Setiap hari jum’at, sabtu dan minggu Akmal menginap di rumah Alika. Jika Akmal sedang menginap di rumah Alika, rumah Alika terdengar ramai oleh suara canda tawa Alika dan Akmal. Ibu Farida sama sekali tidak keberatan rumahnya terdengar ramai. Bagi Ibu Farida rumahnya menjadi hidup kembali dengan suara anak-anak.
Pada suatu hari Ibu Farida memanggil Abrisam ke dalam kamarnya.
“Duduklah ada yang ibu ingin bicarakan denganmu,” kata Ibu Farida sambil menepuk tempat di sebelanya.
Abrisam duduk di sebelah Ibu Farida.
“Ada apa, Bu?” tanya Abrisam.
Kalau ibunya memanggilnya ke kamar biasanya ada sesuatu hal yang penting untuk dibicarakan.
“Sudah tiga bulan Sarah meninggal. Apa kamu tidak ada keinginan untuk menikah lagi?” tanya Ibu Farida.
“Abri tidak ingin menikah lagi, Bu. Abri belum bisa melupakan Sarah,” jawab Abrisam.
“Ibu mengerti perasaanmu. Tapi ibu sudah tua, nanti siapa yang akan mengurusmu dan Alika jika Ibu sudah tidak ada?” tanya Ibu Farida.
“Abri bisa mengurus diri sendiri dan mengurus Alika,” jawab Abrisam.
Ibu Farida menghela nafas. Putranya sangat teguh pada pendiriannya, sangat sulit untuk tergoyahkan.
“Tapi Alika masih kecil, ia membutuhkan seorang ibu. Coba kamu pikirkan baik-baik. Ini semua demi Alika,” kata Ibu Farida.
Abrisam diam mendengar perkataan ibunya. Mungkin dia tidak membutuhkan lagi seorang istri untuk mendampinginya, tapi Alika membutuhkan pelukan seorang ibu. Dia masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan kalau mamahnya sudah tidak ada.
“Apa kamu mempunyai kekasih? Atau teman dekat barangkali?” tanya Ibu Farida.
Abrisam menoleh kepada Ibu Farida.
“Abri tidak mempunyai kekasih ataupun teman dekat. Abri tidak ingin dekat dengan perempuan manapun,” jawab Abrisam.
“Abri kamu masih muda, kamu membutuhkan seorang pendamping,” kata Ibu Farida.
“Abri takut jika nanti istri Abri tidak bisa memperlakukan Alika dengan baik,” jawab Abrisam.
“Kamu cari perempuan yang mau menerima kamu dan juga mau menerima Alika,” ujar Ibu Farida.
“Bagaimana caranya? Mungkin semua perempuan atau wanita mau menerima Abri, tapi belum tentu dia mau menerima Alika. Bisa saja kalau di depan Abri, dia bersikap baik pada Alika. Tapi kalau di belakang Abri, dia akan menyakiti Alika,” kata Abrisam.
Ibu Farida tersenyum.
“Sepertinya Ibu tau siapa orangnya yang mau menerima Alika,” jawab Ibu Farida.
Abrisam menoleh ke Ibu Farida.
“Siapa yang Ibu maksud?” tanya Abrisam.
“Jihan,” jawab Ibu Farida.
“Jihan?” tanya Abrisam.
“Iya, Jihan. Dia mengurus Alika dengan tulus. Ia memperlakukan Alika sama seperti ia memperlakukan Akmal,” jawab Ibu Farida.
“Dia seperti itu karena dia bekerja di sini. Dan ada Ibu yang selalu memperhatikan Alika. Bisa saja ketika Ibu sedang pergi, ia bersikap kasar kepada Alika,” kata Abrisam.
“Dia tidak bersikap kasar pada Alika. Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja kepada Bi Isah dan Mimin,” jawab Ibu Farida.
Abrisam diam selelah mendengar perkataan ibunya. Dia belum pernah melihat Jihan bersikap kasar dengan Alika. Jihan selalu sabar menghadapi Alika yang keras kepala. Sikap Jihan kepada Alika seperti tulus.
“Jadi Ibu ingin Abrisam menikah dengan Jihan?” tanya Abrisam.
“Ibu tidak menyuruhmu untuk menikah dengan Jihan. Ibu hanya ingin kamu menikah lagi. Kamu berhak memilih perempuan yang akan menjadi pendampingmu,” jawab Ibu Farida.
Ibu Farida mengusap punggung putranya.
“Pikirkan baik-baik apa yang Ibu katakan. Ini semua demi dirimu dan demi Alika,” kata Ibu Farida.
“Baiklah, Bu. Akan Abri pertimbangkan,” jawab Abrisam.
Abrisam keluar dari kamar Ibu Farida. Di ruang televisi terdengar suara Alika dan Akmal yang sedang tertawa. Mereka sedang mendengarkan Jihan bercerita. Abrisam memperhatikan Alika. Terlihat wajah bahagia Alika ketika sedang mendengarkan cerita Jihan.
Haruskah aku menikahinya hanya demi Alika? Tanya Abrisam di dalam hati.
Apakah dia mau aku nikahi tanpa aku cintai?
Hanya waktu yang akan menjawab.
***
Setelah percakapan dengan ibunya, konsentrasi Abrisam dalam bekerja menjadi terganggu. Perkataan ibunya selalu saja mengiang di telinganya. Sepertinya ia harus mempertimbangkan yang ibunya katakan.
Pada suatu hari Abrisam mendapat tugas dari kantor tempatnya bekerja. Ia harus mengikuti pelatihan selama dua minggu di Yogyakarta. Ia pergi menggunakan kereta api. Ia harus meninggalkan mobil-mobilnya selama dua minggu lamanya, tanpa ada yang bisa membantu memanaskan mesin mobilnya. Dulu sewaktu Sarah masih hidup, setiap ia pergi keluar kota Sarahlah yang mengurus mobil-mobil mereka. Namun sekarang Sarah sudah tidak ada, tidak ada orang yang membantu mengurus mobil-mobil miliknya.
Abrisam berpikir siapa yang bisa ia suruh memanaskan mesin mobil. Abrisam menoleh ke Jihan yang sedang menyuapi Alika.
Dia bisa menyetir mobil, nggak? Tanya Abrisam di dalam hati.
Coba tanya saja siapa tau dia bisa, kata Abrisam.
Setelah Jihan selesai menyuapi Alika, Abrisam memanggil Jihan.
“Jihan. Bisa kita bicara sebentar,” kata Abrisam.
Jihan menghampiri Abrisam dan duduk di dekat Abrisam.
“Saya ada pelatihan di Yogyakarta selama dua minggu,” kata Abrisam kepada Jihan.
“Selama saya pergi saya titip ibu saya dan Alika,” kata Abrisam
“Baik, Pak,” jawab Jihan.
“Saya minta nomor ponsel kamu. Agar saya bisa menghubungi kamu,” kata Abrisam sambil memegang ponselnya.
“08**********,” jawab Jihan.
Abrisam menyimpan nomor ponsel Jihan di ponselnya. Lalu ia menelepon Jihan. Ponsel Jihan berbunyi.
“Itu nomor ponsel saya. Kamu simpan. Kalau terjadi apa-apa di rumah kamu telepon saya!” kata Abrisam
“Baik, Pak,” jawab Jihan.
Abrisam berpikir sejenak.
“Kamu bisa mengendarai mobil?” tanya Abrisam.
“Tidak bisa, Pak,” jawab Jihan.
“Kalau menyalakan dan memanaskan mesin mobil, bisa nggak?” tanya Abrisam.
“Bisa, Pak. Tapi kalau mengendarai mobil saya tidak lihai,” jawab Jihan.
“Tunggu sebentar. Saya ambil kunci mobil dulu,” kata Abrisam.
Abrisam pergi ke kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa kunci mobil.
“Ikut saya,” kata Abrisam kepada Jihan.
Jihan mengikuti Abrisam ke garasi.
“Saya mau lihat kamu bisa tidak menyalakan mesin mobil,” kata Abrisam.
Abrisam memberikan kunci mobil milik almarhumah Sarah kepada Jihan. Jihan menekan remote mobil untuk membuka pintu mobil. Lalu ia masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian ia berhasil menghidupkan mesin mobil. Kemudian Jihan keluar dari mobil.
“Coba satu lagi,” Abrisam memberikan kunci mobil miliknya kepada Jihan.
Jihan menekan remote mobil lalu membuka pintunya. Jihan masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian mesin mobil Abrisam pun menyala.
Mendengar suara mesin mobil yang menyala, Alika dan Akmal yang sedang bermain langsung pergi ke garasi. Mereka menghampiri Abrisam dan Jihan.
“Mama mau kemana?” tanya Alika melihat Jihan berada di dalam mobil.
“Tidak kemana-mana. Tante hanya mengetes mobil,” jawab Abrisam.
Kemudian Abrisam menyuruh Jihan mematikan mesin mobil.
“Selama saya pergi, kamu harus memanaskan mesin mobil setiap hari!” kata Abrisam.
“Baik, Pak,” jawab Jihan.
“Bensin mobil saya tinggal sedikit lagi. Kemarin saya belum sempat isi bensin. Kamu isi, ya!” kata Abrisa.
Jihan langsung menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Abrisam.
“Saya tidak berani menyetir mobil,” jawab Jihan.
“Nanti saya isikan bensinya,” kata Abrisam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Yani
Jihan lagi di tes manasin mobil dulu
2022-11-15
1
AnggieYuniar
setujuuuu klo nikahnya sama jihan
2022-11-13
1
Rahma Inayah
bnr jihan bkn hanya sebagai pengasuh tp jiwa ke ibuannya sangat pekat ..dgn anknya akmal aja dia gk pernh marh apalagi sma alika yg bkn darah daging nya.
2022-11-12
1