"Aku yakin cepat atau lambat keadilan akan segera terungkap, Adaline."
Perkataan Zayn dengan tutur lembut itu membuatku tersenyum lembut, merasa bersyukur setidaknya masih ada seseorang yang mendukung diriku yang sebatang kara ini.
"Ya, semoga," balasku dengan seulas senyum.
Malam terasa begitu panjang membuatku dan Zayn dapat duduk bersebelahan dengan banyak topik obrolan yang seru. Mulai dari banyaknya bintang di langit hingga bagaimana bisa Zayn memiliki kulit yang begitu lembut walau sering mengerjakan pekerjaan kasar.
"Apa kau jadi pergi ke makam?" tanya Zayn seraya memusatkan pandangannya ke arah bintang yang nampak kelap-kelip.
"Pergi ke makam? tengah malam begini?" aku balik bertanya dengan takut-takut.
"Lantas kenapa? kau takut akan bertemu dengan hantu?" ledek Zayn setelah membaca air mukaku.
"Wajahmu bahkan lebih seram dari hantu, kenapa kau harus takut?"
Sialan. Zayn membuatku hanya bisa cemberut dan mengutuk dirinya dalam hati.
"Ayo kita pergi. orang tuamu pasti sudah lama menunggu kedatanganmu," imbuh Zayn sambil menggamit tanganku.
Aku dan Zayn lantas berjalan melewati atap-atap rumah yang berjajar sepanjang jalan menuju pemakaman kota yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh dariku. Dibantu oleh Zayn, aku dapat melompati atap rumah satu dan yang lainnya dengan sangat mudah serta ringan.
"Kenapa kita tidak terbang lagi?" aku mencoba mengungkapkan rasa penasaranku.
Zayn menggeleng. "tidak bisa, aku harus menghemat energi agar bisa kembali terbang menuju hutan nanti."
Pergi ke pemakaman saat tengah malam begini memang bukanlah ide yang bagus namun aku tidak memiliki pilihan lain, sebisa mungkin aku harus menghindari Paman dan Bibiku untuk mencegah hal-hal yang tidak aku inginkan.
Tiba di area pemakaman, Zayn lantas membawaku ke dalam pelukannya agar bisa turun dari atap bangunan tinggi yang menjadi pijakan terakhir kami di depan pemakaman.
"Apa kau ingat dimana letak makam orang tuamu?" tanya Zayn sesaat setelah kami menginjakkan kaki di area pemakaman.
"Mana mungkin aku lupa, makam orang tuaku berada tak jauh dari gerbang pemakaman," jawabku enteng sambil memimpin jalan menuju makam kedua orang tuaku yang memang letaknya dekat dengan gerbang pemakaman.
Suasana pemakaman yang sepi dengan cahaya penerangan yang temaram membuatku merasa sedikit ciut, takut kalau Zayn berubah pikiran dan meninggalkan aku sendirian di sini.
Ditengah rasa gelisah yang merayapi benakku, Zayn justru tertawa renyah --rasanya aku benar-benar sedang diejek habis-habisan meski dia hanya tertawa.
"Kau tidak perlu takut, aku tidak akan kabur seperti yang kau pikirkan."
Sial! aku sungguh lupa kalau Zayn bisa membaca pikiran. Dengan air muka masam aku terus melangkah masuk ke dalam pemakaman hingga akhirnya tiba di makam orang tuaku.
Aku bersimpuh, diikuti dengan Zayn yang berjongkok di sebelah kanan tubuhku.
Mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal, mulai memanjatkan doa untuk mereka berdua agar selalu bahagia di tempat terbaik di sisi-Nya.
"Kau sepertinya sangat menyayangi mereka," Zayn bergumam, menaburkan bunga yang entah dia dapatkan dari mana di atas makam Mama dan Papa.
Aku tersenyum sendu. "begitulah. bagaimana denganmu dan kedua orang tuamu?"
"Ayahku dulu hanya sibuk memikirkan kerajaan," Zayn tersenyum masam. "beruntung ibuku adalah seorang ibu yang penuh kasih, jadi aku memiliki sedikit kisah menyenangkan dengan mereka."
"Setelah mereka tiada aku memilih untuk pergi dari dunia Elf walau aku adalah pewaris tahta tunggal yang sah. dunia yang indah tidak akan ada apa-apanya jika harus hidup dalam kesengsaraan," tambah Zayn sambil bangkit dari posisi jongkoknya.
Aku tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Zayn hanya bisa tercenung memandangi wajah rupawan miliknya yang tertimpa sinar bulan purnama, membuatnya terlihat semakin menawan.
Zayn mengulurkan tangannya padaku.
"ayo, bukankah kau rindu dengan rumahmu?"
Aku meraih tangan besar Zayn, membiarkan ia membawaku kembali menuju rumahku.
Perjalanan singkat itu hanya kami lewati dengan keheningan hingga akhirnya kami berhasil tiba di atap rumahku.
Saat hendak duduk pijakan kakiku malah tidak stabil hingga akhirnya malah tergelincir nyaris terjatuh, beruntung tangan Zayn dengan sigap meraih tubuhku lantas menarik aku kembali ke posisi yang aman.
"Seharusnya kau lebih hati-hati," peringat Zayn masih dengan tangannya yang menggenggam erat tanganku.
Jantungku bertalu-talu, keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuhku menggambarkan betapa takutnya saat ini. Oh, tidak bisa aku bayangkan bagaimana jika aku benar-benar sampai terjatuh.
Kakiku yang tergelincir tadi sialnya malah menyebabkan dua buah genting terjatuh hingga menimbulkan sedikit keributan.
"Siapa disana?!" teriakan Paman dari dalam rumah membuatku terkejut sekaligus sedikit gentar.
"Hadapi saja, kau tidak perlu takut aku akan menjagamu kalau mereka berani menyakitimu," ucap Zayn seraya membawaku turun dari atap, mendarat dengan aman di pekarangan rumah.
"Oh, untuk apa anak yatim piatu yang tahu diri ini malah menginjakkan kaki di rumah kami?" Paman keluar dari rumah dengan tatapan sinis yang mengarah kepadaku dan Zayn.
"Mungkin dia mengharapkan belas kasihan dari kita, ah, atau malah mengharapkan sepotong roti untuk dimakan malam ini?" imbuh Bibi yang berdiri di belakang Paman.
"Seharusnya kau malu untuk datang kemari, Ada. untuk apa seorang perempuan murahan sepertimu datang tengah malam begini dengan seorang laki-laki?" perkataan Paman sungguh menyakitiku, membuatku mengepalkan tangan berusaha meredam emosi.
"Sungguh. apa kau tidak malu, Ada?" timpal Bibi dengan senyuman menghina.
Aku tersenyum dingin. "bagaimana kabar kalian, Paman dan Bibiku? lama sekali kita tidak bertemu. bagaimana bisa kalian menyambut keponakan kalian yang seharusnya menjadi ahli waris dari semua kemewahan yang kalian nikmati ini dengan caci maki?"
Bibi mendelik tak suka. "apa katamu?!"
"Oh, tentu saja aku bicara soal fakta. aku tahu surat wasiat dari orang tuaku yang berusaha kalian rebut dari pengacara. bukan begitu?" balasku menantang.
"Beraninya kau bicara seperti itu!" bentak Paman dengan sorot mata tajam.
Aku tergelak. "memang begitu adanya, kenapa aku harus takut?"
Zayn yang berdiri di sebelahku nampak tersulut emosinya, rahang tegas miliknya terlihat mengeras berusaha mengendalikan emosinya.
"Kurang ajar! anak seperti kau ini seharusnya mati saja seperti orang tuamu!" Paman melangkah cepat ke arahku tangan melebar, nampaknya berusaha menampar pipiku.
Secepat kilat, Zayn langsung menangkis tangan Paman yang berusaha menampar pipiku.
Aku dapat merasakan dengan jelas bahwa Zayn benar-benar sudah naik pitam melihat apa yang dilakukan oleh Paman dan Bibiku sendiri terhadap diriku setelah apa yang mereka lakukan padaku saat kecil dulu.
Mata Zayn memicing, tatapan matanya kini berubah menjadi begitu tajam seperti sebuah pedang. "beraninya kau berkata seperti itu setelah mengambil semua hak miliknya!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments