Setelah ujian semester, libur pun tiba. Semua anak kembali ke rumah mereka masing-masing, termasuk Diego, Elena dan Franca.
Awalnya Carlo tak ada minat untuk pergi kemanapun karena Akademi adalah rumahnya, tetapi Diego mengajak pulang ke rumahnya, yang ada di Timur Kekaisaran.
"Apa tak masalah jika aku ikut denganmu?" tanya Carlo yang saat itu tengah berkemas.
Tak banyak barang yang akan ia bawa, dua minggu nantinya di sana menurut Diego seluruh perlengkapan sudah disiapkannya.
"Tenang saja, aku sudah mengatakan pada Ayah dan Ibuku kalau kamu ikut pulang pada liburan ini, mereka senang sekali," jawab Diego. "Ayo cemaslah mengemas, kereta kuda sudah berada menunggu cukup lama di depan sana."
Carlo mengindahkan ucapan Diego itu, ia pun bergegas mengemas barangnya.
Setelah selesai keduanya keluar sana, tak lupa Carlo mengunci pintu dan meminta sistem untuk memagarinya dengan sihir, karena di dalam sana ada barang yang cukup penting.
Keduanya turun, melewati lorong dan keluar dari asrama menuju kereta kuda yang sudah menunggu sejak tadi di depan pintu gerbang Akademi.
Carlo dan Diego memasukkan barang mereka, disusul mereka yang masuk ke sana. Setelah nyaman duduk kereta kuda itu pun pergi.
"Apa tidak seharusnya terbang saja?" tanya Carlo memastikan.
Mereka berdua penyihir, memiliki alat dan sihir yang memungkinkan mereka untuk terbang di udara.
"Sebenarnya bisa, tapi jarak antara Akademi dan tempat tinggalku cukup jauh. Kita bisa kehabisan sihir sebelum sampai di sana nanti," papar Diego menjawab pertanyaan Carlo.
Alat yang digunakan para penyihir untuk terbang juga menyerap sihir mereka, meskipun tidak banyak, tetapi jika dilakukan terus menerus maka juga akan memungkinkan sihir habis.
Apalagi penyihir dengan level rendah, terbang dengan jarak puluhan bahkan ratusan mil itu sangat tidak mungkin.
Ditambah nanti jika di jalan mereka terkena suatu masalah atau bahkan berhadapan dengan musuh, maka mereka lebih baik menjaga sihir yang ada.
Carlo mungkin tak akan merasakan hal itu, karena cadangan sihirnya saja begitu berlimpah. Bahkan ia saja sebenarnya bisa terbang ataupun menghilang dengan mudah.
Dalam hitungan detik, bisa saja ia sampai di rumah Diego, tetapi ia tak ingin melakukan hal itu, karena ia tak mau melewatkan waktu berjalan-jalan di Kekaisaran.
Selama dalam perjalanan, Carlo melihat pemandangan hutan, hutan dan hutan lagi. Kadang melewati sungai, ngarai yang curam dan bukit hijau.
"Kapan kita akan sampai di tempatmu?" tanya Carlo lagi.
"Karena kita berangkat pagi, kemungkinan sampai menjelang malam."
Mendengar jawaban itu Carlo mengerutkan keningnya, jauh dan lama sekali, rasanya lebih jauh dari jarak antara kota Milan-Roma yang sekitar 286 mil. Andaikan mereka sekarang menggunakan mobil dengan kecepatan 80 mungkin hanya memerlukan waktu enam jam saja.
Lagi pula mereka saat ini menggunakan kereta kuda yang paling memiliki kecepatan rata-rata 11 mil per jam. Pantas saja sampai di sana menjelang malam.
Carlo jadi berpikir apa ia harus membuat sebuah mobil atau kendaraan bermotor lainnya? Namun, jika ia melakukan hal itu bukannya bisa mengubah sebuah peradaban.
Walaupun begitu, mana mungkin orang di tempat mengenal konsep bahan bakar penggerak mesin. Bahkan mesin saja pasti asing.
Ketika Carlo memikirkan hal itu, tiba-tiba saja kereta kuda itu berhenti. Diego mengeluarkan kepalanya untuk bertanya pada si kusir, tetapi ia urungkan.
"Turun Carlo, ada perampok di depan." Begitu kata Diego.
Carlo dan Diego turun, mereka kini melihat segerombolan perampok bertopeng yang menggunakan pedang dan peralatan penyihir.
Kusir kuda tadi hanya diam sambil ketakutan.
"Serahkan harta kalian para anak bangsawa!" teriak salah satu perampok itu yang menodongkan pedang pada Carlo dan Diego.
Carlo langsung menganalisis kelompok perampok yang beranggotakan tujuh orang itu. Mereka hanya perampok biasa, mereka hanya memiliki level di bawah dua puluh. Kekuatan mereka juga tidak terlalu hebat.
Carlo mengatakan hal itu pada Diego. Diego yang mendengarnya langsung mengatakan pada Carlo untuk mundur supaya ia yang melawannya seorang diri.
"Cepat, serahkan harta kalian!" Perampok itu berteriak lagi.
"Akan kami serahkan harta yang ada, asal kalian bisa mengalahkan aku dulu!" seru Diego.
Lalu pertarungan pun berlangsung. Diego mengeluarkan bakat sihir tanahnya, merapalkan mantra-mantra sihir yang kuat dan dalam sekejap mereka pun kalah.
Carlo mengacungkan ibu jarinya, melihat perkembangan Diego yang begitu pesat dalam beberapa waktu terakhir.
"Ayo masuk." Diego mengajak Carlo kembali masuk ke kereta kuda itu.
Setelah itu mereka pun melanjutkan perjalanan untuk menuju rumah milik keluarga Elmo.
***
Setelah perjalanan cukup panjang, mereka pun akhirnya sampai juga di kediaman keluarga bangsawan Elmo.
Kediaman mereka cukup besar, lebih besar bahkan dari milik keluarganya dulu. Mirip kastil-kastil yang ada di film fantasi.
Carlo disambut dengan hangat oleh keluarga Elmo, mereka semua begitu ramah padanya. Carlo juga baru tahu bahwa Diego memiliki dua saudara laki-laki bernama Henry dan Luis.
Diego dan dua saudaranya terpaut usia tidak begitu jauh. Henry berusia 19 tahun, sedang menempuh pendidikan pengajar penyihir muda, sedangkan Luis seorang dokter sihir berusia 22 tahun.
"Kami turut berduka atas kematian keluarga Alfonso, Carlo. Padahal aku dan Alessandro Ayahmu cukup dekat. Aku sangat mengenalnya." Begitu ujar ayah Diego.
Saat itu mereka tengah menikmati hidangan makan malam bersama.
"Terima kasih atas belasungkawa Paman dan yang lainnya," kata Carlo.
"Tak perlu canggung, aku yang merasa tak enak, karena aku tak datang saat pemakaman kedua orang tua dan kakakmu."
"Tak apa, Paman. Memang kejadian itu terjadi secara tiba-tiba, bahkan satu bulan setelahnya orang-orang baru."
"Tenanglah ini takdir Dewa. Kemungkinan di tanganmu nantinya keluarga Alfonso akan bangkit kembali." Kali ini Ibu Diego yang mengatakan hal itu. Ucapannya begitu lembut dan ramah, membuat Carlo merasa tenang.
Ingin sekali ia memeluknya, tetapi sepertinya tidak mungkin.
"Ah iya, Carlo sangat suka kue buatan Ibu. Katanya mirip dengan buatan Ibunya." Diego menimpali. "Dia memakannya sambil menangis."
Diego mempraktikkan caranya Carlo menangis sambil menikmati kue itu. Hal itu lantas membuat penghuni ruang makan itu pun tertawa.
"Benarkah? Kalau begitu nanti Bibi akan buatkan saat kalian mau kembali ke Akademi," ucap Ibu Diego.
Kemudian makan malam itu pun berlanjut, sampai selesai dengan cepat.
Diego dan Carlo menuju kamar untuk beristirahat, karena tubuh mereka sudah lelah saat ini.
Diego sengaja tak memberikan kamar tamu untuk Carlo supaya Carlo tidur bersamanya dan mereka bisa mengobrol bersama.
"Melihat keluargamu yang begitu harmonis, aku jadi merindukan keluargaku," kata Carlo. "Jika mereka saat ini masih ada, mungkin aku bisa kembali ke rumah saat berlibur."
Diego mengulas senyum, lalu berucap, "sudah jangan sedih. Sekarang keluargaku juga keluargamu seperti apa yang Ayah dan Ibuku katakan."
Carlo mengangguk mendengar hal itu.
Kemudian perbincangan itu tak lama terjadi, karena keduanya memutuskan untuk tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments