Aku berdeham, berpikir sejenak mengingat informasi itu tak banyak aku dapatkan terlebih kala itu aku masih terlalu kecil untuk tahu detail kecelakaan yang menewaskan Papa dan Mama.
"sepertinya masih ada di kantor polisi Kopenhagen, kenapa?"
"Kalau begitu carilah mobil itu. tapi kau harus mempertimbangkannya lagi matang-matang," Zayn menyahut dengan air muka serius.
Aku merasa sangsi mendengar perkataan Zayn, mengingat jarak antara hutan tempatku tinggal dan pusat kota Kopenhagen tidaklah dekat.
Aku harus melalui perjalanan yang cukup panjang hanya untuk tiba di kantor polisi, bisa-bisa aku menghabiskan waktu seharian hanya untuk pulang pergi dari hutan ke kantor polisi.
Zayn mendecak sebal. "apa kau masih memikirkan jarak ketimbang mengungkap kebenaran untuk orang tuamu? hah, anak macam apa kau ini?"
"Aku akan menghabiskan waktu yang tidak sebentar jika pergi dengan berjalan kaki, Zayn. bukankah kau tahu pusat kota dan hutan ini letaknya sangat berjauhan?" aku protes usai Zayn mengungkapkan pendapatnya.
"Hey, setidaknya aku bisa mengantarmu ke terminal bus agar bisa pergi ke Kopenhagen dengan lebih mudah. ya, walau memerlukan waktu yang cukup lama setidaknya itu lebih baik ketimbang kau harus jalan kaki sepanjang hari," Zayn berusaha membujukku agar pergi ke kantor polisi sepertinya. Aku juga bingung entah mengapa Zayn seperti begitu bersemangat untuk mengusut kasus kematian orang tuaku.
Zayn bangkit dari duduknya, membuka tirai jendela membiarkan cahaya mentari masuk lebih dalam menerangi seluruh ruangan.
"agaknya Tuan dan Nyonya Winters kecewa mengapa mereka mempunyai anak semata wayang yang payah sepertimu."
Ucapan Zayn sukses membuat mataku melotot.
"apa maksudmu, pria gila?"
Zayn menaikkan kedua bahunya acuh.
"kalau aku jadi mereka aku akan sangat kecewa, bagaimana mungkin aku menghabiskan seluruh kasih sayang dan cinta untuk seorang anak semata wayang yang tidak mau mengungkapkan kebenaran hanya karena terkendala oleh jarak?"
"Kau memang berhak memutuskan untuk mengusut tuntas kasus ini atau tidak, tapi betapa pengecutnya kau jika tidak mau melakukannya," imbuh Zayn lantas menyeruput teh miliknya.
"Apakah aku akan berhasil?"
"Jika niatmu tulus aku yakin jalanmu akan selalu dipermudah oleh Tuhan," Zayn menyahut kalem sambil mengunyah kukis almond.
Warna langit yang perlahan namun pasti mulai beranjak menjadi semakin cerah membuatku menarik kedua sudut bibirku. Sinar sang surya terasa menghangatkan tubuhku, menambah energi baru dalam diriku yang selama ini selalu terpuruk dalam kesedihan yang berlarut-larut.
"Rintangan pasti akan selalu ada, tapi jika keyakinanmu teguh pasti kau akan selalu bisa melewati semuanya dengan baik," ucap Zayn dengan seulas senyum tipis. "mau kuantar ke terminal? keberangkatan menuju Kopenhagen akan berangkat dua jam lagi."
Bayang-bayang masa laluku bersama Mama dan Papa lagi-lagi berputar secara otomatis bagaikan film dokumenter di dalam otakku.
Aku menghirup oksigen sebanyak yang mampu ditampung oleh paru-paruku, berusaha mempersiapkan diri untuk membela kebenaran yang seharusnya sejak dulu aku perjuangkan.
"Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang, Zayn. aku tidak mau sampai ketinggalan bus."
...****************...
Awan-awan kecil nampak berbaris menutupi langit biru dengan sinar mentari yang sudah sangat terang, sebuah cuaca cerah dengan angin pesisir yang bertiup lembut.
Suhu udara terasa sudah lebih tinggi ketimbang hari-hari sebelumnya membuat aku memutuskan untuk tidak lagi menggunakan mantel tebal yang terbuat dari bulu beruang pemberian Zayn beberapa minggu yang lalu. Aku tidak tahu persis bagaimana bisa Zayn membuat mantel berwarna hitam itu dengan sangat presisi hanya dengan mengandalkan jahitan tangannya.
Para nelayan nampak sibuk mempersiapkan diri di atas kapal yang masih bersandar untuk kembali melaut setelah beberapa bulan tidak bisa pergi ke laut untuk menangkap ikan sebab air sungai Sont yang membeku total.
Tak hanya para nelayan, para pedagang juga terlihat sibuk membuka toko masing-masing bahkan ada pula yang beruntung sudah mendapatkan pelanggan yang datang untuk berbelanja berbagai kebutuhan pokok.
Kota Kopenhagen di siang hari memang luar biasa indahnya dan semakin dipercantik dengan kebersihan kota yang sangat terjaga lengkap dengan infrastruktur yang memadai, mampu menunjang semua kegiatan sehari-hari warga kota tanpa terkecuali.
Bangunan-bangunan bergaya arsitektur Victoria menjulang tinggi dengan warna-warna yang amat menarik membuat rasa rinduku akan masa lalu bersama kota yang dibelah oleh sungai Sont ini mulai terobati.
Kakiku terus melangkah hingga akhirnya tiba di Frederiksberg Slot, salah satu bangunan paling megah di Denmark yang sejak aku kecil hingga kini selalu aku kagumi keindahannya. Pohon-pohon mapel yang tumbuh di pinggir jalan masih nampak botak tanpa daun, menandakan suhu ekstrem yang melanda kota belakangan memiliki dampak yang cukup signifikan.
Tanpa terasa aku akhirnya tiba di kantor polisi pusat kota Kopenhagen setelah melewati perjalanan yang cukup menguras waktu serta tenaga. Dua orang polisi yang sedang berjaga di pos jaga terlihat sedang menikmati makan siangnya, membuatku merasa agak tidak enak hati untuk bertanya kepada mereka.
"Permisi, Pak. maaf mengganggu waktu makan siang Anda sekalian," sapaku tatkala aku telah berdiri tepat di depan pintu pos jaga.
Keduanya lantas saling pandang, kemudian buru-buru berdiri untuk menghampiriku.
"selamat siang, Nona. ada yang bisa kami bantu?"
Aku mengangguk segan. "bisakah saya masuk untuk melihat melihat mobil korban kecelakaan?"
"Kenapa Nona ingin melihatnya?" tanya sang polisi dengan rambut blonde.
"Orang tua saya adalah salah satu korban kecelakaan beberapa tahun silam," jawabku cepat.
"bolehkah saya masuk?"
Sang polisi berambut cokelat gelap lalu mengangguk. "baiklah kalau begitu ikuti saya, Nona."
Aku mengangguk, mengikuti langkah sang polisi yang menurutku memiliki wajah yang masih sangat muda dengan senyuman yang manis.
"Sudah berapa lama Anda menjadi polisi, Pak?" tanyaku setelah kami sampai di bagian terbelakang kantor polisi dimana mobil-mobil korban kecelakaan dikumpulkan.
Polisi itu tersenyum, lagi-lagi senyum yang manis.
"belum genap dua tahun. sepertinya umur kita tidak berbeda jauh."
Aku ber-oh ria, cukup senang karena tebakanku tidak meleset.
"Kalau begitu Nona silakan melihat-lihat, saya harus kembali ke pos jaga."
"Terima kasih, Pak."
Sepeninggal sang polisi muda, aku berjalan seraya melihat-lihat berbagai macam bentuk bangkai mobil yang sudah tak karuan bentuknya karena kecelakaan. Mataku terus mencari dan mencari sampai akhirnya aku mendapati mobil sedan milik kedua orang tuaku terletak barisan ketiga dari jajaran bangkai mobil yang tersusun dengan sedemikian rupa itu.
Tanganku mengusap permukaan kap mobil yang sudah tidak mulus lagi itu, goresan-goresan dalam memenuhi mobil sedan tersebut pun dengan beberapa bagian body mobil yang penyok parah akibat benturan keras. Air mataku seketika lolos dari tempatnya membayangkan nasibku jika saja waktu itu aku tetap memaksakan kehendak untuk ikut bersama Mama dan Papa.
"Oh, Adaline? apakah kamu Adaline Winters?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments