Aku membuka mataku perlahan dengan kepalaku yang rasanya luar biasa berat, membiasakan cahaya yang masuk menyebar ke dalam netraku.
"Dimana aku?" gumamku seraya memperhatikan keadaan sekitar.
Aku jelas semakin bingung bagaimana bisa aku berada di dalam goa, kupikir aku sudah mati karena kelelahan dan kelaparan.
Di luar goa sedang turun hujan deras, membuat aku mengurungkan niat untuk keluar dari sana. Aku lantas duduk bersandar pada dinding goa, mengamati kondisi di sekitarku dengan seksama barangkali dapat menemukan petunjuk bagaimana bisa aku ada di sini.
Ketika sedang sibuk memperhatikan kondisi sekitar, aku dikejutkan dengan kedatangan seekor kera ekor panjang yang bulunya berwarna kuning keemasan. Wajahnya nampak menggemaskan namun aku tak berani mendekatinya karena sebelumnya belum pernah berinteraksi dengan hewan itu secara langsung.
Kera itu bergerak dengan sangat lincah, menghampiriku sambil terus mengeluarkan suara yang nampaknya bertujuan untuk memanggil kawanannya.
Tak lama setelahnya, sekitar sepuluh ekor kera yang lebih besar datang mendekat kepadaku yang jelas membuatku bingung sekaligus takut. Pelan-pelan mereka berjalan mendekat, membuatku berjalan mundur untuk menjaga jarak. Tetapi diluar dugaanku, mereka sama sekali tidak agresif membuatku merasa sedikit tenang --ya walaupun aku harus mati karena dimangsa oleh mereka pun aku merasa tidak apa-apa.
Kera kecil yang pertama kali datang kepadaku tadi lantas menyodorkan tiga buah pisang yang sangat besar kepadaku. Ragu-ragu aku menerimanya tetapi tak ada pilihan lain selain memakannya sebab tubuhku juga sudah terasa sangat lemas karena lapar.
Sekali lagi aku memandang mereka semua dan hebatnya seolah tahu kalau aku meminta izin mereka semua kompak mengangguk membuatku tersenyum lega.
Dengan lahap aku memakan pisang pemberian dari mereka berupaya mengisi ulang tenagaku yang telah terkuras habis.
"Terima kasih telah menyelamatkan hidupku. Kalian adalah satu-satunya keluarga yang kupunya sekarang," kataku sambil memandang semua kera yang duduk dengan rapi itu.
Mereka membalasnya dengan sorakan yang anehnya malah membuat perasaanku menjadi hangat sehangat ketika masih memiliki keluarga yang utuh dan harmonis.
Dua kera yang paling besar lantas menghampiri aku, mengusap punggung dan kepalaku sambil berbunyi dengan nada lembut.
Ya, seperti sedang mendapatkan kasih sayang dari Mama dan Papaku dulu.
...****************...
Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan tinggal di hutan bersama kawanan kera. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik, membagi makanan mereka untukku serta memberikan tempat tinggal yang cukup nyaman untukku di dalam goa --setidaknya aku tidak kebasahan saat hujan datang, pun saat musim dingin seperti ini juga aku tidak merasakan dinginnya tidur tanpa tempat berlindung.
"Oli!" teriakku memanggil si kera bungsu, yang sudah aku anggap seperti saudara sekaligus sahabat.
Oli dengan gesit turun dari pohon, datang kepadaku lantas memberikan setangkai mangga berisi lima buah mangga hasil buruannya kepadaku.
"Untukku?" aku bertanya memastikan, Oli mengangguk cepat dengan mata berbinar-binar.
"Terima kasih, Oli. Tapi kayu bakar kita habis kalau kita tidak pergi mencarinya sekarang malam ini aku pasti tidak bisa tidur."
Oli mengangguk paham, ditariknya tanganku beranjak keluar dari goa. Hutan tempatku tinggal ini memiliki pepohonan yang sangat rimbun dan beragam dengan aneka buah-buahan yang tumbuh lebat menjadi makananku serta kawanan kera setiap hari.
Aku mengencangkan mantel yang tengah kukenakan, berjalan mengikuti langkah Oli menuju sumber kayu bakar.
"Apa kita harus masuk lebih dalam ke hutan itu, Oli?" tanyaku takut-takut setelah melihat pohon-pohon besar dengan batang lapuk.
Oli mengangguk cepat, menarik tanganku untuk melangkah lebih cepat membuatku tak memiliki pilihan lain selain tetap mengikuti Oli.
Setelah beberapa saat, aku dan Oli berhasil menemukan pohon besar yang telah tumbang.
Berbekal pisau ditangan, aku mulai mengambil ranting-ranting kecil pohon itu untuk dijadikan kayu bakar yang bisa dipakai hingga beberapa hari ke depan. Aku menyusun kayu-kayu yang telah kami kumpulkan, memasukkannya ke dalam selendang yang kubawa.
"Hei, Oli! Apa kau lihat itu?" aku bertanya kepada Oli yang sedang sibuk mengumpulkan kayu bakar setelah mataku mendapati pemandangan yang tidak biasa di bagian hutan yang lebih dalam.
Oli memandangi aku dengan bingung, bertanya apa maksud dari perkataanku.
Aku mendecak, menggendong kayu bakar yang sudah berhasil kami kumpulkan lantas menarik Oli menuju sesuatu yang menarik perhatianku sepersekian detik lalu tersebut.
Kami berjalan lebih jauh ke dalam hutan walau dengan perasaan was-was namun rasa penasaranku lebih tinggi.
Dinginnya udara serta lebatnya salju yang mulai menusuk tulang pun tak aku hiraukan demi memuaskan rasa penasaranku.
"Sejak kapan ada bangunan besar di pelosok hutan seperti ini?" aku bertanya kepada Oli, namun kera kecil itu malah menggeleng dengan sorot mata bingung.
Oli bahkan tidak tahu? Sungguh menarik.
Bagaimana bisa ada mansion mewah di pelosok hutan seperti ini? Nampaknya pemilik mansion ini adalah keluarga besar yang kaya raya hingga bisa memiliki properti luar biasa seperti itu.
"Ayo temani aku memuaskan rasa penasaranku, Oli!"
Dengan langkah gesit aku beringsut menuju mansion besar itu tidak mempedulikan rasa dingin yang kian menusuk tulangku.
Dari dekat aku mengawasi mansion tersebut, sebuah bangunan megah bernuansa putih yang terlihat sangat mencolok ditengah rimbunnya pepohonan hutan.
"Siapa disana?!"
Aku terkejut luar biasa tatkala mendengar sebuah suara berat dengan nada dingin menguar saat aku mendekati mansion itu.
Pandanganku lantas aku arahkan ke atas, sumber suara dan malah semakin kaget setelah bertemu pandang dengan sang pemilik suara. Seorang pria yang tampan, ah bukan, dia terlalu tampan dengan mata bersorot tajam, rambut legam bagai sayap gagak serta hidung runcing bak paruh elang lengkap dengan bibir ranum yang penuh membuatku tercenung memandangi keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini.
Pria itu beranjak, menghilang dari pandanganku namun sukses membuat pikiranku kosong untuk beberapa saat. Sungguh, dia terlalu tampan seperti bukan manusia membuatku terhipnotis.
"Siapa kau?" sekonyong-konyong pria itu kini sudah berada dalam jarak beberapa meter saja di hadapanku membuat diri ini seperti orang linglung.
"Eum, namaku Adaline..." jawabku, menundukkan kepala tak sanggup beradu pandang dengan pria terlalu tampan itu.
"Bagaimana bisa seorang gadis hidup ditengah hutan seperti ini?" pria itu tergelak. "dan lagi kau cukup cantik dengan matamu yang sebiru kristal itu."
Aku tak mampu mengendalikan diriku yang kini menjadi salah tingkah, berupaya tak mau beradu pandang dengan pria itu dengan terus mengalihkan pandangan.
"Ah, ngomong-ngomong namaku Zayn."
Zayn? Nama yang sangatlah tidak familiar di tanah Denmark dan cukup membuatku bingung. Apa iya dia bukan orang asli Denmark?
"Tepat sekali gadis manis," Pria itu tersenyum penuh misteri seolah dapat membaca isi pikiranku, "masuklah dulu aku tahu kau sangat kedinginan sekarang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments