Abrisam menghela nafas mendengar perkataan Pak Dedi. Ia sudah pasrah kalau lamarannya ditolak oleh Pak Dedi. Apalagi kalau Pak Dedi sampai mendengar jika ia belum mencintai Jihan, Pak Dedi pasti akan marah besar kepadanya. Ia dianggap memainkan perasaan Jihan.
“Kapan kalian akan menikah?” tanya Pak Dedi.
Abrisam kaget mendengar pertanyaan Pak Dedi.
“Bapak menerima lamaran saya?” tanya Abrisam tidak percaya.
“Tentu saja lamaranmu saya terima. Karena putri saya sudah menerima lamaranmu,” jawab Pak Dedi.
“Apa lagi akan mempunyai cucu secantik dan selucu ini,” kata Pak Dedi sambil mengusap kepala Alika yang dusuk di pangkuan Jihan.
“Alhamdullilah,” ucap Abrisam dan Ibu Farida.
Ada rasa lega di hati Abrisam.
“Saya akan menjaga kepercayaan Om,” janji Abrisam.
“Harus kamu buktikan ucapanmu!” kata Pak Dedi.
“Baik, Om. Akan saya laksanakan,” jawab Abrisam.
Ada rasa bahagia di hati Jihan dan Abrisam ketika Pak Dedi mengijinkan mereka untuk menikah.
“Bu Farida - Abrisam silahkan minum dan dicicipi snacknya,” kata Ibu Nia.
“Terima kasih,” ucap Abrisam dan Ibu Farida.
Abrisam meminum minumannya sampai gelasnya kosong.
“Abrisam haus, ya?” tanya Neni ketika melihat isi gelas Abrisam sudah kosong.
“Dia tegang gara-gara dikerjain sama papah,” sahut Ibu Nia.
“Jadi menantu Papah harus tahan banting!” kata Pak Dedi.
“Yang kemarin tahan juga banting, tapi sayang tidak tahan godaan,” ujar Ibu Nia.
“Dia memang dasar laki-laki brengsek dan tidak kuat iman,” sahut Pak Dedi.
Melihat gelas Abrisam sudah kosong Jihan hendak mengambilkan minum untuk Abrisam.
“Alika duduk di sini, ya. Bunda mau mengambil air minum untuk papah,” bisik Jihan kepada Alika.
“Alika di sini saja sama Nenek,” kata Ibu Nia.
“Mau ikut Bunda,” kata Alika dengan manja.
“Sudah bawa saja,” kata Ibu Nia kepada Jihan.
Akhirnya Jihan membawa Alika ke dapur.
“Buntut Jihan tambah satu lagi,” kata Rahma sambil memandang Jihan dan Alika.
“Alika memang sulit dipisah dari Jihan. Dia selalu ikut kemanapun Jihan pergi,” sahut Ibu Farida.
“Sudah jadi anak Bunda Jihan,” kata Ibu Nia.
“Berarti sekarang Akmal sudah jadi abang, ya?” tanya Neni kepada Akmal.
Akmal hanya tersenyum saja.
“Akmal anak yang baik. Dia selalu menjaga Alika dengan baik,” kata Ibu Farida.
Jihan datang kembali dengan membawa segelas air sirup untuk Abrisam.
“Ini minumnya, Mas,” kata Jihan sambil menaruh gelas di meja yang berada di depan Abrisam.
“Terima kasih,” ucap Abrisam.
Jihan duduk kembali di sebelah Ibu Nia.
“Mah, kata mpok makanannya sudah siap,” kata Jihan kepada Ibu Nia.
“Kalau begitu kita makan sekarang,” kata Ibu Nia.
“Ibu Farida-Abrisam makanannya sudah siap. Kita makan dulu, yuk,” ajak Ibu Nia.
Ibu Nia mengajak Ibu Farida menuju ke meja makan. Semua orang menuju ke meja makan. Tinggallah Jihan, Abrisam dan Alika.
Abrisam meminum minuman yang tadi dibawakan oleh Jihan.
“Haus ya, Mas? Di sini memang panas seperti di Jakarta.” tanya Jihan melihat Abrisam minum lagi.
“Saya tegang sekali menghadapi papahmu,” jawab Abrisam.
“Papah memang begitu. Jangan diambil hati,” kata Jihan.
“Kebayang sewaktu mantan suamimu ketahuan menyeleweng. Pasti Papahmu marah sekali,” kata Abrisam.
“Papah tidak marah. Malah bersyukur mengucapkan alhamdulilah. Karena anaknya bisa lepas dari laki-laki berengsek seperti Bang Kamal,” jawab Jihan.
“Apa papahmu melihat Kamal menyeleweng?” tanya Abrisam.
“Tidak. Mungkin Papah sudah mempunyai firasat yang tidak enak mengenai Bang Kamal,” jawab Jihan.
“Bunda, Alika mau mamam,” kata Alika dengan manja.
“Nanti ya, sayang. Kita makan bareng sama Papah. Papah masih shock,” jawab Jihan.
“Kok, sekarang manggil Bunda?” tanya Abrisam kaget mendengar Alika memanggil Jihan dengan sebutan bunda.
“Bial cama scepelti Abang Akmal,” jawab Alika.
“Sekarang manggil Abang Akmal. Tadi masih panggil Kakak,” ujar Abrisam bingung.
“Sudah biarkan saja, Mas. Namanya juga anak kecil,” kata Jihan.
“Ayo, kita makan dulu. Mamah masak makanan yang special untu Mas Abri,” kata Jihan.
“Mas jadi tersanjung dimasakin makanan special sama calon mertua,” ujar Abrisam.
“Ayo, nanti keburu dingin makanannya,” ajak Jihan.
Abrisam pun berdiri dan mengikuti Jihan menuju ke meja makan.
Setelah selesai makan mereka kembali membahas pernikahan Abrisam dan Jihan.
“Kapan kalian akan menikah?” tanya Pak Dedi sekali lagi.
“Secepatnya, Om. Mungkin sekitar dua minggu lagi,” jawab Abrisam.
“Kenapa cepat-cepat?” tanya Ibu Nia.
“Iiihhh, Mamah. Namanya juga orang kebelet pengen kawin,” bisik Rahma dari belakang.
“Husss,” bisik Ibu Nia.
“Niat baik harus disegerakan. Karena ini pernikahan kami yang kedua, jadi kami tidak ingin dipestakan besar-besaran. Cukup hanya akad nikah saja dan mengundang keluarga dan tetangga terdekat. Yang penting adalah doa dari orang tua dan keluarga,” jawab Abrisam.
“Baiklah kalau seperti itu rencana kalian. Kami ikut rencana kalian,” kata Pak Dedi.
“Karena kami tinggal di Bandung, jadi kami akan mengadakan akad nikah di Bandung,” kata Abrisam.
“Apa Tante dan Om tidak keberatan?” tanya Abrisam.
“Kami tidak keberatan. Kami tidak ingin mempersulit kalian,” jawab Ibu Nia.
“Alhamdullilah,” ucap Abrisam dengan lega.
Ternyata rencananya tidak ditentang oleh orang tua Jihan.
“Berarti Jihan tidak dipingit, dong,” sahut Neni.
Abrisam memandang ke Jihan.
“Sepertinya tidak usah,” jawab Abrisam.
“Nanti pas nikah tidak surprise, dong,” kata Neni.
“Sudah, biarkan saja. Mereka maunya begitu,” kata Ibu Nia.
Setelah menjelang sore mereka pamit pulang ke Bandung.
“Jihan, kamu tidak menginap di sini?” tanya Ibu Nia ketika Jihan ikut pamit pulang ke Bandung.
“Hari senin Akmal harus sekolah. Alika juga tidak bisa ditinggal. Nanti nangis,” jawab Jihan.
“Alika nginap di rumah Nenek, ya?” tanya Ibu Nia kepada Alika.
“Alika mau cama Bunda, cama Papa juga,” jawab Alika.
“Biarin Papah pulang sama Nenek. Alika nginap di sini sama bunda dan Bang Akmal. Nanti pulangnya naik kereta api,” kata Ibu Nia.
“Alika mau naik keleta api. Tapi mau cama Papah juga,” jawab Alika.
“Alika nggak mau dipisahin dari bunda dan papahnya,” kata Rahma kepada Ibu Nia.
“Susah kalau sudah begini. Nenek Nia tidak kebagian Alika,” kata Ibu Nia dengan sedih.
“Nenek ikut Alika ke Bandung,” ujar Akmal.
“Kasihan kakek tidak ada yang menemani kalau Nenek ikut ke Bandung,” jawab Ibu Nia.
“Kake juga ikut,” kata Alika.
“Kakek dan nenek nanti saja ke rumah Alika. Kalau Papah dan Bunda menikah,” kata Pak Dedi.
***
Sekarang mereka sedang perjalanan pulang ke Bandung. Ibu Farida dan Akmal sedang tidur di kursi belakang. Sedangkan Alika tertidur di pangkuan Jihan. Tinggal Jihan yang tidak tidur, ia menemani Abrisam yang sedang menyetir mobil.
“Ternyata banyak juga yang mau sama kamu,” kata Abrisam dengan pandangan ke depan.
“Mereka hanyalah orang yang tidak puas dengan satu wanita,” jawab Jihan.
“Diantara yang melamar kamu tidak ada yang bujangan?” tanya Abrisam.
“Ada beberapa orang,” jawab Jihan sambil mengelap kepala Alika yang berkeringat.
“Kenapa kamu tolak lamarannya?” tanya Abrisam.
“Entahlah. Firasat saya mengatakan mereka bukanlah yang terbaik untuk saya,” jawab Jihan.
Abrisam menoleh ke Jihan.
“Kalau begitu menurut firasat kamu, sayalah yang terbaik untukmu. Begitu?” tanya Abrisam.
“Entahlah,” jawab Jihan.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Sandisalbiah
mas Abri butuh pengakuan..?
2023-11-03
1
juha Naning
bagus careitanya tdk bertele tele 👍👍,,lanjut trs tor..💪💪💓💓
2023-07-26
1
AnggieYuniar
menuju halal.. ditunggu undangannya ya thor 😆😆
2022-11-16
2