membuat hatiku terasa menghangat.
Panti asuhan milik Bunda Anna memang kecil namun sangat nyaman dengan lingkungan sudut kota yang tenang serta polusi yang lebih minim. Beberapa ratus meter dari panti asuhan terdapat sebuah peternakan sapi yang cukup besar, menurut penuturan Bunda Anna peternakan sapi itu kerap kali memberikan susu gratis untuk panti asuhan.
"Terima kasih untuk kebaikan kalian semua," balasku sungkan.
"Tidak usah sungkan begitu," Louis menggerakkan jari telunjuknya cepat. "Ingat, kita adalah keluarga jadi satu sama lain harus saling menyayangi."
"Louis benar, sayang. Kalian adalah saudara yang harus saling menjaga," timpal Bunda Anna dengan senyuman lembut.
"Susu segar dari peternakan Horan telah tiba!"
Dari luar rumah terdengar suara dua orang anak laki-laki yang membangkitkan rasa penasaranku. Oh, apakah mereka adalah anak-anak dari pemilik peternakan sapi?
"Silakan masuk, anak-anak manis," panggil Bunda Anna setengah berteriak, meminta anak-anak itu masuk ke dalam rumah.
"Halo, Bunda Anna serta Kak Louis dan Kak Liam. Lalu, siapa gadis mungil yang sangat cantik itu?" ujar anak laki-laki berambut ikal dengan mata hijau kebiruan.
"Hai, Harry dan Niall, perkenalkan namanya Adaline," sahut Liam sambil membantuku turun dari kursi. "Dia adalah adik bungsu kami."
"Senang bertemu denganmu Adaline, namaku Niall," sang anak laki-laki dengan rambut pirang serta mata biru mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku menyambut uluran tangan Niall dengan senyuman kikuk. "Adaline. Senang bertemu denganmu, Kakak."
"Apa kamu tidak mau berkenalan denganku?" tanya anak satunya lagi yang aku yakini bernama Harry.
"Dia sudah namamu kurasa," ejek Liam.
"Senang bertemu denganmu juga, Kak Harry," ucapku sambil tersenyum.
"Anak bungsu Bunda Anna memang sangat cantik kurasa nanti dia akan menjadi seorang primadona," ucap Niall diselingi kekehan.
Harry membantu Bunda Anna membawa masuk ember susu yang mereka bawa ke dalam dalam dapur, membantu sang wanita dewasa memindahkan minuman penuh nutrisi itu ke dalam botol.
"Berhenti menggoda Adaline, Niall! Kita harus segera kembali kalau tidak ayah akan menyuruh kita membersihkan kandang sapi lagi!"
Niall bergidik ngeri, sementara aku serta Louis dan Liam hanya bisa tergelak.
Tidak kusangka kalau kehidupan di dalam panti asuhan ternyata sehangat ini.
...****************...
Tahun demi tahun telah berlalu begitu saja hingga akhirnya tanpa terasa kini aku sudah berusia 18 tahun. Dua tahun belakangan panti asuhan mengalami penurunan pendapatan secara drastis yang membuatnya harus berhenti beroperasi mau tidak mau.
Tidak ingin menyusahkan Bunda Anna terus menerus, aku memutuskan untuk keluar dari panti asuhan dengan dalih agar bisa hidup mandiri --terlebih setelah Louis dan Liam sudah melakukannya lebih dulu beberapa tahun yang lalu-- meski dengan berat hati.
"Maafkan Bunda karena tidak bisa memberikan hidup yang layak untuk kamu, anak bungsuku," lirih Bunda Anna dengan pelupuk matanya yang sudah basah oleh air mata yang sejak tadi mengalir deras.
Aku yang sedang sibuk mengemasi pakaian kedalam ransel pun kondisinya tak berbeda jauh, wajahku basah oleh air mata.
Berat memang mengambil keputusan ini namun apa boleh buat, aku tidak mau terus menjadi beban bagi Bunda Anna yang bahkan kini sudah tidak muda lagi.
"Bunda sudah memberikan hidup yang sangat layak untukku selama ini, sungguh!" balasku sambil menghambur ke dalam pelukan tubuh sepuhnya. Bunda Anna balas memelukku erat, mengusap punggungku dengan begitu lembut.
"Aku harus pergi sekarang, Bunda. Jangan sampai ketinggalan kereta," ucapku seraya menghapus air mataku dengan punggung tangan buru-buru.
"Adaline, bawa ini." Bunda Anna membuka telapak tanganku lantas menaruh amplop coklat di atasnya. "Isinya memang jauh dari kata banyak tapi siapa tahu bisa banyak membantu kamu."
"Tapi-"
"Terimalah, Bunda mohon. Itu adalah hal terakhir yang bisa Bunda berikan untukmu."
Suasana panti asuhan kini sudah benar-benar sepi sebab sudah tidak ada anak lagi yang tinggal disini selama beberapa tahun.
Sepintas semua kenangan indah yang aku lalui bersama Louis, Liam, Niall dan Harry serta anak-anak panti asuhan yang lain memenuhi memoriku membuat hati ini semakin berat untuk beranjak.
"Terima kasih banyak untuk segala kebaikan Bunda kepadaku. Hanya Tuhan yang mampu membalaskan semuanya, aku sayang Bunda."
Bunda Anna mengecup singkat kedua belah pipiku sebagai tanda perpisahan.
"Hati-hati, jaga dirimu. Kalau ada waktu sempatkan untuk kemari."
Aku mengangguk kemudian meraih tasku.
"Sekali lagi terima kasih, Bunda."
Bunda Anna dan aku lantas berjalan bersama menuju pintu keluar rumah, saling melambaikan tangan setelahnya hingga aku benar-benar tak dapat dilihat lagi olehnya.
Napasku sungguh terasa berat, dadaku sesak luar biasa ketika harus menghadapi kenyataan bahwa kini aku kembali menjadi anak yang tidak memiliki rumah untuk pulang.
Langkah demi langkah aku tekuni hingga akhirnya aku tiba di stasiun kereta api guna berangkat menuju desa yang menjadi tujuanku setelah seminggu lalu melakukan survey agar memiliki tujuan hidup setelah ini.
Usai mendapatkan tiket dari loket, aku langsung naik ke dalam kereta seraya berusaha menyimpan segala kenangan indah di panti asuhan dalam benakku.
...****************...
Suasana pedesaan yang asri serta jauh dari hiruk pikuk seketika memenuhi indera penglihatanku, membuat perasaanku merasa sedikit lega walau setelah ini aku belum memiliki tujuan yang pasti.
Desa tujuanku ini bisa dikatakan sebagai salah satu desa yang sangat tradisional, yang sebagian besar hidup masyarakatnya bergantung pada hasil laut dan ladang.
Aku beringsut menjauh dari stasiun, bergerak masuk ke dalam desa yang jaraknya tidak begitu jauh mencoba mencari tempat tinggal terlebih dahulu agar bisa beristirahat dengan aman setelah ini.
"Permisi, Pak. Apa di desa ini ada rumah atau kamar yang disewakan?" tanyaku pada seorang pria paruh baya yang sedang memetik jagung di ladang.
Pria tua itu menggeleng. "Setahu saya di desa tidak ada yang menyewakan properti seperti itu. Apa kamu seorang pendatang?"
"Betul, Pak. Saya ingin memulai hidup baru di desa ini karena sudah tidak mampu hidup di kota," tuturku.
Wajah tua itu terlihat murung. "Sayang sekali desa ini tidak terlalu terbuka untuk seorang pendatang."
Mendengar jawaban itu lantas aku dirundung rasa bingung. Mau kemana aku setelah ini kalau tidak ada rumah atau kamar yang bisa aku sewa di desa ini?
Dengan pikiran kacau dan langkah lunglai aku terus melangkah tanpa tahu harus pergi kemana. Jika aku harus mati pun aku merasa sama sekali tidak keberatan sebab tak ada lagi yang mampu aku lakukan untuk bertahan hidup tanpa tempat tinggal di daerah yang terpencil seperti ini.
Waktu demi waktu berlalu, tanpa sadar aku akhirnya malah sampai di sebuah hutan belantara ketika langit sudah gelap.
"Tuhan, jika ini menjadi hari terakhirku hidup maka itu bukanlah masalah. Ambil saja nyawaku jika engkau berkenan."
Tubuhku yang sudah lemas karena kelelahan akhirnya jatuh terkapar di atas tanah.
Samar-samar aku mendengar suara sekawanan hewan datang mendekat hingga pandanganku benar-benar menggelap.
Aku membuka mataku perlahan dengan kepalaku yang rasanya luar biasa berat, membiasakan cahaya yang masuk menyebar ke dalam netraku.
"Dimana aku?" gumamku seraya memperhatikan keadaan sekitar.
Aku jelas semakin bingung bagaimana bisa aku berada di dalam goa, kupikir aku sudah mati karena kelelahan dan kelaparan.
Di luar goa sedang turun hujan deras, membuat aku mengurungkan niat untuk keluar dari sana. Aku lantas duduk bersandar pada dinding goa, mengamati kondisi di sekitarku dengan seksama barangkali dapat menemukan petunjuk bagaimana bisa aku ada di sini.
Ketika sedang sibuk memperhatikan kondisi sekitar, aku dikejutkan dengan kedatangan seekor kera ekor panjang yang bulunya berwarna kuning keemasan. Wajahnya nampak menggemaskan namun aku tak berani mendekatinya karena sebelumnya belum pernah berinteraksi dengan hewan itu secara langsung.
Kera itu bergerak dengan sangat lincah, menghampiriku sambil terus mengeluarkan suara yang nampaknya bertujuan untuk memanggil kawanannya.
Tak lama setelahnya, sekitar sepuluh ekor kera yang lebih besar datang mendekat kepadaku yang jelas membuatku bingung sekaligus takut. Pelan-pelan mereka berjalan mendekat, membuatku berjalan mundur untuk menjaga jarak. Tetapi diluar dugaanku, mereka sama sekali tidak agresif membuatku merasa sedikit tenang --ya walaupun aku harus mati karena dimangsa oleh mereka pun aku merasa tidak apa-apa.
Kera kecil yang pertama kali datang kepadaku tadi lantas menyodorkan tiga buah pisang yang sangat besar kepadaku. Ragu-ragu aku menerimanya tetapi tak ada pilihan lain selain memakannya sebab tubuhku juga sudah terasa sangat lemas karena lapar.
Sekali lagi aku memandang mereka semua dan hebatnya seolah tahu kalau aku meminta izin mereka semua kompak mengangguk membuatku tersenyum lega.
Dengan lahap aku memakan pisang pemberian dari mereka berupaya mengisi ulang tenagaku yang telah terkuras habis.
"Terima kasih telah menyelamatkan hidupku. Kalian adalah satu-satunya keluarga yang kupunya sekarang," kataku sambil memandang semua kera yang duduk dengan rapi itu.
Mereka membalasnya dengan sorakan yang anehnya malah membuat perasaanku menjadi hangat sehangat ketika masih memiliki keluarga yang utuh dan harmonis.
Dua kera yang paling besar lantas menghampiri aku, mengusap punggung dan kepalaku sambil berbunyi dengan nada lembut.
Ya, seperti sedang mendapatkan kasih sayang dari Mama dan Papaku dulu.
...****************...
Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan tinggal di hutan bersama kawanan kera. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik, membagi makanan mereka untukku serta memberikan tempat tinggal yang cukup nyaman untukku di dalam goa --setidaknya aku tidak kebasahan saat hujan datang, pun saat musim dingin seperti ini juga aku tidak merasakan dinginnya tidur tanpa tempat berlindung.
"Oli!" teriakku memanggil si kera bungsu, yang sudah aku anggap seperti saudara sekaligus sahabat.
Oli dengan gesit turun dari pohon, datang kepadaku lantas memberikan setangkai mangga berisi lima buah mangga hasil buruannya kepadaku.
"Untukku?" aku bertanya memastikan, Oli mengangguk cepat dengan mata berbinar-binar.
"Terima kasih, Oli. Tapi kayu bakar kita habis kalau kita tidak pergi mencarinya sekarang malam ini aku pasti tidak bisa tidur."
Oli mengangguk paham, ditariknya tanganku beranjak keluar dari goa. Hutan tempatku tinggal ini memiliki pepohonan yang sangat rimbun dan beragam dengan aneka buah-buahan yang tumbuh lebat menjadi makananku serta kawanan kera setiap hari.
Aku mengencangkan mantel yang tengah kukenakan, berjalan mengikuti langkah Oli menuju sumber kayu bakar.
"Apa kita harus masuk lebih dalam ke hutan itu, Oli?" tanyaku takut-takut setelah melihat pohon-pohon besar dengan batang lapuk.
Oli mengangguk cepat, menarik tanganku untuk melangkah lebih cepat membuatku tak memiliki pilihan lain selain tetap mengikuti Oli.
Setelah beberapa saat, aku dan Oli berhasil menemukan pohon besar yang telah tumbang.
Berbekal pisau ditangan, aku mulai mengambil ranting-ranting kecil pohon itu untuk dijadikan kayu bakar yang bisa dipakai hingga beberapa hari ke depan. Aku menyusun kayu-kayu yang telah kami kumpulkan, memasukkannya ke dalam selendang yang kubawa.
"Hei, Oli! Apa kau lihat itu?" aku bertanya kepada Oli yang sedang sibuk mengumpulkan kayu bakar setelah mataku mendapati pemandangan yang tidak biasa di bagian hutan yang lebih dalam.
Oli memandangi aku dengan bingung, bertanya apa maksud dari perkataanku.
Aku mendecak, menggendong kayu bakar yang sudah berhasil kami kumpulkan lantas menarik Oli menuju sesuatu yang menarik perhatianku sepersekian detik lalu tersebut.
Kami berjalan lebih jauh ke dalam hutan walau dengan perasaan was-was namun rasa penasaranku lebih tinggi.
Dinginnya udara serta lebatnya salju yang mulai menusuk tulang pun tak aku hiraukan demi memuaskan rasa penasaranku.
"Sejak kapan ada bangunan besar di pelosok hutan seperti ini?" aku bertanya kepada Oli, namun kera kecil itu malah menggeleng dengan sorot mata bingung.
Oli bahkan tidak tahu? Sungguh menarik.
Bagaimana bisa ada mansion mewah di pelosok hutan seperti ini? Nampaknya pemilik mansion ini adalah keluarga besar yang kaya raya hingga bisa memiliki properti luar biasa seperti itu.
"Ayo temani aku memuaskan rasa penasaranku, Oli!"
Dengan langkah gesit aku beringsut menuju mansion besar itu tidak mempedulikan rasa dingin yang kian menusuk tulangku.
Dari dekat aku mengawasi mansion tersebut, sebuah bangunan megah bernuansa putih yang terlihat sangat mencolok ditengah rimbunnya pepohonan hutan.
"Siapa disana?!"
Aku terkejut luar biasa tatkala mendengar sebuah suara berat dengan nada dingin menguar saat aku mendekati mansion itu.
Pandanganku lantas aku arahkan ke atas, sumber suara dan malah semakin kaget setelah bertemu pandang dengan sang pemilik suara. Seorang pria yang tampan, ah bukan, dia terlalu tampan dengan mata bersorot tajam, rambut legam bagai sayap gagak serta hidung runcing bak paruh elang lengkap dengan bibir ranum yang penuh membuatku tercenung memandangi keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini.
Pria itu beranjak, menghilang dari pandanganku namun sukses membuat pikiranku kosong untuk beberapa saat. Sungguh, dia terlalu tampan seperti bukan manusia membuatku terhipnotis.
"Siapa kau?" sekonyong-konyong pria itu kini sudah berada dalam jarak beberapa meter saja di hadapanku membuat diri ini seperti orang linglung.
"Eum, namaku Adaline..." jawabku, menundukkan kepala tak sanggup beradu pandang dengan pria terlalu tampan itu.
"Bagaimana bisa seorang gadis hidup ditengah hutan seperti ini?" pria itu tergelak. "dan lagi kau cukup cantik dengan matamu yang sebiru kristal itu."
Aku tak mampu mengendalikan diriku yang kini menjadi salah tingkah, berupaya tak mau beradu pandang dengan pria itu dengan terus mengalihkan pandangan.
"Ah, ngomong-ngomong namaku Zayn."
Zayn? Nama yang sangatlah tidak familiar di tanah Denmark dan cukup membuatku bingung. Apa iya dia bukan orang asli Denmark?
"Tepat sekali gadis manis," Pria itu tersenyum penuh misteri seolah dapat membaca isi pikiranku, "masuklah dulu aku tahu kau sangat kedinginan sekarang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!